Senin, April 06, 2015

Korban salah tangkap di seret di aspal oleh Densus 88

BIADAB
Korban Salah Tangkap Densus 88 ; “Saya diseret di aspal. Luka saya kemudian disirami jeruk”
Jakarta – Pusat Advokasi Hukum dan HAM Indonesia mengutuk keras proses penangkapan dan penyiksaan terhadap 14 warga salah tangkap yang dilakukan aparat Brimob dan Polres Poso, akhir Desember lalu. “Korban yang disiksa adalah para penambang emas (9 orang) dan warga biasa yang berprofesi sebagai guru atau pedagang (5 orang). Setelah diinterogasi secara tak manusiawi, disiksa dan dihinakan selama 7 hari (20-27 Desember 2012), mereka dilepas begitu saja. Tanpa permintaan maaf dan rehabilitasi nama baik, apalagi pengantian biaya perobatan, tidak ada,” jelas Heru Susetyo, Dewan Pembina PAHAM Indonesia yang menjadi kuasa hukum salah seorang korban. Bukti penyiksaan terungkap dalam refleksi awal tahun 2013 yang dilakukan Center for Indonesian Reform (CIR) bersama Union Migrant dan Paham Indonesia di Jakarta, Rabu (2/1/2013) dalam Refleksi bertema “Perlindungan WNI di Era Reformasi.”
Salah seorang korban bernama Syafrudin, seorang guru yang tinggal di desa Kalora, satu jam dari kota Poso mengungkapkan kesaksiannya. “Pada tanggal 20 Desember siang hari, saya sedang tidur-tiduran di rumah, sepulang mengajar. Tiba-tiba ada tamu mengetuk pintu dengan keras. Ternyata aparat, langsung menodongkan senjata ke saya, agar ikut ke Pos Polisi. Di atas truk Brimob saya dipukuli sampai pingsan. Saya dituduh ikut pengajian ekstrem yang mengajarkan pembunuhan polisi. Padahal, saya ikut taklim biasa. Selama ditahan di Mapolresta Poso, mata saya ditutup selama 3 hari, sehingga tak tahu apa saja yang terjadi. Setelah sadar, tubuh saya luka dan lebam,” ungkap Syafrudin dalam testimoni tertulis.
Tindakan aparat Brimob dan Polres Poso itu jelas-jelas melanggar UUD RI yang menjamin WNI bebas dari penyiksaan dan pemeriksaan yang merendahkan nilai kemanusiaan. “Aparat Polisi sekali lagi menunjukkan sikap tidak profesional dan tidak bertanggung jawab, seperti Densus 88 yang sering salah tangkap dan salah tembak. Bukti permulaan yang dimaksud ternyata hanya karena ke-14 warga itu ikut pengajian/taklim. Apa ikut mengaji itu suatu kejahatan? Setelah proses interogasi yang penuh penyiksaan ternyata tak ada bukti pendukung lain. Itu benar-benar kesalahan fatal yang akan menumbuhkan kebencian kepada aparat. Bukan memberantas terorisme, polisi malah menyuburkan kebencian baru,” kata Sapto Waluyo, Direktur Eksekutif CIR.
“Kita prihatin dengan tewasnya 4 aparat polisi. Tapi, kita lebih prihatin karena tindakan polisi menimbulkan korban baru yang tak bersalah. Mestinya Polisi memberikan surat keterangan bersih dari kejahatan dan tidak terlibat terorisme bagi korban yang tidak terbukti, sehingga mereka tidak terkena stigma. Sekarang warga mengalami trauma dan tidak berani kembali ke rumah,” lanjut Sapto.
Hal serupa juga dialami oleh Jufri, salah seorang korban salah tangkap, menuturkan kronologi penangkapannya. Saat itu, setelah shalat Dzuhur ia mengaku tengah santai di teras rumah bersama istri dan anak-anak sambil bersiap-siap untuk kembali bekerja. Sekitar beberapa saat, tiba-tiba polisi datang untuk menjemputnya. “Firasat saya petugas akan mengambil saya. Saya kemudian mengatakan kepada mereka, ‘kalau mau ambil saya jangan todongkan pistol di sini, karena ada anak-anak saya,’” tuturnya dalam testimoni tertulis yang diterima Islampos.com, (Kamis 3/1/2012).
Jufri pun kemudian diangkut ke dalam mobil brimob dan dibawa ke pos Kalora. Di pos Kalora itulah Jufri dipukuli petugas. Muka dan badannya menjadi bulan-bulanan sasaran petugas. Bahkan Jufri tidak tahu berapa kali sudah pukulan mendarat di wajahnya. “Saat itu kaki saya dijepit dengan kursi lipat. Saat hendak dibawa ke Mapolres Poso, saya diseret di aspal. Luka saya kemudian disirami jeruk. Saya kemudian dinaikan ke dalam truk dan dibawa ke Mapolres Poso,” kisahnya.
Saat tiba di mapolres Poso Jufri masih mendapatkan perlakuan kasar dari aparat. “Hingga selesai masa tahanan 7 x 24 jam, saya dilepaskan karena tak cukup bukti keterlibatan saya pada peristiwa penembakan Brimob,” terangnya.

Bukan hanya itu, satu korban lagi adalah Syamsul, petani cokelat di Desa Kalora, Poso. ketika Syamsul ke Mesjid untuk melaksanakan kewajiban shalat Dzuhur. Sesampai di Mesjid, seorang jama’ah sempat mengabarkan peristiwa penembakan Brimob di Desa Kolara. “Saya belum yakin dengan informasi yang disampaikan. Hingga kemudian kami shalat Dzhur bersama,” kata Syamsul dalam testimoni tertulisnya, Kamis (3/1/2012)

Selepas shalat, Syamsul pun langsung menuju rumah untuk berganti pakaian, kemudian ke kios coklat tempatnya biasa bekerja. Tak lama, petugas datang dan mencari siapa orang bernama Sam. “Saya kemudian unjuk tangan sambil mengatakan bahwa saya yang mereka maksud. Segera mereka menyuruh saya naik ke truk. Saya dibawa ke pasar. Setiba di pasar, saya di suruh pindah ke depan (samping supir) saya diminta menunjukan teman-teman saya yang sering ikut ta’lim (pengajian). Karena memang tidak ada, saya segera di bawa ke pos Kalora,” katanya panjang lebar.
Setiba di pos Kolara, Syamsul diperintahkan melepas bajunya. Baju itu kemudian digunakan untuk menutup mata. Dalam keadaan mata tertutup, petugas menyuruhnya berjongkok. “Selesai introgasi saya disuruh untuk naik ke truk. Saat akan menaiki trus saya merasakan benda keras membentur bagian belakang saya. Saya terjatuh, saat akan berdiri saya kembali merasa ada benda yang mendarat tepat di mata saya,” ceritanya.
Dalam perjalanan ke Mapolres Poso, mata Syamsul masih dalam keadaan tertutup. Saat itu lagi-lagi ia merasakan ada benda tumpul yang dibenturkan di belakang leher. Setiba di polres sekali lagi ia mendapat pukulan di wajah. “Dalam pemeriksaan di polres Poso mata saya ditutup selama dua hari. Dalam keadaan mata tertutup beberapa kali petugas yang datang ke saya meninju-ninju dengan pelan bekas pukulan yang sudah membekas di wajah,” tandasnya.
Setelah masa penahan 7 X 24 jam Syamsul kemudian dibebaskan karena tidak cukup bukti terkait keterlibatan penembakan brimob seperti yang disangkakan.
Pengamat kontra-terorisme, Harits Abu Ulya menyampaikan bahwa aparat kepolisian terkesan enggan mengakui adanya penganiayaan yang dilakukan anggotanya. Hal itu disampaikan Harits, terkait pernyataan Kapolres Poso AKBP Eko Santoso yang masih menunggu kelengkapan saksi sebanyak 14 orang korban untuk memproses dugaan penganiayaan 14 anggota Brimob. “Menurut saya aneh dan terkesan enggan mengakui pelanggaran anggotanya yang di lapangan. Apa saksi 9 orang tidak cukup untuk memproses pelanggaran tersebut? Kenapa harus nunggu 5 saksi yang lain?” kata Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Jum’at (4/1/2013).
Ia mempertanyakan, apakah saksi korban yang masih dalam kondisi babak belur tidak cukup dijadikan bukti aduan tindak pidana penganiayaan. “Seorang guru SMPN I Kalora-Poso pak Syafrudin yang babak belur setelah keluar dari Polres apa masih tidak cukup untuk dijadikan bukti aduan atas tindak pidana (penganianyaan) yang dilakukan oleh aparat Brimob?” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, sisa-sisa penyiksaan masih terlihat di tubuh para korban. Pusat Advokasi dan Hak Asasi Manusia, sebagai kuasa hukum korban salah tangkap meminta Pemerintah menindak tegas aparat kepolisian dan brimob yang menyiksa korban.
Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan