Kamis, Januari 15, 2015

Polemik ke 8 dengan Ustadz di majalah al Furqan tentang keharusan shalat di tanah






Ust. Abu Ibrohim Muhammad Ali di majalal al furqan menyatakan lagi:


Ibroh Ketujuh " 1
Maksud  sujud adalah melaksanakan  Ibadah  dengan merendah  kepada Alloh dengan cara yang diperintahkan  sesuai dengan contoh dari Rosulullah . dan bukan ber arti  maksud sujud adalah menempelkan debu dan kerikil yang
masih asli kepada keningnya. Kalau  seandainya maksud sujud adalah seperti demikian, niscaya Rosululloh  akan memerintahkan para sahabatnya yang hendak pergi jauh atau  hendak berlayar mengarungi lautan agar membawa bekal berupa tanah yang asli sehingga dapat melaksanakan sujud di atas tanah yang dibawa. Akan tetapi, ini tidak pernah kita dengar dari hadits-haditsyang shohih.
Komentarku ( Mahrus  ali ):
Anda menyatakan:

Maksud  sujud adalah melaksanakan  Ibadah  dengan merendah  kepada Alloh dengan cara yang diperintahkan  sesuai dengan contoh dari Rosulullah.
Komentarku ( Mahrus  ali ):
Bila anda telah menyatakan begitu, maka saya salut sekali, acc tanpa menolak atau membantah. Kita harus menjalankan sujud sesuai dengan contoh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam  bukan contoh shalat orang sekarang yang menyalahi tuntunan, cocok  dengan tontonan shalat di masjid –masjid yang berkarpet sekarang.  Pernahkan anda dengar suatu hadis  contoh  sujud Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam  dalam shalat wajib di sajadah , kramik atau di karpet. Saya sendiri belum pernah mengetahui hadis  dimana  Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam  menjalankan shalat wajib di tikar, tapi langsung tanah.
Jadi sujud ditanah itulah pelaksanaan sujud  sesuai  dengan contoh untuk shalat wajib bukan untuk shalat sunat. Dan itulah perendahan diri manusia yang paling rendah kepada Allah yang Maha Tinggi.
Banyak teman yang  merasakan bahwa sujud di tanah adalah membikin diri kita tiada harganya disisi Allah.
Sekarang kita lihat  kamus bahasa arab tentang makna husyu` sbb:
النُّكَتُ وَاْلعُيُوْنُ - (ج 3 / ص 131)
قَوْلُهُ تَعَالَى : { الَّذِيِنَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ } فِيْهِ خَمْسَةُ أَوْجُهٍ :
أَحَدُهَا : خَائِفُوْنَ ، وَهُوَقَوْلُ الْحَسَنِ ، وَقَتَادَة .
والثَّانِي : خَاضِعُوْنَ ، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عِيْسَى .
والثالث : تَائِبُونَ ، وَهُوَ قَوْلُ إِبْرَاهِيْم .
وَالرَّابِعُ : أَنَّهُ غَضُّ اْلبَصَرِ ، وَخَفْضُ الْجَنَاحِ ، قَاَلهُ مُجَاهِدٌ .
الْخَامِسُ : هُوَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَوْضِعِ سُجُوْدِهِ مِنَ اْلأَرْضِ ، وَلاَ يُجَوِّزُ بَصَرَهُ مُصَلاَّهُ ، فقد روي أن النبي صلى الله عليه وسلم كاَنَ يَرْفَعُ بَصَرَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَنَزَلَتْ : { الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ } فَصَارَ يُجَوِّزُ بَصَرَهُ مُصَلاَّهُ
Dalam kitab al nukat wa  al uyun 131/3  terdapat keterangan sbb:
FirmanNya :  Orang – orang yang husyu` dalam salat nya  terdapat  lima pandangan;
1.    Orang – orang yang takut.  Itulah perkataan al Hasan dan Qatadah
2.    Orang yang tunduk merunduk. Itulah pendapat Ibnu Isa
3.    Orang – orang yang bertobat. Itulah pendapat Ibrahim
4.    Memejamkan mata dan  tawadhu` . kata Mujahid.
5.    Memandan tempat sujudnya  dari tanah dan tidak pandangannya tidak melewati tempat salatnya.
  Sungguh dalam  suatu riwayat, Rasulullah SAW memandang ke  atas atau langit m lalu turunlah ayat :
الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ
Orang  - orang yang  husyu` ketika  salat. Lantas Rasulullah SAW hanya memandang tempat salatnya (  yaitu  tanah bukan tikar atau sajadah ).
Saya mengatakan:
Sepengetahuan saya , untuk pendapat pertama tiada dalilnya. Untuk  pendapat kedua, ada  dalilnya . Dan ketiga  tidak dalilnya. Untuk pendapat ke empat, tiada dalilnya. Dan yang kelima  cocok  dengan hadis  dan perilaku  Rasulullah SAW  atau  tuntunan beliau dalam salat.
Boleh juga dilihat  dalam kitab Zadul masir 403/4


العين - (ج 1 / ص 18)
 الخشُوْعُ: رَمْيُكَ بِبِصَرِكَ ِإلَى اْلأَرْضِ
Husyu` adalah mengarahkan pandanganmu ke tanah ( bukan tikar atau sajadah ).  Lihat kitab al ain 18/1 , al Mukhasshis 170/3


لسان العرب - (ج 3 / ص 385)
وَفيِ حَدِيْثِ قَتَادَةَ الخُشُوْعُ فِي اْلقَلْبِ وَإِلْباَدِ اْلبَصَرِ فِي الصَّلاَةِ أَيْ إِلزَامِهِ مَوْضِعَ السُّجُوْدِ مِنَ اْلأَرْضِ
Dalam  hadis  Qatadah , husyu` di hati, pandangannya  dalam  salat  selalu  ke tempat sujudnya  dari tanah ( bukan karpet atau sajadah ). Lihat Lisanul arab 385/3 Tajul  arus 2250/1

Anda menyatakan lagi :

.............., dan bukan ber arti  maksud sujud adalah menempelkan debu dan kerikil yang masih asli kepada keningnya.
Komentarku ( Mahrus  ali ):
Barang kali ada kesalahan tulis atau cetak , hingga  dia menyatakan :  " keningnya. " . Mestinya dahinya  bukan kening dan  tidak sama atau mirip pengertian kening dan dahi. Biasanya dahi yang menempel ke tanah ketika sujud bukan kening apalagi telinga.
Memang contohnya dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam  dan para  sahabatnya ketika sujud adalah langsung ketanah dalam shalat wajib bukan shalat sunah. Kalau orang sekarang tidak dibedakan antara shalat wajib dan sunah lalu mereka lakukan di sajadah , karpet dan keramik. Ini adalah kekeliruan yang nyata bukan kebenaran yang samar.  Ada  hadis sbb:
724‏- حَدِيْثُ  ‏أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: اعْتَكَفْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ   الْعَشْرَ الأَوْسَطَ مِنْ رَمَضَانَ، فَخَرَجَ صَبِيحَةَ عِشْرَينَ، فَخَطَبَا، وَقَالَ: إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا أَوْ نُسِّيتُهَا، فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فِي الْوِتْرِ، وَإِنِّي رَأَيْتُ أَنِّي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ، فَمَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  ، فَلْيَرْجِعْ فَرَجَعْنَا وَمَا نَرَى فِي السَّمَاءٍ قَزَعَةَ؛ فَجَاءَتْ سَحَابَةٌ فَمَطَرَتْ حَتَّى سَالَ سَقْفُ الْمَسْجِدِ، وَكَانَ مِنْ جَرِيدِ النَّخْلِ، وَأَقِيمَتِ الصَّلاَةُ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ   يَسْجُدُ فِي الْمَاءِ وَالطِّينِ، حَتَّى رَأَيْتُ أَثَرَ الطِّينِ فِي جَبْهَتِهِ
أَخْرَجَهُ اْلبُخَارِيّ فِي : 32 كِتَابُ فَضْلِ لَيْلَةِ اْلقَدْرِ : 2 2 بَابُ الْتِمَاسِ لَيْلَةِ اْلقَدْرِ فِي السَّبْعِ اْلأَوَاخِرِ


724.Abu Said menuturkan: “Kami pernah beri’tikaf pada sepuluh hari  pertengahan di bulan Ramadhan. Pada pagi hari tgl dua puluh, beliau keluar lalu  berpidato kepada kami: “Aku diperlihatkan  malam Qadar , tetapi aku lupa atau aku dilupakan kepadanya. Karena itu, carilah pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir dan aku melihat seolah-olah aku bersujud di atas air dan tanah. Barangsiapa yang beri’tikaf bersama Rasulullah saw, maka kembalilah.”
Kami kembali bei’tikaf dan tidak melihat sepotong awanpun di langit. Tiba-tiba datanglah awan dan turunlah hujan sampai air menetes dari atap masjid yang terbuat dari pelepah pohon kurma. Ketika shalat didirikan, maka aku lihat Rasulullah saw bersujud di atas air dan tanah sampai aku lihat di dahi beliau saw terdapat bekas tanah.” (Bukhari, 32, Kitab Fadlu Lailatul Qadr, 2, bab mencari Lailatul Qadar pada malam tujuh terakhir di bulan Ramadhan).

Allu`lu` wal marjan 343/1  al albani berkata :  Sahih
Lihat di kitab karyanya : Sahih wa dho`if  sunan Abu Dawud 382/3
Komentarku ( Mahrus  ali ):
Dalam hadis itu dijelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam  melakukan shalat  subuh dan tanah masjidnya  masih berupa lumpur yang bercampur dengan air. Disni ada hal yang perlu di perhatikan, jangan di abaikan. Mengapa saat itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam  tidak menggunakan tikar, sajadah. Tapi beliau  tetap menjalankan shalat  di tanah sekalipun ber air  bukan tanah kering. Begitu juga para sahabat  beliau tidak ada yang menggunakan tikar atau sajadah seperti orang muslim sekarang yang menjalankan shalat   di masjid yang berkarpet.



فتح الباري لابن رجب - (ج 3 / ص 150)
الْمُرَادُ مِنْ هَذَا اْلحَدِيْثِ هَاهُنَا : أَنَّ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - لَمْ يَكُنْ يُصَلِّي اْلمَكْتُوْبَةَ إِلاَّ عَلَى اْلأَرْضِ مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ ، فَأَمَّا صَلاَةُ الْفَرِيْضَةِ عَلَى اْلأَرْضِ فَوَاجِبٌ لاَ يَسْقُطُ إِلاَّ فِي صَلاَةِ شِدَّةِ اْلخَوْفِ ، كما قال تعالى: { فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَاناً } [البقرة :239] .
Ibnu Rajab berkata dalam kitab Fathul bari 150/3 sbb:
Maksud hadis tsb ( hadis Nabi turun dari kendaraan ketika menjalankan salat wajib ) adalah sesungguhnya Nabi SAW tidak akan menjalankan salat wajib kecuali di tanah dengan menghadap kiblat. Untuk menjalankan salat fardhu di atas tanah ( langsung bukan di sajadah atau keramik ) adalah wajib kecuali dalam salat waktu peperangan atau keadaan yang menakutkan sebagaimana firman Allah taala sbb:
Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.

Anda menyatakan lagi:
 Kalau  seandainya maksud sujud adalah seperti demikian, niscaya Rosululloh  akan memerintahkan para sahabatnya yang hendak pergi jauh atau hendak berlayar mengarungi lautan agar membawa bekal berupa tanah yang asli sehingga dapat melaksanakan sujud di atas tanah yang dibawa. Akan tetapi, ini tidak pernah kita dengar dari hadits-hadits yang shohih.
Komentarku ( Mahrus  ali ):

Bila Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam  tidak pernah mengatakan seperti itu, maka apakah ber arti tuntunan salat wajib beliau yang langsung ke tanah tanpa tikar perlu ditinggalkan, lalu kita mengambil tontonan shalat di masarakat yang selalu dilakukan di karpet. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam  tidak pernah menyuruh membawa tanah, sebab kemanapun anda pergi, disitu terbentang tanah yang luas, baik di dalam negri atau diluar negri.
Saya dan jamaah saya telah pergi ke Jakarta, Belitar, Kediri,Kebumen, Pekalongan, Mediun  bahkan  saya pergi ke Bali dan Bengkulu untuk mendatangi pengajian dan saya dan jamaah saya tidak membawa tanah, tapi saya dan mereka   masih tetap menjalankan shalat jamaah   ke tanah langsung tanpa tikar atau sajadah.
Lantas saya  juga tidak mendengar  dari hadis  sahih, bahwa  Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam  dan para sahabatnya  selama hidupnya  menjalankan  shalat wajib berjamaah   di tikar sekali saja bukan dua atau tiga kali. Seandainya  Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam  dan para sahabatnya pernah berjamaah shalat  wajib sekali saja di tikar , maka sudah bisa di buat pegangan oleh jutaan muslim  untuk beberapa kali shalat  wajib di tikar.
Saya akan menjalankan shalat  wajib di karpet, tapi saya tidak menjumpai dalilnya yang sahih bukan yang lemah. Dan dalil yang ada hanya untuk shalat  sunat. Karena itu, saya perbolehkan untuk shalat  sunat dilakukan di atas tikar. Oleh karena itu,  sejak sepuluh tahun yang lalu saya melakukan shalat  dengan berjamaah di tanah langsung dan tidak pernah berjamaah di masjid yang berkarpet. 


Mau nanya hubungi kami:
088803080803( Smartfren). 081935056529 (XL )  https://www.facebook.com/mahrusali.ali.50
 
Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan