Jumat, Desember 19, 2014

Siapa Wahabi? Siapa Khawarij?




Oleh: Ust. Abu Husein At-Thuwailibi

Sameeh.net - Bismillah. Artikel singkat ini saya tulis dalam rangka meluruskan serta menjelaskan kepada ummat bahwasanya tuduhan-tuduhan palsu yang di sebarkan oleh tokoh semacam Muhammad Fawwaz MD ini yang berupaya memaksa dan menyeret Manhaj Salafus Shalih menjadi aliran “Wahabi” adalah bathil.

Belum lagi sokongan dana dan tenaga dari para orientalis,sekularis,pluralis yang tak segan-segan mendukung aksi dan gaya-gaya dakwah semodel Muhammad Fawwaz MD ini secara terselubung. Mereka gencarkan dan sebarkan melalui media telivisi,radio,dan sebagainya semisal Studio Abu Khadijah yang kerap menyebarkan propaganda bernuansa “dakwah” yang di lakukan Muhammad Fawwaz MD dan yang sejenisnya.

Allah lah yang menjaga agama ini, Allah jualah yang akan menghancurkan makar orang-orang yang sombong.

Segala puji bagi Allah Ta'ala yang telah menciptakan manusia dimuka bumi ini untuk beribadah hanya kepadanya sebagaimana yang ia firmankan dalam Al-Qur'an surat Adz-Dzariyat ayat 56.

Maksud ibadah dalam ayat itu tidak diragukan lagi adalah ibadah yang di MURNIKAN hanya kepada Allah semata yaitu mentauhidkan Allah Ta'ala dalam ibadah,tanpa sedikitpun menyekutukannya dengan apapun juga. Sebagaimana kata Sahabat Abdullah Bin Abbas,“Semua kata ibadah dalam Al-Qur'an makananya adalah TAUHID".

Demikian pula dalam menjalankan ibadah kepada Allah Ta'ala tentulah mesti MURNI SESUAI DENGAN APA YANG DIAJARKAN OLEH BAGINDA NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM, dengan kata lain tanpa mengada-ngada ritual atau cara beribadah itu sendiri,karena hal ini merupakan konsekuensi dari kalimat “Asyhadu Anna Muhammadan Rasuulullah”.

Virus sepilis (sekularis,pluralis dan liberalis) tampaknya sudah lama menjangkiti seorang tokoh melayu bernama Muhammad Fawwaz MD, sehingga pada intinya,tempat-tempat SYIRIK mereka sebut “peninggalan orang-orang shalih”, KUBURAN YANG DI SEMBAH mereka bilang “kuburan keramat”, PARA PENYERU SYIRIK DAN BID'AH mereka namakan “Wali”, PENGHANCURAN TEMPAT-TEMPAT SYIRIK mereka sebut “pemusnahan peninggalan islam”.

Sebaliknya, memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata mereka bilang “AJARAN SESAT”, aqidah Tauhid mereka istilahkan dengan “AQIDAH TERORIS”, Dakwah kepada Tauhid dan Sunnah mereka sebut “MEMECAH BELAH UMMAT”, sedangkan para penyeru dan para Da'i nya mereka namakan “WAHABI” atau “KHAWARIJ”.

Bahkan demi memuluskan misi mereka untuk membawa manusia kepada kesesatan dan meninggakan kebenaran dakwah Tauhid,mereka tidak malu dan tidak segan-segan berdusta dan memutar balikkan fakta, asalkan wajah dakwah Tauhid menjadi jelek dan menakutkan dimata ummat. Wal-'Iyaadzu Billaah... !!

Hingga wajar bila tersebar luas kaset-kaset dan ceramah-ceramah seorang yang dikenal dengan nama Ustadz Muhammad Fawwaz MD JAN. Dan sesungguhnya Allah telah menetapkan betapapun musuh-musuh kebenaran itu mengerahkan tenaga untuk membalut tipu daya dan kedustaan-kedustaan mereka dengan kata-kata yang memikat,namun Allah tidak akan membiarkan kebenaran itu kalah dengan kebathilan. Allah berfirman,“Dan katakanlah yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap, sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap”. (QS Al-Israa' ayat 81).

Memfitnah dan memprovokasi ummat, Muhammad Fawwaz MD berkata dalam ceramahnya:


1. “Sebentar lagi akan maulid Nabi, lalu akan muncul isu yang biasa disebarkan oleh puak-puak Wahabi bahwa maulid Nabi itu Bid'ah dan seterusnya. Maka itu mari kita semarakkan maulid Nabi, selenggarakan maulid Nabi dan jangan hiraukan puak-puak Wahabi itu”.

TANGGAPAN:

Pertama, malam kelahiran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti kapan. Bahkan sebagian ulama masa kini menyimpulkan hasil penelitian mereka bahwa sesungguhnya malam kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Robi’ul Awwal dan bukan malam 12 Robi’ul Awwal. Oleh sebab itu maka menjadikan perayaan pada malam atau tanggal 12 Robi’ul Awwal tidak ada dasarnya dari sisi latar belakang historis sejarah. Bahkan sejarah mencatat, bahwa Perayaan Maulid Nabi itu diadakan dan diciptakan pertama kali oleh Kaum Ubaid (Dinasti Syi'ah Fathimiyah) saat mereka berkuasa di mesir pada tahun 362-567 Hijriyah. Disamping itu orang-orang Syi'ah Isma'iliyah ini (yakni Syi'ah dinasti Fathimiyah) juga mengadakan maulid Ali, maulid Hasan, Maulid Husein dan Maulid Fathimah. Lalu datangnya Sulthon Sholahuddin Al-Ayyubi menguasai mesir menjadi berkah bagi kaum Muslimin. Beliau berjuang keras mengembalikan haluan rakyat mesir kepangkuan ahlus sunnah. Caranya, beliau lakukan pendekatan kultural, bukan dengan pedang dan pertumpahan darah.untuk merintis perubahan ini,beliau sisakan perayaan Maulid Nabi bagi rakyat mesir,tujuannya MENUMPAS KAUM SYI'AH FATHIMIYAH YANG TELAH MENGUASAI MESIR KALA ITU.

Kedua, dari sisi tinjauan syariat maka merayakannya pun tidak ada dasarnya. Karena apabila hal itu memang termasuk bagian syariat Allah maka tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya atau beliau sampaikan kepada umatnya. Dan jika beliau pernah melakukannya atau menyampaikannya maka mestinya ajaran itu terus terjaga, sebab Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran dan Kami lah yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr ayat 9). Sedangkan Nabi saja tidak melaksanakan lalu mengapa Muhammad Fawwaz MD memaksa ummat untuk melaksanakan...??

Sehingga tatkala ternyata sedikit pun dari kemungkinan tersebut tidak ada yang terbukti maka dapat dimengerti bahwasanya hal itu memang bukan bagian dari ajaran agama Allah. Sebab kita tidaklah diperbolehkan beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara-cara yang baginda Nabi tidak ajarkan. Kalau lah memang Muhammad Fawwaz mengaku cinta kepada Nabi, maka kenapa tidak mencintai Nabi dengan cara yang di ajarkan oleh Nabi itu sendiri. ?? Apabila Allah ta’ala telah menetapkan jalan untuk menuju kepada-Nya melalui jalan tertentu yaitu ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan dalam status kita sebagai hamba yang biasa-biasa saja kemudian kita berani menggariskan suatu jalan sendiri menurut kemauan kita sendiri demi mengantarkan kita menuju Allah ?? Sebagaimana Muhammad Fawwaz MD memaksa ummat Muhammad untuk melaksanakan satu perkara agama yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad itu sendiri ?? Apakah Muhammad Fawwaz MD secara tidak langsung mengaku dirinya lebih baik dan lebih tahu tentang syari'at daripada Rasulullah ? Atau ia menganggap dirinya Nabi ?? Hal ini termasuk tindakan jahat dan pelecehan terhadap hak Allah ‘azza wa jalla tatkala kita berani membuat syariat di dalam agama-Nya dengan sesuatu ajaran yang bukan bagian darinya. Sebagaimana pula tindakan ini tergolong pendustaan terhadap firman Allah ‘azza wa jalla:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي

“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku kepada kalian.” (QS. Al-Maa’idah ayat 3)

Oleh sebab itu saya katakan bahwasanya apabila perayaan ini termasuk dari kesempurnaan agama maka pastilah dia ada dan diajarkan sebelum wafatnya Rasul ‘alaihish shalatu wa salam dan diamalkan oleh para Khalifah sesudahnya, dan jika dia bukan bagian dari kesempurnaan agama ini maka tentunya dia bukan termasuk ajaran agama, karena Allah ta’ala berfirman, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.”

Sehingga, barang siapa yang mengklaim acara maulid ini termasuk kesempurnaan agama dan ternyata ia terjadi setelah wafatnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sesungguhnya ucapannya itu mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia ini. Dan tidaklah diragukan lagi kalau orang-orang yang merayakan kelahiran Rasul ‘alaihis shalatu was salam hanya bermaksud mengagungkan Rasul ‘alaihis shalatu wa salam. Mereka ingin menampakkan kecintaan kepada beliau serta memompa semangat agar tumbuh perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui diadakannya perayaan ini. Dan itu semua termasuk perkara ibadah. Kecintaan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah. Bahkan tidaklah sempurna keimanan seseorang hingga dia menjadikan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan bahkan seluruh umat manusia. Demikian pula pengagungan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk perkara ibadah. Begitu pula membangkitkan perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk bagian dari agama karena di dalamnya terkandung kecenderungan kepada syariatnya.

Apabila demikian, maka merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah serta untuk mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk ibadah. Dan apabila hal itu termasuk perkara ibadah maka sesungguhnya tidak diperbolehkan sampai kapan pun menciptakan ajaran baru yang tidak ada sumbernya dari agama Allah. Oleh sebab itu merayakan maulid Nabi adalah bid’ah dan diharamkan menurut kesepakatan Ulama Salaf.

Lebih daripada itu, Muhammad Fawwaz MD menyebutkan bahwa Nabi merayakan hari lahirnya dengan berpuasa di hari senin.menunjukkan beliau sendiri merayakan hari mauludnya (yakni hari lahirnya).

Sebenarnya, sudah bisa saya tebak, hujjah ini memang sudah biasa di jadikan landasan oleh para penyeru hawa Nafsu semisal Muhammad Fawwaz MD ini, dalil dari apa yang dia katakan tidak lain adalah perkataan Imam As-Suyuthy dalam Kitab Al-Hawy, Imam As-Suyuthi berkata,“…lalu saya melihat Imamul Qurro`, Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Jauzy berkata dalam kitab beliau yang berjudul ‘Urfut Ta’rif bil Maulid Asy-Syarif,“Telah diperlihatkan Abu Lahab setelah meningalnya di dalam mimpi. Dikatakan kepadanya, “Bagaimana keadaanmu?”, dia menjawab, “Di dalam Neraka, hanya saja diringankan bagiku (siksaan) setiap malam Senin dan dituangkan di antara dua jariku air sebesar ini -dia berisyarat dengan ujung jarinya- karena saya memerdekakan Tsuwaibah ketika dia memberitahu kabar gembira kepadaku tentang kelahiran Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan karena dia telah menyusuinya-”. Jika Abu Lahab yang kafir ini, yang Al-Qur`an telah turun mencelanya, diringankan (siksaannya) di Neraka dengan sebab kegembiraan dia dengan malam kelahiran Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, maka bagaimana lagi keadaan seorang muslim yang bertauhid dari kalangan ummat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- yang gembira dengan kelahiran beliau dan mengerahkan seluruh kemampuannya dalam mencintai beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam ?!, saya bersumpah bahwa tidak ada balasannya dari Allah Yang Maha Pemurah, kecuali Dia akan memasukkannya berkat keutamaan dari-Nya ke dalam surga-surga yang penuh kenikmatan”.


Kisah ini memang ma'ruf, wajar kalau Muhammad Fawwaz MD JAN menggunakan kisah ini untuk menipu ummat manusia, karena kisah ini juga dipakai berdalil oleh Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliky dalam kitabnya Haulal Ihtifal bil Maulid dan disandarkan pada Imam Bukhori.


Na'am, disinilah letak kesalahfahaman akal Muhammad Fawwaz MD, karena penyandaran kisah di atas kepada Imam Al-Bukhari adalah suatu kedustaan yang nyata sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh At-Tuwaijiry dalam Kitan Ar-Roddul Qowy hal. 56. Karena tidak ada dalam riwayat Al-Bukhari sesuatupun yang disebutkan dalam kisah di atas, silahkan buktikan.

Berikut ini saya paparkan konteks hadits ini dalam riwayat Imam Al-Bukhary dalam Kitab Shohihnya di nomor 4711 secara mursal [Hadits Mursal adalah perkataan seorang tabi’in, “Rasululullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda ….”, atau ia (tabi’in) menyandarkan sesuatu kepada Nabi -Shollallahu alaihi wasallam-. Hadits mursal termasuk dalam bagian hadits lemah menurut pendapat paling kuat di kalangan para ulama] dari ‘Urwah bin Zubair -rahimahullah-:

“‘Tsuwaibah, dulunya adalah budak wanita Abu Lahab. Abu Lahab membebaskannya, lalu dia menyusui Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Tatkala Abu Lahab mati, dia diperlihatkan kepada sebagian keluarganya (dalam mimpi) tentang jeleknya keadaan dia. Dia (keluarganya ini) berkata kepadanya, “Apa yang engkau dapatkan?”, Abu Lahab menjawab, “Saya tidak mendapati setelah kalian kecuali saya diberi minum sebanyak ini [Yakni jumlah yang sangat sedikit] karena saya memerdekakan Tsuwaibah”.

Syubhat ini dibantah dari beberapa sisi:

Hadits tentang diringankannya siksa Abu Lahab ini telah dikaji oleh para ulama dari zaman ke zaman. Akan tetapi tidak ada seorangpun di antara mereka yang menjadikannya sebagai dalil disyari’atkannya perayaan maulid.
Ini adalah hadits mursal sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafizh dalam kitab Al-Fath karena ‘Urwah tidak menyebutkan dari siapa dia mendengar kisah ini. Sedangkan hadits mursal adalah termasuk golongan hadits-hadits dho’if (lemah) yang tidak bisa dipakai berdalil.

Ok, anggaplah hadits ini shohih maushul (yakni bersambung), maka yang tersebut dalam kisah ini hanyalah mimpi. Sedangkan mimpi -selain mimpinya para Nabi- bukanlah wahyu yang bisa diterima sebagai hujjah syar'iyyah, sebagaimana Maulana Ilyas dan Yusuf Al-Kandahlawi bermimpi mengenai dakwah dan ummat, hingga berdirilah 4 Tarekat Naqsabandi dan melebur menjadi satu manhaj Shufi gaya baru yang sekarang kita kenal dengan "Jama'ah Tabligh" yang berpusat di Hindia itu.

Bahkan disebutkan oleh sebagian ahlul ilmi bahwa yang bermimpi di sini adalah Al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththolib dan mimpi ini terjadi sebelum beliau masuk Islam alias saat masih KAAFIRR.

Sehingga, apa yang dinukil oleh As-Suyuthy dari Ibnul Jauzy di atas bahwa Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah karena memberitakan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan karena dia menyusui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah menyelisihi apa yang telah tetap di kalangan para ulama siroh (sejarah). Karena dalam buku-buku siroh ditegaskan bahwa Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah jauh setelah Tsuwaibah menyusui Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.

Al-Hafizh Ibnu ‘Abdil Barr Rahimahullah berkata dalam Al-Isti’ab ketika beliau membawakan biografi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam setelah menyebutkan kisah menyusuinya Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kepada Tsuwaibah, beliau menyatakan, “… dan Abu Lahab memerdekakannya setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berhijrah ke Madinah”.

Lihat juga Kitab Ath-Thobaqot karya Muhammad bin Sa’ad bin Mani`Az-Zuhri Rahimahullah.

Sehingga orang berakal bisa menyimpulkan bahwa kandungan kisah ini menyelisihi zhohir Al-Qur`an yang menegaskan bahwa orang-orang kafir tidak akan mendapatkan manfaat dari amalan baiknya sama sekali di akhirat, akan tetapi hanya dibalas di dunia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan:

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”. (QS. Al-Furqon ayat 23), kecuali Abu Thalib yang diringankan siksanya karena membela Nabi, sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim. Jelas terdapat riwayat Shahih yang menetapkannya.

Kegembiraan yang dirasakan oleh Abu Lahab hanyalah kegembiraan yang sifatnya tabi’at manusia biasa karena Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah keponakannya. Sedangkan kegembiraan manusia tidaklah diberikan pahala kecuali bila kegembiraan tersebut muncul karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Buktinya, setelah Abu Lahab mengetahui kenabian keponakannya, diapun memusuhinya dan melakukan tindakan-tindakan yang kasar padanya,bahkan berniat membunuhnya. Ini bukti yang kuat menunjukkan bahwa Abu Lahab bukan gembira karena Allah, tapi gembira karena lahirnya seorang keponakan. Gembira seperti ini ada pada setiap orang ya jelas wajar.

Kesimpulan, masalah maulid Nabi,maka jelas ini adalah perkara yang benar-benar dipaksakan oleh Muhammad Fawwaz MD dan saya sarankan ia agar bertaqwa kepada Allah dan kembalilah pada para Ulama Salafus Shalih.

2. “Kemudian diantara mereka (Yakni Wahabi) mengatakan bahwa ibu bapak Nabi adalah masuk neraka”.

TANGGAPAN: Sebenarnya, termasuk aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah yang sangat jelas adalah tidak boleh memvonis seseorang dengan neraka atau surga kecuali berdasarkan dalil yang konkrit dari al-Qur’an dan hadits yang shahih, karena perkara ini termasuk masalah ghaib yang di luar pengetahuan seorang hamba. Namun, apabila sudah ada dalil shahih yang menegaskan status seseorang bahwasanya dia di surga atau neraka maka kewajiban bagi seorang muslim dan yang mengaku beriman adalah mengimaninya dan menerimanya dengan sepenuh hati.

Nah, di antara status keberadaan yang ditegaskan dalam hadits yang shahih adalah keberadaan orang tua Nabi di neraka. Hanya saja, masalah ini masih menjadi kebingungan bagi sebagian orang dan ketergelinciran bagi sebagian para penceramah semisal Muhammad Fawwaz MD, apalagi setelah terkumpulnya syubhat-syubhat dalam masalah ini yang digoreskan oleh Imam As-Suyuthi dalam berbagai kitabnya yang banyak sekali seperti Masaliku Hunafa fii Walidai al-Musthafa, ad-Duruj al-Munifah fil Abâi asy-Syarifah, al-Maqamat as-Sundusiyyah fin Nisbah al-Musthafawiyyah, at-Ta’zhim wal Minnah fii Anna Abawai Rasulillah fil Jannah, Nasyru Alamain al-Munifain fii Ihya’ al-Abawain asy-Syarifain. as-Subul al-Jaliyyah fil Abâi al-Aliyyah.

Tidak kita pungkiri bahwa kedudukan para Nabi dan Rasul itu tinggi di mata Allah. Namun hal itu bukanlah sebagai jaminan bahwa seluruh keluarga Nabi dan Rasul mendapatkan petunjuk dan keselamatan serta aman dari ancaman siksa neraka karena keterkaitan hubungan keluarga dan nasab. Allah telah berfirman tentang kekafiran anak Nabi Nuh ‘alaihis-salaam yang akhirnya termasuk orang-orang yang ditenggelamkan oleh Allah bersama orang-orang kafir :

وَقِيلَ يَأَرْضُ ابْلَعِي مَآءَكِ وَيَسَمَآءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَآءُ وَقُضِيَ الأمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيّ وَقِيلَ بُعْداً لّلْقَوْمِ الظّالِمِينَ * وَنَادَى نُوحٌ رّبّهُ فَقَالَ رَبّ إِنّ ابُنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنّ وَعْدَكَ الْحَقّ وَأَنتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ * قَالَ يَنُوحُ إِنّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَ تَسْأَلْنِـي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنّيَ أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ

“Dan difirmankan:'Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim “. Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya”. Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.”

(QS.Huud ayat 44-46)

Allah juga berfirman tentang keingkaran Azar ayah Nabi Ibrahim ’alaihis-salaam :

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لأبِيهِ إِلاّ عَن مّوْعِدَةٍ وَعَدَهَآ إِيّاهُ فَلَمّا تَبَيّنَ لَهُ أَنّهُ عَدُوّ للّهِ تَبَرّأَ مِنْهُ إِنّ إِبْرَاهِيمَ لأوّاهٌ حَلِيمٌ

“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah di ikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun”.

(QS.At-Taubah ayat 114].

Dan Allah pun berfirman tentang istri Nabi Luth sebagai orang yang dibinasakan oleh adzab Allah :

فَأَنجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلاّ امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ

“Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan)”.

(QS. Al-A’raf ayat 83).

Tidak terkecuali hal itu terjadi pada kedua orang tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Mereka berdua – sesuai dengan kehendak kauni Allah ta’ala – mati dalam keadaan kafir.

Kedua orang tua Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bernama Abdullah dan Aminah. Keduanya meninggal sebagai musyrik atau kafir, sehingga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dilarang memintakan ampun dan memohonkan rahmat untuk keduanya.


Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menziarahi kubur ibunya, lalu beliau menangis sehingga orang-orang yang ada di sekitar beliau pun ikut menangis. Lalu beliau bersabda, “Aku telah meminta izin kepada Rabb-ku untuk saya memintakan ampun baginya, namun Dia tidak mengizinkan. Dan aku meminta izin untuk menziarahi (mengunjungi) kuburnya, maka Dia mengizinkan untukku. Karenanya, lakukan ziarah kubur, sebab hal itu bisa mengingatkan kepada kematian.”


Dalam riwayat lain yang disebutkan dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir dari hadits Ibnu Mas’ud bahwa kisah ini menjadi sebab turunnya firman Allah,

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“Tidaklah patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” (QS. Al-Taubah: 113) dan beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengutarakan bahwa kesedihan ini merupakan naluri sayang seorang anak terhadap orang tuanya.

Dan terdapat tambahan keterangan dalam Kitab al-Mu’jamul Kabir milik Imam At-Thabrani Rahimahullaah, bahwa Jibril 'alaihis salam berkata kepada beliau,

فَتَبَرَّأَ أَنْتَ مِنْ أُمِّكَ، كَمَا تَبَرَّأَ إِبْرَاهِيمُ مِنْ أَبِيهِ

“Berlepas dirilah engkau dari ibumu sebagaimana Ibrahim berlepas diri dari bapaknya.”

(Silahkan antum Lihat juga Tafsir Ibni Katsir ketika Imam Ibnu Katsir menafsirkan QS.At-Taubah ayat 113-114)

Maka sangat jelas status Aminah (ibunda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam) meninggal di luar Islam dan berada di neraka.

Sedangkan riwayat yang menunjukkan bahwa ayah beliau (Abdullah) meninggal sebagai musyrik dan berada di neraka adalah hadits yang diriwayatakan Muslim dari Anas bin Malik: Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, “Di manakah bapakku?” Beliau menjawab, “Di neraka.” Maka ketika ia berbalik, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memanggilnya dan bersabda:

إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ

“Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di neraka.”

Hadits ini menunjukkan bahwa ayah beliau meninggal sebagai orang kafir. Dan siapa yang meninggal di atas kekafiran maka dia di neraka, hubungan kekerabatan tidak berguna dan tidak bisa menyelamatkannya.

Maka hadits-hadits yang shahih di atas sangat jelas menyebutkan bahwa kedua orang tua Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meninggal sebagai musyrik dan kafir, keduanya berada di neraka. Kenabian dan kerasulan beliau tidak bisa menyelamatkan keduanya dari neraka sehingga dilarang memintakan ampun untuk keduanya. Karena itu kita wajib meyakini kabar-kabar yang berasal dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ini dan membenarkannya.

Adapun hujjah-hujjah yang dijadikan sandaran orang yang berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi adalah mukmin dan meninggal di atas Islam sehingga mereka berada di surga adalah hujjah yang lemah dan sangat bathil yang bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang telah saya sebutkan di atas.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah dalam kitab tafsirnya telah menyebutkan beberapa hadits yang mereka jadikan sandaran, namun beliau menyatakan hadits tersebut sebagai hadits gharib (yakni asing) dan konteksnya sangat aneh. Dan hadits yang paling aneh dan mungkar adalah apa yang diriwayatkan Imam Al-Khatib al-Baghdadi dalam Kitab As-Saabiq wal Laahiq dengan sanad yang majhul (yakni tidak dikenal) dari ‘Aisyah dalam sebuah kisah bahwa Allah telah menghidupkan ibunya, lalu ia beriman kemudian kembali meninggal. (Ditinjau dari sanadnya maka hadits ini dha'if sehingga tidak bisa dijadikan sandaran keyakinan. Ditambah lagi dia bertentangan dengan hadits Muslim yang shahih di atas).

Al-Imam Ibnul-Jauzi berkata :

وأما عبد الله فإنه مات ورسول الله صلى الله عليه وسلم حمل ولا خلاف أنه مات كافراً، وكذلك آمنة ماتت ولرسول الله صلى الله عليه وسلم ست سنين

”Adapun ’Abdullah (ayah Nabi), ia mati ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam masih berada dalam kandungan, dan ia mati dalam keadaan kafir tanpa ada khilaf. Begitu pula Aminah (tentang kekafirannya tanpa ada khilaf), dimana ia mati ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam berusia enam tahun”

[Kitab Al-Maudhu’aat juz 1 halaman 283].

Asy-Syaikh Al-’Allamah ’Ali bin Muhammad Sulthan Al-Qaari telah menukil adanya ijma’ tentang kafirnya kedua orang tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dengan perkataannya :

وأما الإجماع فقد اتفق السلف والخلف من الصحابة والتابعين والأئمة الأربعة وسائر المجتهدين على ذلك من غير إظهار خلاف لما هنالك والخلاف من اللاحق لا يقدح في الإجماع السابق سواء يكون من جنس المخالف أو صنف الموافق

”Adapun ijma’, maka sungguh ulama salaf dan khalaf dari kalangan shahabat, tabi’in, imam empat, serta seluruh mujtahidin telah bersepakat tentang hal tersebut (yakni kafirnya kedua orang tua Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam) tanpa adanya khilaf. Jika memang terdapat khilaf setelah adanya ijma’, maka tidak mengurangi nilai ijma’ yang telah terjadi sebelumnya. Sama saja apakah hal itu terjadi pada orang-orang menyelisihi ijma’ (di era setelahnya) atau dari orang-orang yang telah bersepakat (yang kemudian ia berubah pendapat menyelisihi ijma’)

(Kitab Adilltaul-Mu’taqad Abi Haniifah halaman 7 dan antum bisa download dari www.alsoufia.com).

Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata :

ووالدا رسول الله مات على الكفر

”Dan kedua orang tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mati dalam keadaan kafir”.

(Kitab Al-Adillatul-Mu’taqad Abi Haniifah halaman 1)

Keterangan-keterangan yang saya paparkan adalah hujjah yang sangat jelas yang menunjukkan kekafiran kedua orang tua Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam. Yang berkata demikian adalah Nabi sendiri, bahkan para Ulama dan bukan "Kaum Wahabi", di masa Nabi belum ada "Wahabi", Imam Ibnul Jauzi dan Imam Abu Hanifah pun mengatakan sebagaimana diatas bahwa kedua orang tua Nabi dineraka, sementara di masa Imam Ibnul Jauzi dan Imam Abu Hanifah belum ada "Wahabi". Namun, sebagian orang-orang yang datang belakangan menolak ’aqidah ini dimana mereka membuat khilaf setelah adanya ijma’ (tentang kekafiran kedua orang tua Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam). Mereka mengklaim bahwa kedua orang tua beliau termasuk ahli surga. Yang paling menonjol dalam membela pendapat ini adalah Imam As-Suyuthi.

Diantaranya mereka menganggap bahwa kedua orang tua nabi termasuk ahli fatrah sehingga mereka dimaafkan.

Saya jawab:

Definisi fatrah menurut bahasa adalah kelemahan dan penurunan. [Silahkan antum Lihat Kitab Kamus Lisaanul-’Arab oleh Ibnul-Mandhur].

Adapun secara istilah, maka fatrah bermakna tenggang waktu antara dua orang Rasul, dimana ia tidak mendapati Rasul pertama dan tidak pula menjumpai Rasul kedua, hal ini seperti selang waktu antara Nabi Nuh dan Idris ’alaihimas-salaam serta seperti selang waktu antara Nabi ’Isa ’alaihis-salaam dan Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam. Definisi ini dikuatkan oleh firman Allah ta’ala :

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَى فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلا نَذِيرٍ

“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syariat Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul, agar kamu tidak mengatakan: “Tidak datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan”.

[QS.Al-Ma'idah ayat 19].

Sedangkan Ahli Fatrah terbagi menjadi dua macam :

Pertama, Yang telah sampai kepadanya ajaran Nabi.

Kedua, yang tidak sampai kepadanya ajaran/dakwah Nabi dan dia dalam keadaan lalai.

Golongan pertama di atas dibagi menjadi dua, yaitu : Pertama, Yang sampai kepadanya dakwah dan dia bertauhid serta tidak berbuat syirik. Maka mereka dihukumi seperti ahlul-islam atau ahlul-iman. Contohnya adalah Waraqah bin Naufal, Qus bin Saa’idah, Zaid bin ’Amr bin Naufal, dan yang lainnya. Kedua,Yang tidak sampai kepadanya dakwah namun ia merubah ajaran dan berbuat syirik. Golongan ini tidaklah disebut sebagai ahlul-islam atau ahlul iman. Tidak ada perselisihan di antara ulama bahwa mereka merupakan ahli neraka. Contohnya adalah ’Amr bin Luhay, Abdullah bin Ja’dan, shahiibul-mihjan, kedua orang tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, Abu Thalib, dan yang lainnya.

Golongan kedua, maka mereka akan diuji oleh Allah kelak di hari kiamat.

Kedua orang tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam memang termasuk ahli fatrah, namun telah sampai kepada mereka dakwah Nabi Ibrahim ’alaihis-salaam. Maka, mereka tidaklah dimaafkan akan kekafiran mereka sehingga layak sebagai ahli neraka.

Kesimpulannya, kedua orang tua Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam adalah meninggal dalam keadaan kafir dan masuk Neraka. Wallaahu a’lam. Sehingga alangkah buruknya perangai manusia semacam Muhammad Fawwaz MD yang mengingkari Hadits-hadits Rasulullah dan Ijma' para 'Ulama dengan mengkambing hitamkan “Wahabi”, wal-'iyaadzu billah...!!

3. “Kemudian Syaikh Nuruddin Mahmud Al-Banjari Al-Makki saat ditanya tentang Hadits Rasul (akan keluar diakhir zaman anak-anak yang bodoh,mereka mengucapkan dari ucapan sebaik-baik manusia,mereka keluar dari agama ini jauh seperti anak panah yang keluar dari busurnya...dst), Lalu Syaikh Nuruddin Mahmud Al-Banjari berkata,'sebagian mereka adalah wahabi'. ”

TANGGAPAN: Demikianlah akal rusak laki-laki yang bernama Muhammad Fawwaz MD ini. Dia membahas Hadits ini pada ceramah nya tanpa sedikitpun menukil penjelasan Ulama ahli hadits, yang ia nukil malah perkaataan Nuruddin Mahmud Al-Banjari yang majhul tidak dikenal dikalangan Muhadditsiin (Ahli Hadits). Tampaknya ia ingin memutus mata rantai pemahaman dengan Ulama terdahulu. Dengan akalnya yang rusak dia menyimpulkan bahwa yang dimaksud dalam hadits ini adalah kaum "Wahabi". Wal-'Iyaadzu Billah.!

Saudaraku kaum Muslimin, mari kita cermati satu persatu penafsiran para Ulama Muhadditsiin mengenai hadits itu.

Imam Bukhori menyebutkan hadits ini dalam Bab "Perang terhadap khawarij dan mulhidin setelah ditegakkan hujjah atas mereka", dan juga Imam Muslim meletakkan Hadits ini dalam Bab "dorongan untuk memerangi khawarij", Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata, "hadits ini adalah penegasan wajibnya memerangi khawarij dan bughot",dan seterusnya.


Alhamdulillah, dengan ini terbantahkan lah kerusakan akal Muhammad Fawwaz MD yang “mencoba-coba” menafsirkan hadits dengan akalnya yang pendek itu tanpa merujuk kepada Ulama dan ahli hadits, malah merujuk ke Nuruddin Mahmud Al-Banjari yang tidak dikenal sama sekali dalam jajaran Ulama Salafus Shalih,sehingga akibatnya adalah salah fatal dan dia pun menyesatkan manusia. Maka siapakah yang layak menyandang sifat-sifat khawarij yang seenaknya dituduhkan oleh Muhammad Fawwaz MD; “berumur muda”, “orang bodoh”, “berbicara dengan perkataan sebaik-baik manusia”,dst ??!!! Sedangkan secara logika, Khawarij itu telah ada dimasa Rasulullah dan mereka diperangi dimasa Ali Bin Abi Thalib, sedangkan "Wahabi" belum ada di masa Rasulullah. Dan logika sederhananya, khawarij diperangi Ali Bin Abi Thalib diantara nya karena aqidah mereka yang mengkafirkan seluruh para sahabat Nabi,mereka mengkafirkan seluruh ummat islam yang menyelisihi mereka, sedangkan kaum yang dikatakan "wahabi" oleh Muhammad Fawwaz MD ini tidaklah demikian, wahabi tidak mengkafirkan para Sahabat, justru Wahabi sangat memuliakan para Sahabat, Justru kaum yang dianggap "Wahabi" itu pada kenyataannya adalah kaum yang sangat berhati-hati untuk mengkafirkan orang, mereka hanya mengkafirkan yang dikafirkan Allah dan Rasul-Nya.


4. "Imam An-Nawawi menggambarkan bahwa Khawarij yang ada dimasa itu berpenampilan botak cukur plontos dengan mengenakan gamis cingkrang (ngatung) dan jenggot lebat. Nah, maka siapa mereka dizaman ini ? Inilah wahabi, golongan yang banyak di tanah arab sana”.

TANGGAPAN: Inilah ciri-ciri "Khawarij" yang di lekatkan seenaknya oleh Muhammad Fawwaz MD terhadap kaum yang ia sebut "Wahabi".

Saudaraku, dengarkan dan cermati apa yang dikatakan tokoh pendiri gerakan Wahabi itu sendiri,yakni Asy-Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahab, beliau Rahimahullah berkata:

“Dan macam-macam kekafiran,baik perkataan maupun perbuatan telah diketahui oleh para Ulama. Dan tidak mencukur plontos bukan termasuk kekafiran, bahkan KAMI TIDAK PERNAH BERPENDAPAT BAHWA MENGGUNDUL KEPALA ITU SUNNAH APALAGI WAJIB, terlebih lagi bisa menyebabkan murtad dari islam apabila tidak melakukannya.dan kami juga tidak pernah memerintahkan para pemimpin untuk memerangi siapa yang tidak menggundul kepalanya, tetapi yang kami perintahkan adalah memerangi siapa yang mentekutukan Alah dan berpaling dari Tauhid”.

Kemudian ia seolah mencela dengan "ngeledek" kaum berjenggot yang ia sebut “wahabi” itu,tampak dari perkataannya. Padahal jelas hadits-hadits Rasulullah tentang larangan memotong apalagi mencukur jenggot, diantaranya Nabi bersabda:

“Berbedalah dari orang-orang musyrik, biarkan jenggotmu tumbuh lebat dan potonglah kumis”. Ini hadits Shahih riwayat Bukhori Muslim.

Sehingga tampak didalam ceramahnya itu Muhammad Fawwaz MD dengan bangga meremehkan Jenggot atau bahkan membenci orang berjenggot. Dengan kata lain ia membenci Sunnah Nabi. Sedang Nabi bersabda, “Barangsiapa yang membenci sunnahku maka mereka bukan golonganku”. Dan masih banyak lagi hadits lain yang menunjukkan perintah Rasulullah untuk membiarkan jenggot tumbuh, sedangkan dalam kaidah ushul "perintah" hukum asalnya adalah "wajib" sepanjang tidak ada dalil yang "memalingkannya' dari hukum asal. Hanya saja Ulama Muta'akhiriin berselisih pendapat mengenai ukuran di potongnya jenggot itu, wallahu a'lam.

Adapun mengenai celana ngatung alias diatas mata kaki yang digambarkan sebagai sesuatu yang buruk oleh manusia bernama Muhammad Fawwaz MD ini, sebenarnya adalah masalah yang sejak lama di khilafkan (perselisihkan) oleh Ulama terdahulu, namun Muhammad Fawwaz MD ini mendapati celah untuk menghantam kaum yang ia sebut "Wahabi" demi memanfaatkan keawanam para pendengar ceramah nya dan para pengikutnya yang JAAHIL.

Saudaraku kaum Muslimin, Ulama Salaf (terdahulu) telah berbeda pendapat dalam masalah isbal (yakni memanjangkan pakaian sampai menutupi mata kaki bagi laki-laki alas ngatung). Namun perselisihan pendapat di sini terletak pada apakah orang yang isbal itu disertai rasa sombong ataukah tidak, adapun jika disertai sombong,maka ulama sepakat atas keharamannya.

Terkait masalah haramnya Isbal ini terdapat banyak sekali dalil yang menunjukkannya. Diantaranya Sabda Rasulullah:

“Apa-apa yang terletak dibawah mata kaki maka tempatnya di neraka” . Ini hadits Shahih riwayat Imam Bukhori dan Muslim.

Dan juga Sabda Rasulullah:

“Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah dihari kiamat, tidak lihat dengan pandangan rahmat, tidak disucikan, dan dia akan mendapatkan azab yanhg pedih, (nabi berkata demikian sebanyak tiga kali),

Lalu Abu Dzar Al-Ghifari berkata, “mereka telah celaka dan merugi, siapakah mereka itu Wahai Rasulullah ??”

Beliau bersabda, “mereka adalah orang yang memanjangkan pakaiannya sampai melebihi mata kaki, seorang pengungkit pemberian, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu”. Hadits ini shahih riwayat Imam Muslim.

Dua hadits Shahih ini menunjukkan larangan isbal tanpa adanya penyebutan sombong atau tidak, namun terdapat hadits-hadits yang shahih tentang larangan Isbal karena sombong, sehingga Ulama berbeda pendapat tentang hukum isbal jika bukan karena sombong.

Sebagian Ulama berpendapat tidak haram jika tidak sombong, ini pendapat Abu Hanifah, Imam Syafi'i, Imam An-Nawawi, sebagian lagi berpendapat Makruh, ini pendapat Ibnu Qudamah, Ibnu Abdil Barr, sedangkan yang berpendapat haram diantaranya Imam Ibnul 'Arabi dan Imam Al-Qarafi, Imam As-Shan'ani, dll. Bahkan ada juga Ulama Arab Saudi yang berpendapat tidak haram jika tanpa sombong, diantaranya Syaikh Sulaiman Al-Majid, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang juga sangat dibenci oleh para pelaku syirik dan bid'ah,berpendapat tidak haram jika tidak sombong,sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Syarhul 'Umdah halaman 361.

Disini saya tidak akan membahas pendapat mana yang paling kuat berdasarkan dalil-dalil yang ada, namun hanya sekedar memberikan gambaran kepada kaum muslimin bahwa masalahnya adalah sesuatu yang oleh Ulama dahulu telah diperselisihkan.

Maka, sepatutnya kita berlapang dada dalam masalah khilafiyah (perselisihan pendapat) semacam ini sambil terus meneliti pendapat mana yang paling kuat. Sangat disayangkan Muhammad Fawwaz MD menjadikan masalah ini sebagai SENJATA UNTUK MENJATUHKAN SAUDARANYA SESAMA MUSLIM. Astaghfirullah... !!?? Semoga Allah memberinya hidayah.

5. “Lalu mereka ini yang mengatakan bahwa berdo'a setelah sholat bid'ah, baca Talqin bid'ah, baca yasin malam Jum'at bid'ah, nah mereka-mereka inilah yang di sebut Ulama sebagai Khawarij gaya baru”.

TANGGAPAN: ini lah akal dungu orang yang seakan-akan telah tertutup mata hatinya. Hendak menyesatkan ummat dengan mengkambing hitamkan "wahabi".

Sejak kapan berdo'a setelah sholat itu bid'ah ? Tidak pernah ada orang "wahabi" menyatakan demikian.inilah manusia penipu yang agaknya menyesatkan ummat.

Ketahuilah, jumhur fuqaha (yakni Ulama-ulama ahlu fiqih) berpendapat bahwa setelah shalat fardhu adalah waktu diikabulkannya doa berdasarkan Hadits yang diriwayatkan Muslim Ibnul Harits At Tamimi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau pernah berisyarat kepadanya dan bersabda: “Jika engkau selesai dari shalat maghrib maka bacalah: ALLHUMMA AJIRNII MINANNAR sebanyak tujuh kali. Sebab jika kamu baca doa itu kemudian kamu meninggal pada malam itu juga, maka akan ditetapkan bahwa kamu terbebas dari neraka. Jika kamu selesai dari shalat subuh maka bacalah doa itu juga, sebab jika pada hari itu kamu meninggal, maka akan ditetapkan bahwa kamu terbebas dari neraka.”

Terdapat pula riwayat yang menunjukkan bahwa doa di penghujung shalat-shalat maktubah (wajib) secara umum, didalamnya lebih didengar dari yang lainnya, yaitu apa yang diriwayatkan dari hadits Abi Umamah berkata,“Rasulullah shallallahu wa’alaihi wa sallam ditanya; wahai Rasulullah, doa apakah yang paling di dengar? Beliau berkata: “Doa di tengah malam terakhir, serta setelah shalat-shalat wajib.”

Demikian pula, Imam Al-Ghazali pun menukil dari Mujahid ia berkata,”Sesungguhnya shalat-shalat itu telah dijadikan di waktu-waktu terbaik maka hendaklah kalian berdoa setelah shalat-shalat itu.”

Diriwayatkan dari ‘Irbadh bin Sariyah (secara marfu’) : “Barangsiapa melaksanakan shalat wajib maka baginya doa yang dikabulkan dan barangsiapa khatam al Qur’an maka baginya doa yang dikabulkan.”

(Kitab Al-Mausu’ah juz 2 hal 14655)

Adapun berdoa setelah shalat fardhu secara berjamaah dengan dipimpin imam atau seorang dari jamaah kemudian diaminkan oleh jamaah lainnya, maka ini adalah perkara yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, tak ada satupun riwayat dalam kitab-kitab Hadits dan sunan yang menerangkannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdo'a SECARA BERJAMA'AH DENGAN DI KOMANDOI SESEORAN,maka ini tidak pernah di lakukan oleh Rasulullah, tidak pula Imam-imam mazhab yang empat. Jadi , bukan berdo'a itu bid'ah, tapi berdo'a dengan cara yang anda buat-buat itulah yang BID'AH ! Dan kata Rasulullah:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim nomor 1718).

Demikian pula baca Yasin malam jum'at, siapa bilang baca Yasin malam Jum'at itu bid'ah ?? Tak ada kaum Wahabi yang mengatakan demikian... Baca Yasin ya baik,bagus. Hanya saja kalau yang dibaca selalu surat Yasin ya itu namanya Bid'ah, apakah surat-surat yang lain itu bukan ayat Al-Qur'an ?? Mengapa harus Yasin melulu ? Atau bid'ah kalau di khususkan mesti malam Jum'at ?? Apakah malam-malam yang lain tidak ada keutamaan ?? Sehingga, menjadi bid'ah itu bila ada pemgkhususan dan pembatasan yang syari'at sendiri tidak mengkhususkan dan tidak membatasinya. Apalagi kalau dibaca rama-ramai. Pertanyaan saya,Sebutkan siapa dikalangan Shabat atau Salafus Shalih yang pernah melakukan hal itu ??? Adapun mengenai Talqin mayat,maka para Ulama berselisih pendapat didalamnya. Sehingga lagi-lagi Muhammad Fawwaz MD mencari celah untuk memfitnah kaum Muslimin dan mengkambing hitamkan fihak yang ia sebut "Wahabi", Na'udzu Billah..

Demikianlah tanggapan kami terhadap Saudara Muhammad Fawwaz MD yang sangat dikenal dikalangan masyarakat melayu, namun juga aktif menyuarakan Bid'ah dan terang-terangan memusuhi Sunnah.

Allahu A'lam Bis-Shawab.
Share Article:

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan