Kamis, September 11, 2014

Wali yang menikahkan penganten perempuan ayahnya bukan Naib atau Kiyai.



أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Setiap perempuan yang nikah tanpa izin walinya  maka nikahnya  tidak sah X3. Bila bersetubuh dengannya, maka perempuan tersebut mendapat maskawinya karena telah  bersetubuh dengannya. Bila  para wali bercekcok,( tidak mau  menjadi wali ) maka  pemerintah  adalah wali  bagi orng yang tidak punya wali
       Imam Turmudzi yang meriwayatkan hadis tersebut berkata :  Hadis tersebut masih hilaf di antara  ulama` ahli hadis.   Ibnu Hajar berkata dlm kitab Talkhis  sebagaian ulama` menyatakan hadis tersebut  lemah karena Ibnu Juraij  perawi hadis tsb bertemu dengan Azzuhri  perawi hadis tsb pula lalu  di tanya tentang hadis di atas tapi beliau menjawab: “ Aku tidak mengetahuinya dan ingkar kepadanya. Al baihaqi membicarakan  hadis tersebut dengan panjang lebar dlm  kitab Al Hilafiyat, begitu juga Ibnul Jauzi dlm kitab Tahkik
Al albani menyatakan  bahwa  hadis tersebut  sahih.
Komentarku :
Tapi di tempat lain, Al bani juga menyatakan ;  Yang populer adalah maukuf ( perkataan Ibnu Abbas  sendiri  bukan  dari Nabi   ) Ya`ni lemah  tidak bisa di buat pegangan. Al albani berkata :
تَفَرَّدَ بِهِ الْقَوَارِيْرِي مَرْفُوْعًا وَاْلقَوَارِيْرِي ثِقَةٌ إِلاَّ أَنَّ الْمَشْهُوْرُ ِبَهذَا اْلاِسْنَادِ مَوْقُوْفٌ عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ "
Al Qawariri secara  sendirian  meriwayatkan hadis tsb secara marfu` dan ia terpercaya, namun  yang mashur sanad ini adalah maukuf kepada Ibnu Abbas ( bukan hadis dan tidak bisa di buat pegangan  ).
Al baihaqi  berkata : 
وَالْمَحْفُوظُ الْمَوْقُوفُ
Yang terpelihara adalah maukuf ( bukan hadis Nabi    ).   Karena itu tidak bisa di  buat pegangan, apa lagi  di katakan sahih, tambah keliru.
Seluruh sanadnya hanya dari satu jalur yaitu sbb :
عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
…………..Dari Ibnu Juraij   dari Sulaiman bin Musa  dari Zuhri  dari Urwah dari Aisyah dari Nabi   ……………………
 Saya  tidak menjumpai sanad lainnya untuk redaksi  hadis seperti itu. ………... seluruhnya  dari jalur itu ……….., Bahkan Ibnu Hajar menyatakan :
 وَكُلُّهَا مَعْلُولَةٌ.
Seluruh riwayatnya  adalah cacat 

Muhammad Al amin  berkata :
Sulaiman bin Musa di nyatakan terpercaya  oleh sebagian ulama, begitu juga Ibnu Ma`in dari Zuhri.
Tapi Abu hatim menyatakan bahwa  Sulaiman bin Musa kacau dalam sebagian hadisnya.
Imam  Bukhari menyatakan : Banyak hadis mungkarnya
Imam Nasa`I menyatakan : Hadis – hadisnya tidak kuat.
Jadi Sulaiman bin Musa meriwayatkan hadis ini dari Az zuhri jelas tidak bisa di terima
Dimanakah sahabat – sahabat  az zuhri yang terpercaya tentang hadis terpenting dalam bab nikah dan inilah yang di butuhkan banyak orang. Sulaiman mendengar hadis tsb dari Zuhri masih di perbencangkan di kalangan ulama.
Dalam kitab al ilal  Abu hatim berkata  kepada anaknya  408/1 Saya bertanya  kepada Imam Ahmad bin hambal tentang hadis Sulaiman bin Musa dari Zuhri  dari Urwah dari Aisyah  dari Nabi   …………… Tiada nikah kecuali dengan  wali
Lalu aku menuturkan kisah Ibnu Aliyyah, lalu berkata :
Ibnu Juraij  menulis kitab yang terdapat hadis – hadis riwayatnya  dari guru – gurunya .
Aku berjumpa dengan Atha`, lalu aku berjumpa dengan fulan. Bila hadis tsb terpelihara, maka  hadis itu akan di masukkan dalam kitab karyanya dan kitab induknya …….

Di katakan  : Dia tidak sendirian, bahkan ada hadis pendukungnya yang di riwayatkan oleh Hajjaj bin Artha, tapi lemah  dan Hajjaj termasuk perawi yang suka menyelinapkan perawi lemah  dan tidak pernah melihat Zuhri, dia mengaku demikian sebagaimana keterangan  di kitab tahdzib.
Lalu di dukung oleh riwayat Ja`far bin Rabiah, tapi Abu Dawud berkata : Dia tidak pernah mendengar dari Zuhri
Jadi hadis tsb, permasalahannya di kembalikan kepada Ibnu Musa. Karena  itu, Tirmidzi cukup menghasankan    Dan ini menunjukkan sanadnya yang lemah. 

Komentarku :
Syekh Muqbil  Al wadi`I murid Al bani mengatakan :
غَالِبُ تَحْسِيْنَاتِ التِّرْمِذِي ضِعَافٌ.
Kebanyakan hadis yang di hasankan oleh Tirmidzi adalah lemah. 

Jadi penghasanan Tirmidzi itu belum bisa di buat pegangan atau landasan mutlak.

Sungguh Imam Al albani menyatakan hadis tsb  adalah hasan  
Hadis tsb adalah hasan, bukan  sahih,. Masih jauh  sekali di nyatakan sahih, sekalipun telah di nyatakan oleh segolongan ulama   seperti Ibnu Ma`in  sebagaimana  di riwayatkan oleh Ibnu Ady 
Al Hakim  juga berkata  : Ia sahih menurut  sarat perawi sahih Bukhari dan  Muslim.
Pada  hal Sulaiman  sendiri bukan perawi Bukhari

Komentarku : Jadi pernyataan al albani yang pernah menjadi dosen di Universitas Islam Medinah ini juga berbeda, hadis tsb sahih, hasan, maukuf ( lemah ). Hal itu menunjukkan sulitnya memberikan penilaian  suatu hadis dan banyak ulama yang keliru dalam  hal ini. Untuk saya sendiri tetap saya katakan lemah karena perawi Sulaiman bin Musa yang di nilai Bukhari  sebagai perawi yang mungkarul hadis, atau tidak kuat  sebagaimana di katakan oleh Imam Nasai dan  Imam Bukhari dan Muslim  tidak memasukkannya dalam kitab sahih mereka.

       Hadis tersebut menjelaskan bahwa perkawinan tanpa wali tidak sah, mestinya  bila terjadi setubuh antara dua mempelai berarti dihukumi zina, tapi mengapa kok diperbolehkan, malah perempuan mendapat maskawin.  Imam  Bukhori, Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud  tidak menyatakan hadis tersebut sahih. Jadi seorang sulthon ( penguasa ) menjadi wali tidak memiliki dalil yang kuat. Karena  itu,di masa khilafah Abu bakar  tidak pernah beliau mengawinkan sebagai ganti wali perempuan, begitu juga Umar, Usman dan Ali  sebagaimana  yang di lakukan oleh Naib atau kiyai, ustad dll.. Para sahabat yang lainpun yang  menjadi wali tidak pernah mewakilkan kepada wali lain. Imam  Madzhab empat juga tidak pernah menjalankan.
         Situasi  pernikahan yang kita lihat saat ini telah menyalahi tuntunan dan serong. Karena itu seorang wali hendaknya mengawinkan putrinya sendiri. Dialah yang  mengijabi  walaupun dengan bahasa Indonesia, jawa dll.
     Imam  ahmad menyatakan :Bila ayah tiada maka  saudara lelakinya yang mengawinkan si mempelai putri   Ya`ni bila ayah mati, tapi bila ayah tidak mau, ber arti masih punya hak untuk menjadi wali dan jangan langsung diwakili  sebab ayah mesti punya kepentingan yang akan bermanfaat  kepada anak perempuannya di saat dia tidak mau mengawinkan. Jadi tidak boleh kakak perempuan menjadi wali bila ayah masih hidup  dan bila  ternyata  harus di wakili oleh kakaknya, maka tidak di benarkan dan tidak ada dalilnya .   Yang  menikahkan harus seorang wali, inilah pendapat Umar bin Al Khotthob, Ali bin Abu Tholib, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Said bin Al Musayyab, Al Hasan Al Basri,Syuraih, Ibrahim, Annakhoi,  Umar bin Abdul aziz, Sufyan Ats sauri. Auzai, Abdullah bin Mubarak, Malik, Syafi`I, Ishak, Ahmad dll. kata Turmudzi   Allah berfirman  :
               قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصبَّالِحِينَ
Berkatalah dia (Wali ): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”.
   Disini  Allah memberikan gambaran pernikahan yang sah yaitu si wali yang menikahkan kepada putrinya. Jadi sang ayah langsung berkata  kepada mempelai : “ Saya  mengawinkan putriku bernama  …………. Dengan kamu  dengan maskawin ……………..  Jangan sekali  - kali sang ayah mewakilkan kepada Naib atau kiyai atau kakak menjadi wali tanpa minta izin kepada ayahnya.. Tidak ada aturannya dalam hadis maupun Al Quran tentang hal itu. Allah berfirman lagi :

وَلاَ  تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman.  ( Al Baqarah 221 )    Rasul bersabda sbb :
َإِنِّي أَنْكَحْتُ أَبَا الْعَاصِ بْنَ الرَّبِيعِ فَحَدَّثَنِي فَصَدَقَنِي
  Sesungguhnya  akulah yang mengawinkan putriku dengan Abul ash bin Arrabi`,lalu dia bicara dengan ku dengan benar 
     Jadi para wali tidak diperkenankan untuk mengawinkan putrinya dengan lelaki yang musrik, karena lelaki mukmin lebih baik, seakidah, bisa saling menghormat dan satu tujuan. Dia bisa membikin harmunis rumah tangga. Lihat dalam ayat tersebut, hanya wali  yang di larang, bukan kiyai atau Naib.

Harus wali sendiri  dalam akad nikah sebagaimana pendapat Said bin Al Musayyab, hasan basri, Syuraih, Ibrahim an nakhoi, Umar bin  Abd aziz, Sofyan at tsauri, Auzai, Abdullah bin Al  Mubarak, Imam Malik, Imam Syafi`I, Imam Ahmad  dan Ishak. 


Ali bin Abu Bakar Al Haitami, wafat 807 H berkata :
Hadis pemerintah/ sulthon  menjadi Wali lemah karena ada perawi bernama  Sulaiman bin Musa
صَدُوْقٌ فِيْهِ لَيِّنٌ وَخُوْلِطَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِقَلِيْلٍ
Dia perawi yang selalu  berkata benar tapi lemah dan hafalannya kabur menjelang  meninggalnya. 
Imam Nasai menyatakan  : Dia tidak kuat dan Imam Bukhari berkata ; Banyak mungkar riwayatnya.

Hadis tsb juga di riwayatkan oleh Thabrani  dari Jabir, namun Ali bin Abu Bakar Al Haitami, wafat 807 H berkata :
وَفِيْهِ عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ الرِّقِّي وَهُوَ مَتْرُوكٌ وَقَدْ وَثَّقَهُ ابْنُ حِبَّانَ.
Sanadnya  terdapat Amar bin Usman Arriqqi  . Dia perawi yang di tinggalkan ulama. Ia telah  di katakan terpercaya  oleh Ibnu Hibban.

Komentarku :  Pernyataan Ibnu Hibban terpercaya kepada seorang perawi  itu masih perlu di kaji ulang. Al albani menyatakan  :
وَيُعْرَفُ أَنَّ تَوْثِيْقَ ابْنِ حِبَّانَ لِلرَّجُلِ بِمُجَرَّدِ ذِكْرِهِ فِي هَذَا اْلكِتَابِ مِنْ أَدْنَى دَرَجَاتِ التَّوْثِيْقِ
Telah di maklumin Ibnu Hibban menyatakan terperpaya kepada seorang lelaki karena di sebut dalam kitab ini termasuk derajat yang terendah 
وَلِهَذَا نَجِدُ الْمُحَقِّقِيْنَ مِنَ الْمُحَدِّثِيْنَ كَالذَّهَبِي وَالْعَسْقَلاَنِي وَغَيْرِهِمَا لاَ يُوَثِّقُوْنَ مَنْ تَفَرَّدَ بِتَوْثِيْقِهِ ابْنُ حِبَّانَ
Karena Ini,para ahli – ahli hadis  yang  ahli tahkik  seperti Imam Dzahabi dan al asqalani  tidak mau mendukung atau menyetujui kepada kepada orang – orang yang telah di percaya  oleh Ibnu Hibban  sendiri. 

اَلْخُلاَصَةُ أَنَّ تَوْثِيْقَ ابْنِ حِبَّانَ يَجِبُ أَنْ يَتَلَقَّى بِكَثِيْرٍ مِنَ التَّحَفُّظِ وَالْحَذَرِ لِمُخَالَفَتِهِ اْلعُلَمَاءِ فِي تَوْثِيْقِهِ ِللْمَجْهُوْلِيْنَ

Kesimpulan : Pernyataan terpercaya  dari Ibnu Hibban  kepada seorang perawi perlu di perhatikan, hati – hati yang sangat karena banyak menyalahi ulama  dalam masalah menyatakan  terpercaya terhadap perawi – perawi yang tidak di ketahu identitasnya. 
Redaksi Asy-Syariah menyatakan : 
( Hadis tsb di riwayatkan  oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abu ‘Awanah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Albani dalam Al-Irwa` (no. 1840) dan guru besar kami Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (2/493)).

Komentarku :  Di sahihkan  oleh siapapun tetap jalur sanadnya ada  perawi bernama  Sulaiman bin Musa yang lemah  bahkan Imam Bukhari menyatakan  mungkar hadisnya.


Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata dalam Subulus Salam (3/187): “Hadits ini menunjukkan bahwa sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali dalam pernikahan, baik karena memang tidak ada walinya atau walinya ada namun tidak mau menikahkannya7.”

Komentarku : Dasarnya hanya hadis lemah  itu, dan tiada  hadis lain yang mendukungnya. Bila walinya tidak mau mengawinkan karena ada  sebab yang tidak di inginkan lalu  di ganti dengan  na`ib atau kiyai, ini jelas tidak di benarkan. Mestinya harus di carikan lelaki yang di setujui oleh pihak penganten wanita dan wali. Jangan langsung  wali di tinggalkan, lalu di ganti dengan  wali naib dari KUA. Jadi pernyataan Shan`ani  yang menyatakan bila wali tidak mau, lalu di ganti  sulton adalah pendapat peribadi tanpa dalil. Sekarang tunjukkan dalil di mana  ada wanita  sahabat yang  di kawinkan oleh Umar, Abu Bakar atau Usman  saat menjadi khalifah atau salah satu dari aparat bawahannya. Yang penting kita belum menjumpai dalilnya  atau realita  di kalangan generasi pertama.
Bukahri, Muslim  tidak berani memasukkan hadis tsb dalam kitab sahihnya.

Mau nanya hubungi kami:
088803080803( Smartfren). 081935056529 (XL ) atau  08819386306   ( smartfren)





Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan