Senin, Juli 07, 2014

The GodMother (2): Rachmawati Soekarnoputri Siapkan Buku Putih 'Dosa Politik Megawati'




Sahabat Jenius, Kritis dan Anti Anarkis...
Ditepi lain Ketua Dewan Pertimbangan Partai Nasdem Rachmawati Soekarnoputri sedang mempersiapkan sebuah buku kecil untuk diberikan kepada Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Dalam konteks Pilpres 2014, Rachma memiliki sikap yang berbeda dengan Surya Paloh. Tidak seperti Surya Paloh yang mendukung PDIP dan mendukung pencapresan Joko Widodo, Rachma memilih sebaliknya, tidak mendukung PDIP dan tidak mendukung pencalonan Jokowi.
“Saya pernah punya rencana bertemu Jokowi. Tetapi dia tidak jadi datang. Tadinya saya mau tanyakan sikap Jokowi tentang sejumlah hal yang saya kira penting untuk dijelaskan,” ujar Rachma di kediamannya, di Jalan Jati Padang Raya, Jakarta Selatan, Kamis petang (3/7).
Seperti dikutip dilaman RMOL Buku kecil yang sedang disiapkan Rachma itu akan diberi judul “Dosa Politik Mega”. Di dalam buku itu Rachma akan merangkum sejumlah kasus yang terjadi ketika Megawati Soekarnoputri berkuasa antara 2001-2003.
Selain kepada Surya Paloh, buku itu juga akan dibagikan kepada tokoh-tokoh nasional lainnya. Rachma bermaksud mengingatkan dan menjelaskan kepada pimpinan Partai Nasdem bahwa ketika berkuasa Mega melakukan sejumlah hal yang merugikan negara. Di antara kasus-kasus yang dirangkum Rachma itu, antara lain adalah penjualan PT Indosat, penjualan ladang gas Tangguh, pembelian Sukhoi “bodong”, penjualan VLCC, dan kebijakan memberikan pengampunan kepada pengemplang BLBI melalui Release and Discharge. “Kasus-kasus ini perlu dijelaskan kembali, agar publik mengingat kembali kualitas kepemimpinan Mega dan partainya,” ujar Rachma.
Menurutnya, Joko Widodo yang didukung Mega dan PDI Perjuangan kali ini pun tidak akan jauh berbeda dengan Mega. “Kita jangan seperti beli kucing dalam karung. Jokowi mampu tidak membatalkan semua kebijakan politik Mega yang keliru itu. Dengan ringan dia (Jokowi) mengatakan akan buy back Indosat. Saya kira dia hanya asal bicara saja,” ujar Rachma lagi. (Bersambung) Tukar Guling Kasus Mega dan Jokowi Masih ingat kasus sadapan yang terungkap dalam transkrif Bagaimana tangan-tangan 'kuat' berusaha menyelamatkan Jokowi, dari badai korupsi. Mega dan Rekaman penangguhan pemeriksaan terhadap Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, diminta oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Ternyata ada tukar Guling, kata Ketua Progres '98 Faizal Assegaf , sebenarnya Jokowi tersandra oelh Megawati soal Transjakarta.
Ternyata ada tukar Guling, kata Ketua Progres '98 Faizal Assegaf , sebenarnya Jokowi tersandra oelh Megawati soal Transjakarta. Ia mengaku jika diungkap maka transkrip itu adalah benar sebuah transkrip rekaman dari seseorang yang mengaku utusan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto. "Itu dia (utusan Bambang) memperdengarkan percakapan antara Basrief Arief (Ketua Kejaksaan Agung) dan Mega pada awal Mei," kata Faisal kepada VOA ISLAM.
"Saya minta rekaman itu, tujuh menit bicara sama dia (utusan Bambang), tapi tidak dikasih," lanjutnya.
Dalam rekaman itu, kata Faisal, juga disebut sejumlah petinggi partai seperti Ketua Umum Nasdem Surya Paloh, politikus PDIP Trimedya Pandjaitan dan Todung Mulya Lubis. Menurut Ketua Progres '98 Faizal Assegaf mengaku menerima sebuah transkrip rekaman dari orang yang mengaku utusan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto.
"Berawal saat kami laporan proses rekening calon presiden Jokowi ke KPK pada tanggal 29 Mei. Seminggu kemudian kita datang lagi, pada Jumat 6 Juni, meminta kepastian hukum tiga rekening kampanye Jokowi, karena terkait gratifikasi gubernur," ungkap Faisal Usai melaporkan hal itu, lanjur Faisal, dirinya makan siang di sebuah restoran, lalu dia didatangi oleh seseorang yang mengaku utusan Bambang Widjojanto. "Dia mendengarkan rekaman ke saya, lalu menyerahkan transkripnya. Namun dia menolak untuk memberikan rekaman itu," tuturnya. "Saya tanya apa motivasi dia (utusan Bambang) dengarkan rekaman dan kasih transkrip. Dia (utusan Bambang) bilang, kata Pak Bambang jangan angkat gratifikasi (rekening kampanye Jokowi), tapi dugaan korupsi Transjakarta saja," tandasnya.
Nampaknya, KPK akan mengambil alih kasus Transjakarta Terkuak pembicaraan antara Megawati dengan Jaksa Agung, Basrief Arief, tentang permintaan penaangguhan pemeriksaan terhadap Jokowi, terkait dengan kasus Tranjakarta. Ini sebuah intervensi yang sangat merugikan, khususnya bagi aparat penegak hukum yang ingin menegakan hukum di Indonesia.
Menurut Ketua Progres 98, Faizal Assegaf, di mana di a mengaku mendapatkan transkrip rekaman yang diduga antara Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Jaksa Agung Basyrief Arief. Mega dalam 'Rekaman' meminta penangguhan pemeriksaan terhadap Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Penangguhan pemeriksaan itu diminta oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Ketua Progres '98 Faizal Assegaf mengaku menerima sebuah transkrip rekaman dari seseorang yang mengaku utusan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto. Diduga Jokowi tersangkut kasus korupsi Transjakarta Rp. 1,5 Triliun! Diduga Jokowi tersangkut kasus korupsi Transjakarta Rp. 1,5 Triliun! Faizal mengatakan, transkrip itu membicarakan permintaan Megawati agar kasus korupsi TransJakarta, tidak menyeret Jokowi. Dalam kasus ini, mantan Kepala Dishub DKI Udar Pristono, sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut dia, pembicaraan antara Megawati dengan Basrief berlangsung tanggal 3 Mei 2014 pukul 23.09 WIB, dan durasinya selama 3 menit 12 detik.
Berikut yang diperoleh dari Faizal, saat memberikan keterangan pers di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (18/6/2014):
Basrief Arief: ... Terima kasih bu, arahannya sudah saya terima, langsung saya rapatkan dengan teman-teman..."
Megawati: "... Itu anu, sampean jangan khawatir, soal media saya serahkan ke Pak Surya, nanti beliau yang berusaha meredam..."
Basrief Arief: "... Makasih bu, eskalasi pemberitaan beberapa hari agak naik, tapi alhamdulillah trendnya mulai menurun. Tim kami sudah menghadap Pak Jokowi meminta yang bersangkutan agar tidak terlalu reaktif ke media massa..."
Megawati: "... Syukurlah kalau begitu, intinya jangan sampai masalah ini (kasus TransJakarta) melemahkan kita, bisa blunder hadapi Pilpres, tolong diberi kepastian, soal teknis bicarakan langsung dengan Pak Trimedya dan mas Todung, aku percaya sama sampaean..."
Basrief Arief: "... Tadi sore kami sudah berkoordinasi, insyallah semuanya berjalan lancar, mohon dukungan dan doanya Bu, saya akan berusaha maksimal, Pak Trimedia juga sudah menjamin data-datanya..."
Megawati: "... Amien, semua ini ujian, semoga tidak berlarut-larut, apa sih yang ga dipolitisir, apalagi situasi kini makin dinamis, tapi saya percaya sampean dan kawan-kawan bisa meyakinkan ke media, saya percaya bisa diatasi, jangan kasus ini Pak Jokowi jadi terseret dan membuat agenda kita semua berantakan..."
Basrief Arief: "... Insya Allah saya usahakan, sekali lagi terima kasih kepercayaan ibu kepada saya dan teman-teman, kita komit kok Bu, untuk urusan ini (kasus TransJakarta) saya pasang badan..."
Bagaimana selama ini Jokowi di identikan sebagi tokoh yang jujur, sederhana, merakyat. Ternyata sangat tidak jujur, dan tidak mau bertanggungjawab atas kasus korupsi Transjakarta, yang tidak bisa dilepaskan dari tanggungjawab Jokowi. Pun demikian saat Mega membebaskan memberikan pengampunan kepada pengemplang BLBI melalui Release and Discharge. Jadi inilah Tukar Guling Jokowi Mega, jika Jokowi jadi Presiden maka Megawati aman atas kasus ini, dan Jokowi harus mau karena kalau tidak Jokowi tersandra kasus Transjakarta. Nah lain cerita jika Prabowo Presiden maka Megawati diduga bakal dibui.
Megawati Vs Rachmawati
Buku Rachamati Ini Menegaskan Bahwa Ada Pertikaian Di Dalam Tubuh Trah Sukarno..
Rachmawati vs Megawati..!!
Seperti yang di beritakan RMOL yang berjudul Rachmawati Siapkan Buku “Dosa Politik Mega”, sebuah buku "Dosa-Dosa Politik" Megawati dipersiapkan Rachmawati. Entah apa yang terjadi di dalam trah Sukarno tersebut.
Berikut sedikit kutipan dari catatan Rachmawati yang nantinya akan dibuat buku, dan dibawahnya ada sedikit kutipan isi buku berjudul “Kekerasan Budaya Pasca 1965″ karya Wijaya Herlambang yang terbit November 2013.

 


Bagi saya, kisah Mega dan Orde Baru bukan hal baru. Begitu juga soal hubungan antara Mega dengan bekas Pangab L.B. Moerdani dan faksi faksi yang bertikai ditubuh TNI, pun bukan hal baru.
Makanya, waktu mendengar bekas Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) RO Tambunan membongkar informasi yang diberikan Benny Moerdani kepada Mega sebelum terjadi tragedi 27 juli 1996 terjadi, saya cuma manggut manggut.Saya sudah memperkirakan itu yang akan terjadi. Mega cuma jadi alat dari pertikaian di tubuh TNI, khususnya Angkatan Darat.
Benny Moerdani mulai mendekati keluarga Bung Karno awal 1980-an. Suatu ketika, pertengahan 1980-an, dalam sebuah acara keluarga Bung Karno di Bandung , Benny Moerdani datang. Katanya dia mau mengenal lebih jauh dan berteman dengan anak anak Bung Karno.Kami persilahkan saja. Tapi saat itu saya sudah waspada. Pasti ada apa apanya nanti.
Waktu itu Benny Moerdani mulai pecah kongsi dengan Soeharto.
Hubungan mereka tidak harmonis lagi. Padahal sebelumnya, Benny Moerdani ini anak buah yang baik bagi Soeharto.
Dalam acara keluarga itu, saya sempat ngomong ngomong dengan dia. Kelihatannya Benny Moerdani memang sedang sakit hati dengan Soeharto. Dia dicopot dari posisi Pangab dan tidak dipakai Soeharto lagi. Ibarat wayang, oleh sang dalang Benny Moerdani dimasukin kotak.
Ia mengakui, dirinya menyimpan obsesi untuk menjadi orang kedua di republik ini. Tapi dia kecewa ambisi itu bagai menggantang asap. Menurutnya dia tidak mungkin tampil sebagai wakil presiden. Sebab dia beragama non muslim.Dan memang walau pun Benny Moerdani menggosok gosok namanya, tahun 1988 Soeharto memilih Soedharmono yang dikenal sebagai arsitek sekretariat negara dan orang top di Golkar, menjadi wakil presiden.
Saya sampai dipanggil ketek sama Soeharto. Waktu mau dicopot pun, saya tidak diberi tahu sebelumnya. Saya diberi tahu akan dicopot dari posisi Pangab cuma satu hari sebelumnya, begitu dia mengeluh.
Dulu, akhir 1970-an, kami, anak anak Bung Karno membuat kesepakatan bersama. Dikenal dengan konsensus keluarga Bung Karno. Isinya, kami tidak akan terjun ke dunia politik. Kami tidak mau anak dan keturunan Bung Karno dimanfaatkan oleh Orde Baru untuk kepentingan mereka Kami tidak mau dijebak.
Tapi sejak bergaul dengan Benny Moerdani, Mega mulai terlihat hendak keluar dari consensus keluarga. Dan akhirnya Mega memang keluar. Dia bergabung dengan PDI. Memang tidak tiba tiba . Sebelumnya Mega, juga suaminya Taufik Kiemas, aktrif di Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI).
Nah, Mas Guntur sebagai anak tertua, yang tadinya saya harap bisa mencegah langkah Mega itu, ternyata memilih untuk diam saja. Bahkan cenderung untuk mendukung. Saat itu saya mulai was-was. Langkah Mega mendekati faksi Moerdani dalam tubuh Orde Baru akan merugikan, tidak cuma keluarga Bung Karno , tapi juga seluruh Bangsa ini. Saat itu saya membaca, mereka tengah mempersiapkan tampilnya seorang anak Bung Karno untuk memenangkan ambisi politik mereka.
Dijadikan alat LB Moerdani, kok bangga??
Sebelum mendekati Mega, kelompok Benny Moerdani mendekati saya terlebih dahulu. Mereka membujuk dan meminta saya tampil memimpin PDI. Permintaan orang dekat dan tangan kanan Soeharto itu jelas saya tolak, Bagi saya, PDI itu cuma alat hegemoni Orde Baru yang dibentuk sendiri oleh Soeharto tahun 1973. Coba renungkan, untuk apa jadi pemimpin boneka.
Orang orang PDI yang dekat dengan Benny Moerdani, seperti Soerjadi dan Aberson Marie Sihaloho, pun ikut mengajak saya gabung ke PDI. Tetapi tetap saya tolak.
Tapi Mega tidak begitu, tidak seperti saya. Dia menuruti permintaan itu dan dan senang pula. Ajakan itu diartikannya sebagai dukungan dan kepercayaan dari orang banyak, kaum Marhaen, kepada dirinya untuk memimpin PDI. Padahal motivasi di balik ajakan ajakan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan aspirasi kaum Marhaen.
Nah, pintu yang dipakai kelompok ini untuk mendekati Mega adalah Taufik Kiemas, suaminya. Taufik memang dekat dengan kelompok itu. Hari ini pun, desas desus soal kedekatan Taufik Kiemas dengan kelompok Benny Murdani beredar luas.
Di awal 1990-an , Mega semakin larut kejebak dalam skenario pembusukan itu. Tahun 1993, dalam kongres luar biasa (KLB) PDI, di Surabaya, dia mendeklarasikan dirinya sebagai ketua umum PDI.
Beberapa saat kemudian , dalam Munas PDI di Jakarta, deklarasi itu dikukuhkan. Benny Moerdani mengerakahkan orang orangnya untuk memback up Mega dalam suksesi di tubuh PDI itu. Beberapa orang yang terlibat mengamankan Mega dalam fase itu sekarrang ini mendapat posisi enak di kabinet.
Di tahun 1993 pula saya sebelum KLB Surabaya , saya sempat bertemu dengan Mega. Saksi pertemuan itu Panda Nababan. Saya tanya Mega, mengapa mau bersekutu dengan Benny Moerdani. Tapi dia tidak menjawab sepatah katapun pertanyaan itu.
Saya katakan lagi kepadanya, untuk melawan Orde Baru kita harus melihat lihat siapa kawan yang bisa digandeng. Dan orang macam Benny Moerdani tidak bisa dijadikan kawan abadi, Suatu saat mereka akan balik menyerang. Jangan mau terjebak dalam pertarungan antara Benny Moerdani dan Soeharto. Saya tanya lagi Mega, mengapa kamu mau menari di atas gendang orang orang lain. Mengapa kamu mau diperalat.
Tiga jam saya bicara dengan Mega. Tapi tak satu patahpun dia menjawab pertanyaan saya. Saya kira dia sudah tidak peduli lagi dengan nasehat nasehat saya. Terakhir ya itu, saya dengar dia sudah mengantongi dukungan Benny Moerdani untuk memimpin PDI.
Anggota keluarga Bung Karno lainnya tetap bungkam ketika Mega jadi ketua umum PDI. Mereka tidak membaca situasi yang berkembang saat itu seperti saya. Mas Guntur juga diam. Alasannya semua anak Bung Karno sudah dewasa.
Tapi apakah menggadaikan dan menggunakan nama Bung Karno untuk kepentingan politik sesaat adalah sikap dewasa?
Saya yakin , Mega pun tidak akan menjawab pertanyaan itu.
Buku "Kekertasan Budaya Pasca 1965"
Tulisan dibawah ini ditulis berdasarkan buku yang berjudul, “Kekerasan Budaya Pasca 1965″ karya Wijaya Herlambang yang terbit November 2013 lalu yang mengungkapkan bahwa Goenawan Muhammad dibiayai lembaga filantropi mulai : Ford Fondation, Rockefeller Fondation, Asia Fondation Open Society Institue, USAID juga tokoh Yahudi George Soros.
Goenawan Mohamad sejak Tempo diberangus rezim Soeharto (1994) menempatkan diri sebagai pelawan orde baru yang handal. Dengan lenyapnya Tempo GM membangun Komunitas Utan Kayu (KUK) yang bermarkas di Jalan Utan Kayu Jakarta Timur. Lembaga ini kemudian melahirkan serenceng lembaga kebudayaan mulai AJI (Aliansi Jurnalistik Indonesia), Jaringan Islam Liberal (JIL), Teater Utan Kayu (TUK) yang diplesetkan bulletin Boemiputra menjadi Tempat Umbar Kelamin, sekaligus agen imperialis Barat.
Kehadiran JIL dirasakan umat Islam terbesar sebagai alat penghancuran Islam di negeri ini. Karena itu JIL disebut dibiayai lembaga filantropi Barat mencapai 150.000 USD/tahun.
Pendek kata KUK melalui lobby GM ke sejumlah orang-orang teras USAID, berhasil menguras dananya sebesar 100.000 -200.000 USD, sehingga menempatkan KUK sebagai agen Barat. Termasuk mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada 1995 dan belakangan membangun Salihara di kawasan Pasar Minggu sebagai pusat budaya.
Yang sangat dirasakan menyakitkan bagi kelompok Islam mainstream, kehadiran KUK di bawah GM, misalnya Radio FM 68, JIL, bahkan berbagai penerbitan bawah tanahnya seperti Bergerak, X-Pos hingga Tempo majalah dan Koran Tempo yang kini sejak era reformasi, kembali terbit, kesemua produk GM ini cenderung menghantam aspirasi Islam.
Kini terbongkar melalui buku Wijaya Herlambang, semua ini tidak aneh, GM sejatinya seorang komprador sejati, yang diakuinya sendiri, dia memang dibiayai serenceng lembaga filantropi Barat dan Asia termasuk Asia Foundation dan Japan Foundation, termasuk tokoh Yahudi Gerge Soros itu.
Memang Herlambang belum menyajikan ulasan bagaimana peranan GM saat rezim Soeharto jatuh di mana Soros ikut memainkan peranan menghancurkan ekonomi Indonesia. Hanya dikutip sekilas GM bersama Adnan Buyung Nasution terlihat menonjol di saat itu namun bukanlah dua orang itulah sejatinya yang memainkan peranan terpenting dalam reformasi Mei 1998 itu.
Yang jelas melalui seluruh penampilannya, GM cenderung berlawanan arus dengan Islam. Tatkala umat Islam makin bersikeras menentang eksistensi aliran sesat Ahmadiyah dan mendesak pemerintah membubarkannya, awal 2008, GM dan kelompoknya menentangnya dan mendirikan AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) dan memajang iklan di harian Kompas menunjukkan eksistensinya seraya mengecam umat Islam mainstream yang dituduhnya melanggar hak-hak asasi warga Ahmadiyah, mengancam kebhinekaan, sekaligus menyebar kebencecian, kekerasan, dan ketakutan di tengah masyarakat. [RioC/wahid/voa-islam.com]
.....Bersambung (3)

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan