Minggu, Oktober 27, 2013

Ketika Para Wanita mulai Sadar Produk Halal (2)

9 WIB
 
islampos
“Gerakan Halal-Thayyib” harus menjadi gerakan bersama semua orang
Hidayatullah.com--Kesadaran masyarakat mengkonsumsi produk halal, meningkat. Hal itu mendorong produsen mendaftarkan produknya untuk mendapatkan sertifikasi halal.
Demikian disampaikan Lia Amalia, Kepala Bidang Edukasi Halal dan Promosi, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI)  dalam sehari “Bergaya Hidup Halal-Kuliner Halal dan Thoyyib”  yang diadakan oleh Ummahatun Mu’minin Indonesia (UMI) Kamis, 24 Oktober 2013, di Arrahman Quranic Learning Islamic Center (AQLIC), Tebet, Jakarta Selatan.
Menurut Lia, tahun lalu ada sekitar 2000 UKM asal Jawa Barat yang mengurus sertifikasi halalnya. Pemerintah provinsi membantu UKM mendapatkan sertifikasinya.
Namun, masih ada saja pengusaha yang belum tergerak mengurus sertifikasi halal karena merasa produknya bebas dari daging Babi.
Setelah ditanya lebih lanjut, pengusaha kue basah itu menggunakan gula yang belum jelas kehalalannya.
Begitu juga tepung terigu. Ternyata bisa menjadi tidak halal ketika Ia ditambahi vitamin.
“Bahan yang berasal dari tanaman pada dasarnya halal. Tapi bila diproses dengan menggunakan aditif dan atau bahan penolong yang tidak halal, menjadi tidak halal,”ulas Lia.
Di beberapa negara tertentu seperti di Amerika Serikat, tepung terigu dihasilkan dari gandum yang langusng diolah tanpa menggunakan vitamin sebagai tambahan. Sudah jelas itu menjadi halal.
“Di Indonesia ada kebijakan untuk menambahkan vitamin saat pengolahan gandum menjadi terigu. Di situlah yang harus dicermati,”ungkapnya.
Meski demikian, masyarakat Indonesia tidak perlu khawatir mendapatkan terigu halal.
“Perusahaan terigu besar di Indonesia, rata-rata sudah mengantongi sertifikat halal,”ucapnya.
Namun, masyarakat tetap diminta waspada terhadap terigu yang masuk ke Indonesia dalam bentuk karungan.
“Biasanya itu terigu impor dari luar negeri yang kita tidak tahu apa kandungan didalamnya,”ulasnya.
Tidak hanya makanan. Minuman juga memiliki titik kritis. Suatu saat ketika Lia berkunjung ke sebuah perusahaan minuman dengan berbagai macam rasa, Ia mendapati minuman itu memiliki beragam rasa. Padahal, menurutnya, jika dilihat dari daftar belanja perusahaan itu, ukuran resep bahan yang digunakan, jauh lebih sedikit dari banyaknya botol yang dihasilkan.
Ia curiga, ada ruangan tertutup yang belum dimasuki. Ketika ditanya, ruangan apa itu, sang pemiliknya mengelak. Setelah dibuka, satu ruangan itu isinya flavour semua.
Flavour adalah esense yang bisa menghasilkan beragam rasa dan warna. Flavour juga memiliki titik kritis.”
Selain melandaskan pada syariat, halal-haram menurut Lia bisa diketahui dengan penelitian. Ilmu pengetahuan yang berkembang memungkinkan kita untuk mengetahuinya.
LPPOM MUI pernah ditanya ketika rapat di DPR tentang kehalalan air mineral.
“Kenapa sih harus repot-repot melabeli halal air mineral? Sudah jelas-jelas air mengandung H2O yang baik untuk tubuh,”ucap Lia menirukan pendapat salah seorang anggota DPR. Kemudian dipaparkan pada mereka penelitian terkini.  
Untuk menjadi air mineral seperti yang beredar saat ini di masyarakat, melewati pengolahan air atau water treatment.
Dalam proses tersebut mineral yang tidak dibutuhkan tubuh, diambil. Alat pengambilan mineral itu menggunakan resin. Resin inilah yang perlu dikritisi karena ada yang dilapisi gelatin yang rata-rata berasal dari lemak babi.
Bersikap Wara Tapi tetap Mengacu Syari’at
Dalam seminar ini ada seorang peserta bercerita tentang anaknya yang masih berumur sekitar empat tahun.
Disekolahnya ia diajarkan oleh sang guru untuk selalu bertanya pada penjual makanan “Bang, ini halal?”
Tibalah saat mereka sekeluarga berniat makan di sebuah restoran Jepang di Jakarta. Sebelum masuk, anak tersebut bertanya hal yang sama pada pegawai yang berdiri dipintu restoran itu. Penjaga tersebut minta diberi waktu bertanya pada koki. Kemudian Ia menghampiri Ibu dan anak itu.
“Maaf, Bu. Kata Koki, makanan disini tidak halal karena ada saus dan mayonaise yang menggunakan sake. Nasi juga nggak halal, Bu. Karena beras dimasak sembari diberi sake,”ucap pegawai jujur itu.
Menjawab masalah ini, Direktur Rumah Fikih Indonesia  Ahmad Sarwat LC mengatakan masalah halal atau tidak perlu kehati-hatian. Soal halal dan haram tidak kompeten dijawab oleh penjual apalagi jika Ia tidak memiliki pengetahuan yang baik soal indikator halal-haram.
Kehati-hatian dalam mengonsumsi makanan adalah perbuatan yang terpuji. Hal itu tidak membuat kita sembarang makan. Pun begitu, menurutnya, tidak bisa pukul rata bahwa semua makanan yang belum berlabel halal MUI, berarti tidak halal.
“Kita tidak bisa gebyah uyah (menyamaratakan). Ada banyak makanan gerobak pinggir jalan yang belum tentu haram walaupun belum bersertifikat halal. Kita bisa melihat siapa penjualnya,”jelasnya pria lulusan LIPIA dan Institut Ilmu Qur’an Jakarta itu.
Namun penjual yang memiliki pengetahuan yang baik tentang halal dan haram, bisa saja kita percaya.
Mengambil jalan tengah atas hal itu, ia setuju dengan langkah yang sudah dilakukan oleh Aisha Maharani, pendiri komunitas Halal Corner (HC).
Perempuan yang pernah bekerja di LPPOM MUI selama 13 tahun dan kini aktif menggiatkan komunitasnya dalam membedah makanan halal dan haram ini rajin dan saling memberi info produsen makanan mana saja yang sudah berlabel halal.
Selain itu, HC juga memberi pengetahuan ciri-ciri makanan yang tidak halal yang ditemukan dilapangan.
Gerakan Bersama
Berbicara halal-haram pada hakikatnya adalah berbicara tentang sendi kehidupan. Sebab materialisme dan pragmatisme telah menimbulkan kerusakan di muka bumi, tabarruj, eksploitasi pornografi dan pornoaksi, hedonisme hingga korupsi yang menjamur, merupakan buah dari ketidakhati-hatian soal halal-haram.
Untuk itu, UMI, organisasi yang menjadi wadah para ibu muslimah, merasa ikut bertanggungjawab membentuk generasi dan umat yang kuat dan dirahmati Allah.
“Seminar ini merupakan langkah awal kami terkait halal dan thoyyib. berikutnya, insya Allah tanggal 22 Desember, kami berencana mengadakan seminar akbar,” terang Lia Yuliani,  Ketua UMI.
Seminar akbar yang akan dilangsungkan bertepatan dengan hari ulang tahun UMI yang ke-2 itu akan membahas tentang kosmetika halal.
Kosmetika merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari sendi kehidupan. Walaupun diidentikkan dengan kaum hawa, namun para pria juga ikut menggunakannya dengan kebutuhan yang berbeda.
Apalagi untuk perempuan, kosmetika bisa mengindikasikan kelas tertentu ketika memakainya.
“Dengan standarnya masing-masing, mereka menginginkan kosmetika yang mampu memberikan dampak perubahan pada fisik terutama wajah,”kata Lia yang merupakan seorang herbalis itu.
Menurut  Lia, keinginan itu harus ditempatkan setelah mendapatkan kejelasan halal-haramnya.
Gerakan ini diharapkan bisa cepat bergulir mengingat anggota UMI berasal dari anggota berbagai majelis taklim.
Menurut Lia, jumlahnya ada sekitar 85 Majelis Taklim. Mereka optimis bisa mencapai target peserta seminar sebanyak 2000 orang.
“Kita harus berani. Target kecil sama capeknya dengan target besar. Jadi, mending kita kerja untuk target besar sekalian. Untuk manfaat yang lebih besar lagi,”cetusnya.
Karena itu, UMI berharap “Gerakan Halal-Thayyib” harus menjadi gerakan bersama semua orang.*
Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan