Minggu, Oktober 06, 2013

Hukum Sholat di atas Tempat Tidur



Pertanyaan :
Assalamualaykum..bolehkah kita shalat diatas meja atau di tempat tidur karena khawatir lantai terkena najis
Jawaban:
Bismillahirrahmanirrahim. Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.
Shalat di atas tempat tidur adalah perkara yang diperbolehkan. Berkaitan dengan bolehnya hal tersebut, Al Imam Al Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam Shahih beliau berjudul :
باب الصَّلاَةِ عَلَى الْفِرَاشِ
Bab Tentang Shalat di Atas Tempat Tidur
Kemudian beliau menyebutkan atsar dan beberapa hadits dengan sanadnya yang menjelaskan bahwa Anas radhiallahu ‘anhu, begitu juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di atas tempat tidur.
Namun dalam hal ini para ulama memberikan syarat, yaitu seseorang bisa melakukan sujud dengan kokoh ketika itu.
Syaikh Shalih Al Fauzan hafidhahullah, anggota Haiah Kibaril Ulama (Lembaga Ulama Senior) Arab Saudi dan Al Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyyah wal Ifta (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) Arab Saudi pernah ditanya :
Apakah boleh melakukan shalat di tempat yang lebih tinggi dari lantai, seperti tempat tidur dan yang semisalnya karena seseorang ragu akan kesucian lantai tersebut, dalam keadaan dia tidak memiliki udzur seperti sakit dan yang semisalnya?
Beliau hafidhahullah menjawab :
Tidak mengapa seseorang shalat di atas sesuatu yang tinggi seperti tempat tidur atau yang semisalnya jika sesuatu itu suci dan posisinya kokoh, tidak menimbulkan goncangan dan gangguan terhadapnya. (Al Muntaqa Min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan 2/143)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya :
Akhir-akhir ini telah beredar banyaknya karpet-karpet masjid yang baru atau diperbaharui dengan busa putih yang padat, diletakkan di bawah sajadah-sajadah tempat shalat. Hal itu menjadikan orang yang berjalan di atasnya seperti berjalan di atas tanah yang lembek sekali, juga menjadikan orang yang sujud tidak bisa meletakkan dahi, hidung, dan kedua lututnya dengan kokoh ketika sujud. Kami mengharap dari anda penjelasan hukum tentang hal ini, di mana hal ini telah tersebar di masjid-masjid, dan kadang karpet-karpet yang lama juga diangkat dan diganti dengan yang baru bersama dengan adanya tambahan busa-busa tersebut
Beliau rahimahullah menjawab :
Jika busa itu tipis dan tertekan ketika ada yang sujud di atasnya, maka tidak mengapa. Tetapi lebih baik ditinggalkan agar orang-orang tidak berbangga-bangga dengannya.
(Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Al ‘Utsaimin 13/184)
Adapun shalat di atas meja, maka hukumnya sama dengan shalat di atas tempat tidur.
Wabillahit taufiq, wa shallallahu wa sallam ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Sumber: milis nashihah
،Komentarku ( Mahrus ali): 
Kemudian beliau menyebutkan atsar dan beberapa hadits dengan sanadnya yang menjelaskan bahwa Anas radhiallahu ‘anhu, begitu juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di atas tempat tidur.
Imam   Bukhari membikin bab sbb:
صحيح البخاري - (ج 2 / ص 133)
بَاب الصَّلَاةِ عَلَى الْفِرَاشِ وَصَلَّى أَنَسٌ عَلَى فِرَاشِهِ وَقَالَ أَنَسٌ كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَسْجُدُ أَحَدُنَا عَلَى ثَوْبِهِ
Bab : Salat  di atas hamparan. Anas  melakukan salat di atas hamparannya .
Anas berkata: Kami melakukan  salat bersama Nabi SAW, lalu seseorang diantara kami bersujud di atas pakaiannya.
Komentarku ( Mahrus ali): 
Imam Bukhari menyatakan bahwa sahabat Anas pernah menjalankan salat di atas hamparannya tanpa sanad. Dan  ini belum bisa dikatakan  valid, tapi cendrung kepada keraguan bukan keyakinan. Karena itu, butuh  untuk di cek lagi Setahu saya ada hadis yang menunjukkan bahwa Anas menjalankan salat di hamparannya sbb;

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ قُومُوا فَأُصَلِّيَ لَكُمْ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدْ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ فَنَضَحْتُهُ بِمَاءٍ فَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ أَنَا وَالْيَتِيمُ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, katanya; aku pernah menyetorkan hapalan kepada Malik dari Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhah dari Anas bin Malik, bahwa neneknya Mulaikah pernah mengundang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam karena hidangan yang dibuatnya. Beliau pun memakannya, setelah itu beliau bersabda: "Berdirilah kalian, aku akan melakukan salat untukmu." Anas bin Malik berkata; "Aku lalu berdiri menuju sebuah tikar yang warnanya telah menghitam, karena sekian lama tidak dipakai, lalu kuperciki dengan air, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri diatasnya. Aku lalu membuat shaff bersama seorang anak yatim yang berada di belakang beliau dan seorang wanita tua di belakang kami. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian shalat dua raka'at mengimami kami, selanjutnya beliau beranjak pergi."  HADIST NO – 1053. HR Muslim

Komentarku ( Mahrus ali):
Kisah itu adalah untuk salat sunat bukan untuk salat wajib. Ia salat sunat berjamaah bukan sendirian. Beliau menjalankan salat hanya dua rakaat bukan empat rakaat dhuhur .
Bisa lihat lagi lebih jelas disini: 
lalu anda menyatakan lagi:
Anas berkata: Kami melakukan  salat bersama Nabi SAW, lalu seseorang diantara kami bersujud di atas pakaiannya.
Komentarku ( Mahrus ali): 
Kalimat itu di cantumkan oleh Bukhari dalam kitab sahihnya tanpa sanad. Dan konteknya juga belum jelas, masih kabur, belum terang, apakah salat wajib atau salat sunat.Lihat hadis aslinya  sbb:

عن أنس بن مالك قال: كنَّا نُصلِّي مع النَّبي صلى الله عليه وسلم فَيَضعُ أحدُنا طرفَ الثوبِ من شدَّة الحرِّ في مكان السجود. [رواه البخاري ومسلم

Artinya: "Anas bin Malik berkata: "Kami shalat bersama Rasulullah saw, dan setiap kami meletakkan ujung baju di tempat sujud, karena sangat panas" (HR. Bukhari (hadits nomor 378) dan Muslim (hadits nomor 620).
Hadis tsb menunjukkan bahwa  salah satu dari sahabat bukan semuanya atau sebagiannya melakukan sujud ke ujung pakaiannya karena tanahnya sangat panas. Lain dengan posisi kita yang berada di masjid yang  udaranya bukan udara Mekkah Medinah yang sangat panas, tapi berudara di Indonesia yang sejuk. Anehnya kita malah bersujud ke karpet, bahkan anti dengan  sujud ke tanah karena ikut budaya leluhur yang hina bukan para sahabat  sebagai leluhur yang mulia.Seandainya para  sahabat itu bersujud di tanah kita yang sejuk ini sudah tentu mereka  akan bersujud ke tanah tanpa menggunakan kain ujung bajunya gitu. Karena itu, kita menjalankan salat tanpa mengikuti salat sahabat dan Nabi SAW. Kita menjalankan salat atas landasan kebodohan kita terhadap sunnah Rasulullah SAW, lalu mengikuti budaya.
Lebih jelas lihat di: 
http://mantankyainu.blogspot.com/2013/09/jawaban-ustadz-yang-menyesatkan-ke-5.html 
Di katakan lagi dalam artikel tsb sbb:
Namun dalam hal ini para ulama memberikan syarat, yaitu seseorang bisa melakukan sujud dengan kokoh ketika itu.
Beliau hafidhahullah menjawab :
Tidak mengapa seseorang shalat di atas sesuatu yang tinggi seperti tempat tidur atau yang semisalnya jika sesuatu itu suci dan posisinya kokoh, tidak menimbulkan goncangan dan gangguan terhadapnya. (Al Muntaqa Min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan 2/143)
Beliau rahimahullah menjawab :
Jika busa itu tipis dan tertekan ketika ada yang sujud di atasnya, maka tidak mengapa. Tetapi lebih baik ditinggalkan agar orang-orang tidak berbangga-bangga dengannya.
(Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Al ‘Utsaimin 13/184)
Adapun shalat di atas meja, maka hukumnya sama dengan shalat di atas tempat tidur
Komentarku ( Mahrus ali): 
Syaikh Shalih Al Fauzan dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menyatakan seperti itu tanpa  merujuk kepada dalil, tapi kepada akal pikirannya saja tanpa dalil. Ini  sangat di sayangkan keluar dari orang yang selama ini tergolong ulama senior di Kerajaan Saudi arabia. Amat layak  hal itu keluar dari  orang awam di daerah Jawa atau Afrika yang masih banyak kejahilan bukan keilmuan. Kita dilarang  berpendapat tanpa dalil sebagaimana ayat:
وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap اَللّهُ
tiadalah beruntung.
(QS. An-Nahl (16): 116)

Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung-jawab.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.

(QS. Al-Isra’ : 36)


Mau nanya hubungi kami:
088803080803.( Smart freand) 081935056529 ( XL )

Dengarkan pengajian - pengajianku

Alamat rumah: Tambak sumur 36 RT 1 RW1 Waru Sidoarjo. Jatim.
 

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan