Rabu, September 11, 2013

Jawaban Ustadz yang menyesatkan



JAWABAN
________________________________________
Wa'alaikum salam wr.wb.

Terima kasih ustadz Furqan atas pertanyaannya. Jazakumullah khairal jazaa. Selintas apabila kita memperhatikan hadits-hadits dan argument di atas nampak seolah membenarkan anggapan itu bahwa sujud harus di atas tanah, tidak boleh dihalangi oleh penghalang lainnya, termasuk sajadah atau tikar.
Namun, tentu untuk menetapkan sebuah hokum kita tidak boleh hanya melihat satu pihak atau beberapa hadits saja. Kita harus berupaya membaca semua hadits yang berkaitan dengan itu, termasuk bantuan pendapat para ulama akan hal itu, kemudian mengkajinya dengan bantuan ilmu Ushul Fiqih atau Qawaid Fiqhiyyah. Baru, dari sana kita dapat mengeluarkan sebuah hokum, yang hemat saya, lebih objektif dan lebih mewakili.

Hemat saya, sujud atau shalat dengan menggunakan sajadah, tikar atau sejenisnya merupakan sesuatu yang diperbolehkan. Dan shalatnya tentu sah. Bahkan, pendapat ini sudah merupakan kesepakatan seluruh para ulama (Ijma'), sebagaimana dituturkan oleh Imam Nawawi dalam Syarah nya terhadap Shahih Muslim ((5/163), sebagaimana akan saya kutipkan di bawah nanti. Dan saya hanya dapat mengurut dada, ketika dikatakan di atas bahwa sujud yang dahinya tidak menempel ke tanah, maka shalatnya tidak sah, semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita semua, amin.

Hemat saya, shalat di atas sajadah atau di atas tanah, keduanya sah-sah saja. Termasuk juga sujud yang langsung menempelkan dahinya ke tanah, dengan sujud yang menempelkannya pada sajadah, tikar, permadani, karpet, juga sah-sah saja. Inti sesungguhnya, hemat saya, bukan masalah tanah atau sajadahnya, akan tetapi suci tidaknya tempat shalat atau tempat sujud dimaksud. Jika tanah atau sajadah tersebut suci, tentu shalatnya pun sah, dan jika ada najisnya, maka shalatnya menjadi tidak sah.

Dalil akan bolehnya sujud di atas karpet atau sajadah, sangatlah banyak. Saya akan mengetengahkan di antaranya saja:

Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim disebutkan di bawah ini:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَدَّادٍ قَالَ: سَمِعْتُ خَالَتِي مَيْمُونَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ تَكُونُ حَائِضًا لَا تُصَلِّي، وَهِيَ مُفْتَرِشَةٌ بِحِذَاءِ مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى خُمْرَتِهِ، إِذَا سَجَدَ أَصَابَنِي بَعْضُ ثَوْبِهِ. [رواه البخاري (326) ومسلم (513

Artinya: "Abdullah bin Syaddad berkata: "Saya mendengar bibiku, Maimunah, isteri Rasulullah saw, bahwasannya suatu saat ia dalam keadaan haid, sehingga ia tidak shalat. Ia kemudian duduk di halaman masjid Rasulullah saw, sementara Rasulullah saw sedang melakukan shalat di atas sajadahnya. Jika beliau sujud, sebagian baju beliau mengenai kepada saya" (HR. Bukhari, hadits nomor 326 dan  Muslim, hadits nomor 513)

Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitabnya, Fathul Bari (1/430) mengatakan: "Kata al-Khumrah—dengan membaca dhammah huruf kha' nya, dan membaca sukun huruf mim nya--, menurut Athabary adalah tikar kecil (sejadah) yang dibuat dari pelapah kurma. Dinamakan demikian, karena alat tersebut dapat menutup muka dan kedua telapak tangan dari panas atau dinginnya tanah. Jika alat tersebut besar, maka disebut dengan hasher (tikar besar).
Pendapat tersebut juga sesuai dengan pendapatnya al-Azhary dalam Tahdzîb nya, dan sahabatnya yang bernama Abu Ubaid al-Harawy serta para ulama setelahnya.

Dalam kitab an-Nihâyah ditambahkan: 'Dinamakan khamrah (tikar kecil), apabila ukurannya seperti itu'. Ia juga berkata: 'Dinamakan khamrah, karena jahitannya (atau anyamannya) tertutup dengan pelapahnya'. Al-Khattabi juga berkata: 'Khamrah dalam istilah sekarang adalah sajadah yang biasa dipakai sebagai tempat sujud bagi orang yang shalat'.

Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh para ulama sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar di atas, Imam Nawawi juga menguatkannya. Bahkan, dalam Syarah nya terhadap Shahih Muslim (5/163), Imam Nawawi membuat satu bab berjudul: 'Bab bolehnya shalat berjamaah di atas kendaraan, serta bolehnya shalat di atas tikar, sajadah dan baju'.

Masih di tempat yang sama, Imam Nawawi—yang merupakan pioneer dalam Madzhab Syafi'i—ketika menjelaskan salah satu hadits, ia berkata: "Hadits tersebut juga menjadi dalil bolehnya shalat di atas tikar atau semua bahan yang tumbuh di atas tanah. Dan hal ini sudah merupakan kesepakatan (ijma') seluruh ulama.

Adapun riwayat dari Umar bin Abdul Aziz (yang mengatakan bahwa ia membawa tanah lalu disimpan di atas sajadahnya, lalu ia sujud di atasnya=pent) yang seolah bersebrangan dengan hadits ini, perlu dipahami sebagai anjuran untuk bersikap tawadhu, di antaranya dengan jalan sujud langsung mengenai tanah.

Hadits ini juga mengandung pengertian lainnya bahwa pada hokum asalnya, baju, amparan, tikar, atau yang sejenisnya adalah suci, sampai ada bukti akurat bahwa ia terkena najis'.

Hadits lainnya yang menjadi dalil bolehnya shalat atau sujud di atas sajadah, tikar dan sejenisnya adalah:

عنْ جَابِرٍ قال : حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فَرَأَيْتُهُ يُصَلِّي عَلَى حَصِيرٍ يَسْجُدُ عَلَيْهِ.قَالَ : وَرَأَيْتُهُ يُصَلِّي فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ مُتَوَشِّحًا بِهِ. [رواه مسلم (519).

Artinya: "Jabir berkata: "Abu Said al-Khudry pernah masuk ke rumah Rasulullah saw. Abu Sa'id berkata: "Aku melihat Rasulullah saw sedang shalat di atas tikar, tempat beliau bersujud di atasnya. Abu Said berkata kembali: "Saya melihat Rasulullah saw shalat dalam satu baju yang menyelimutinya" (HR. Muslim).

Berkaitan dengan hadits di atas, Imam Nawawi dalam Syarah nya terhadap Shahhih Muslim (4/233, 234) menuturkan: "Matan hadits yang berbunyi: 'Aku melihat Rasulullah saw sedang shalat di atas tikar, tempat beliau bersujud di atasnya', menjadi dalil bolehnya shalat di atas sesuatu yang dapat menghalangi antara orang yang shalat tersebut dengan tanah. Baik sesuatu tersebut berupa baju, tikar, wol, rambut atau selain dari itu, dan baik alas tersebut  terbuat dari sesuatu yang tumbuh di atas tanah ataupun tidak.
Adapun jika alas shalat tersebut terbuat dari sesuatu yang tumbuh di atas tanah, maka tidak makruh shalat di atasnya. Adapun shalat di atas alas yang terbuat bukan dari sesuatu yang tumbuh di atas tanah seperti permadani atau bulu, maka seluruh ulama sepakat (Ijma'), shalat di atasnya tetap sah.
Hanya saja, jika ia shalat langsung di atas tanah, tentu lebih utama, kecuali karena suatu keperluan mendesak, seperti karena tanah tersebut panas atau dingin atau sejenisnya. Hal ini karena rahasia penting dari shalat adalah rasa tawadhu dan kepasrahan, dan Allah tentu lebih mengetahui".

Demikian juga dengan hadits di bawah ini: 

عن أنس بن مالك قال: كنَّا نُصلِّي مع النَّبي صلى الله عليه وسلم فَيَضعُ أحدُنا طرفَ الثوبِ من شدَّة الحرِّ في مكان السجود. [رواه البخاري ومسلم

Artinya: "Anas bin Malik berkata: "Kami shalat bersama Rasulullah saw, dan setiap kami meletakkan ujung baju di tempat sujud, karena sangat panas" (HR. Bukhari (hadits nomor 378) dan Muslim (hadits nomor 620).
Imam Bukhari menyimpan hadits di atas dalam bab yang diberinya judul: "Bab: Sujud di atas baju karena sangat panas".

Imam Hasan berkata: "Para sahabat sujud di atas sorban dan penutup kepala, sedangkan kedua tangannya berada di tangan bajunya".
Demikian di antara hadits shahih yang menjadi dalil sah dan bolehnya shalat atau sujud di atas sajadah atau sejenisnya.

Kemudian, perlu juga saya sampaikan, bahwa dalil-dalil yang diutarakan dalam pertanyaan di atas, bukan sebagai batasan bahwa sujud itu harus nempel langsung ke tanah, dan jika tidak, maka shalatnya tidak sah. Ini hemat saya, tidak tepat.

Dalam penetapan sebuah hokum, kita tidak boleh terjebak hanya dengan melihat satu atau beberapa hadits lain. Tapi kita perlu melihat banyak hadits lainnya, sehingga keputusan hokum yang dihasilkan tidak terkesan literal.

Dalil-dalil yang disampaikan dalam pertanyaan misalnya, memang ada hadits yang mengatakan hal itu. Namun, dalam hadits lainnya, masih dari rawi di atas, justru sebaliknya, melihat Rasulullah saw shalat di atas sajadah. Berikut saya kutipkan hadits-hadits dimaksud.

Di atas disampaikan bahwa Sayyidah Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw tidak menyandarkan dahinya selain dengan batu atau tanah. Namun, dalam hadits lain, masih dari Sayyidah Aisyah, Rasulullah saw shalat dan sujud di atas tikar atau amparan, dan beliau ketika sujud tidak langsung mengena tanah, akan tetapi mengena tikar atau penghalang dimaksud. Ini artinya bahwa, hadits yang disampaikan dalam pertanyaan, bukan sebagai batasan, hanya saja menjelaskan bahwa Rasulullah saw terkadang sujud langsung mengena tanah, dan terkadang memakai tikar atau amparan.

Hadits dimaksud adalah sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهِيَ مُعْتَرِضَةٌ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ عَلَى فِرَاشِ أَهْلِهِ اعْتِرَاضَ الْجِنَازَةِ } وَفِي لَفْظٍ عَنْ عِرَاكٍ عَنْ عُرْوَةَ " { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَعَائِشَةُ مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ عَلَى الْفِرَاشِ الَّذِي يَنَامَانِ عَلَيْهِ } [أخرجه البخاري

Artinya: "Dari Aisyah, adalah Rasulullah saw beliau pernah shalat di atas kasur (tikar, ampar) keluarganya, sedangkan Aisyah terlentang seperti mayat, di antara Rasulullah saw dan arah kiblat". Dalam riwayat dari 'Irak dari Urwah, bahwasannya Rasulullah saw shalat di atas kasur yang biasa dipakai tidur oleh Rasulullah dan Aisyah, sementara Aisyah terlentang di antara beliau dengan kiblat" (HR. Bukhari).

Demikian juga dengan hadits dari Abu Sa'id al-Khudri yang disampaikan dalam pertanyaan. Ternyata banyak hadits dari Abu Sa'id al-Khudry sendiri yang menjelaskan akan bolehnya shalat dan sujud di atas sajadah atau sejenisnya. Hadits dimaksud adalah:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخدري : أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فَرَأَيْته يُصَلِّي عَلَى حَصِيرٍ يَسْجُدُ عَلَيْهِ  [رواه مسلم
Artinya:"Dari Abu Said al-Khudry, bahwasannya ia masuk ke Rasulullah saw. Abu Said berkata kembali: "Saya melihat Rasulullah saw shalat di atas tikar dan beliau sujud di atasnya' (HR. Muslim).

Demikian juga dengan riwayat Ibnu Abbas. Dalam riwayat lain disebutkan:

وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ  أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى بِسَاطٍ  [رَوَاهُ أَحْمَد وَابْنُ ماجه

Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah saw shalat di atas tikar" (HR. Ahmad dan Ibn Majah).

Dari sini semua nampak, sekali lagi, bahwa hadits-hadits yang diutarakan dalam pertanyaan, bukan sebagai batasan, bahwa sujud harus terkena dengan tanah langsung, akan tetapi sebagai pilihan, dan penjelasan, bahwa boleh juga kita sujud langsung di atas tanah (bahkan, sebagian ulama, termasuk Ibnu Tamiyyah berpendapat shalat atau sujud langsung di atas tanah lebih baik dari pada di atas sajadah dan sejenisnya). Hadits di atas juga sekaligus menjadi dalil bolehnya shalat atau sujud di atas sajadah atau sejenisnya.

Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (3/234) mengatakan: "Tidak mengapa shalat di aas tikar, permadani yang terbuat dari wol, rambut, bulu, atau baju yang terbuat dari kapas, kain atau semua benda suci lainnya. Hal ini karena Umar pernah shalat di atas hamparan, Ibnu Abbas shalat di atas permadani, Zaid bin Tsabit, dan Jabir shalat di atas tikar, Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan Anas shalat di atas tikar yang ditenun. Pendapat ini adalah pendapatnya seluruh ulama. Hanya saja, ada satu riwayat yang dinisbahkan kepada Jabir bahwasannya ia membenci (memakruhkan) shalat di atas tikar yang terbuat dari hewan, dan dianjurkan shalat di atas tikar yang terbuat dari tanaman".
Sedangkan ucapan Imam Syafi'i yang disampaikan oleh penanya di atas, bukan sebagai pendapat tidak bolehnya shalat di atas karpet atau sajadah. Ucapan Imam Syafi'i di atas adalah pendapat bahwa ketika sujud, jangan sampai ada penghalang antara dahi dengan tempat sujudnya, baik tempat sujudnya itu tanah atau karpet. Karena itu, dalam madzhab Syafi'i, orang yang ketika sujudnya ada penghalang antara dahi dan tempat sujudnya, maka shalatnya dinilai tidak sah. Sedangkan menurut jumhur ulama hanya makruh saja.

Karena itulah Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' Fatawa (22/174) nya mengatakan: 'Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama tentang bolehnya shalat dan sujud di atas tikar (karpet atau permadani) jika alas tersebut berasal dari tanah (tanamann yang tumbuh di atas tanah), seperti tikar dan sejenisnya.

Para ulama berbeda pendapat tentang makruh tidaknya shalat di atas tikar yang terbuat bukan dari yang tumbuh di atas tanah, seperti dari kulit hewan, bulu wol dan sejenisnya. Sebagian besar ulama memberikan keringanan juga (membolehkan juga) untuk semua itu. Dan ini merupakan madzhabnya para ahli hadits, seperti Imam Syafi'i, Imam Ahamd, dan juga madzhabnya ulama Kufah, seperti Abu Hanifah dan lainnya.
Mereka, di antaranya, berdalil dengan hadits dari Aisyah tentang shalatnya Rasulullah di atas firâsy (kasur atau tikar). Dan kata firâsy (tikar) tersebut terbuat bukan dari yang berasal dari tanah, akan tetapi dari kulit dan dari wol".  

Demikian, semoga jelas, wallahu a'lam bis shawab.

Wassalam


Aep saepulloh darusmanwiati

Komentarku ( Mahrus ali): 

Artikel tsb insya Allah akan saya jawab  dengan cara bersambung atau serial, tidak bisa sekaligus karena materi nya banyak dan jawabannya  juga  banyak , takut membosankan . Saya mulai sbb:
Ust. Aep saepulloh darusmanwiati menyampaikan hadis  sbb:


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَدَّادٍ قَالَ: سَمِعْتُ خَالَتِي مَيْمُونَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ تَكُونُ حَائِضًا لَا تُصَلِّي، وَهِيَ مُفْتَرِشَةٌ بِحِذَاءِ مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى خُمْرَتِهِ، إِذَا سَجَدَ أَصَابَنِي بَعْضُ ثَوْبِهِ. [رواه البخاري (326) ومسلم (513

Artinya: "Abdullah bin Syaddad berkata: "Saya mendengar bibiku, Maimunah, isteri Rasulullah saw, bahwasannya suatu saat ia dalam keadaan haid, sehingga ia tidak shalat. Ia kemudian duduk di halaman masjid Rasulullah saw, sementara Rasulullah saw sedang melakukan shalat di atas sajadahnya. Jika beliau sujud, sebagian baju beliau mengenai kepada saya" (HR. Bukhari, hadits nomor 326 dan  Muslim, hadits nomor 513)
  Komentarku ( Mahrus ali): 
 Itu salah terjemahan . Yg benar sbb:
Artinya: "Abdullah bin Syaddad berkata: "Saya mendengar bibiku, Maimunah, isteri Rasulullah saw, bahwasannya suatu saat ia dalam keadaan haid, sehingga ia tidak shalat. Ia kemudian duduk di muka tempat sujud Rasulullah saw, sementara Rasulullah saw sedang melakukan shalat di atas khumrah ( sajadah untuk wajah saja). Jika beliau sujud, sebagian baju beliau mengenai kepada saya" (HR. Bukhari, hadits nomor 326 dan  Muslim, hadits nomor 513)

Jadi bukan di halaman masjid tapi Miamunah duduk di hadapan tempat sujud Rasulullah SAW  atau tempat salatnya di rumah. Ibn Rajab berkata:

فتح الباري لابن رجب - (ج 2 / ص 152)
وَالظَّاهِرُ : أَنَّ مُرَادَ مَيْمُوْنَةَ فِي هَذَا الْحَدِيْثِ مَسْجِدُ بَيْتِ النَّبيّ - صلى الله عليه وسلم - الَّذِي كَانََ يُصَلِّي فِيْهِِ مِنْ بَيْتِهِ ؛ ِلأَنّ مَيْمُوْنَةَ لاَ تَفْتَرِشُ إِلاَّ بِحِذَاءِ هَذَا الْمَسْجِدِ ، وَلمَ تُرِد -والله أعلم - مَسْجِدُ اْلمَدِيْنَةِ .
 Dhohirnya, maksud Siti Maimunah dalam hadis ini adalah  masjid dalam rumah Nabi Saw yang di gunakan untuk salat. Sebab Maimunah  tidak menggelar hamparan  kecuali dihadapan masjid ini > Beliau tidak punya maksud  masjid Madinah wallahu a`lam.

Komentarku ( Mahrus ali): 
Jadi kontek dalam hadis tsb adalah salat sunat bukan salat wajib. Kalau salat sunat silahkan menggunakan  khumrah atau sajadah untuk wajah, kalau untuk salat wajib , kita mesti lebih hati – hati dan kita harus mencari dalilnya dulu sebelum kita di tanyai dalilnya setelah kita menjalankan  sesuatu tanpa dalil.Dan saya  sendiri belum menjumpai  salat wajib rasul  dengan  sajadah, tapi langsung beliau menjalankannya  di atas tanah bukan keramik.

Aep saepulloh darusmanwiati mengatakan lagi


Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitabnya, Fathul Bari (1/430) mengatakan: "Kata al-Khumrah—dengan membaca dhammah huruf kha' nya, dan membaca sukun huruf mim nya--, menurut Athabary adalah tikar kecil (sejadah) yang dibuat dari pelapah kurma. Dinamakan demikian, karena alat tersebut dapat menutup muka dan kedua telapak tangan dari panas atau dinginnya tanah. Jika alat tersebut besar, maka disebut dengan hasher (tikar besar).
Pendapat tersebut juga sesuai dengan pendapatnya al-Azhary dalam Tahdzîb nya, dan sahabatnya yang bernama Abu Ubaid al-Harawy serta para ulama setelahnya.

Komentarku ( Mahrus ali): 
Dalam Fathul bari karya Ibn Hajar disebutkan sbb:
فيض الباري شرح البخاري - (ج 2 / ص 80)
 قوله: (خُمْرَته): وهي التي تحفظ الجبهة عن التراب
Perkataan Khurrah itu apa yang di buat pelindung dahi dari debu.

Bersambung ………..


Mau nanya hubungi kami:
088803080803.( Smart freand) 081935056529 ( XL )

Dengarkan pengajian - pengajianku

Alamat rumah: Tambak sumur 36 RT 1 RW1 Waru Sidoarjo. Jatim.


Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan