Minggu, Agustus 04, 2013

Bantahanku untuk Idrus Ramli



Komentarku ( Mahrus ali): 
Yang dimaksud hadis sahih riwayat Bukhari ini bisa di ikuti dengan pernyataan Muhammad Idrus Ramli dan Muhammad Syafiq alydrus sbb: 




Komentarku ( Mahrus ali): 
Terjemahan  tsb asli milik mereka berdua, mungkin mengutip dari terjemahan yang beredar, bukan dari pikirannya mereka berdua. Sebab saya lihat Muhammad Idrus  Ramli itu jebolan Sidogiri, bukan sekolah SMP atau SMK  Negri.  masak beliau tidak bisa menerjemahkan syair seperti itu. Atau mungkin pemahamannya segitu.  Terjemahan yang benar adalah:
وَأَبْيَضَ يُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ
 ثِمَالُ الْيَتَامَى عِصْمَةٌ لِلْأَرَامِلِ
Dan yang putih ( ya`ni Nabi SAW ), dimana  Allah pencipta awan bisa dimintai  hujan  dengan tawassul pada wajahnya
Dia penolong anak Yatim dan pelindung  janda – janda .
Bukhari menyatakan , kasidah itu adalah perkataan Abu Tholib . [1]
Ada artikel KH Thobari dalam hal ini sbb:

TERJEMAH HADITS "SHOHIH AL-BUKHORI (5 JILID)"

HATI-HATI DAN WASPADA MEMBACA DAN MENYIMAK BUKU TERJEMAHAN HADITS TANPA MENGGUNAKAN KITAB SYARAH ATAU PENJELASAN ULAMA YANG AHLI DI BIDANGNYA !

oleh Thobary Syadzily
HATI-HATI DAN WASPADA MEMBACA DAN MENYIMAK BUKU TERJEMAHAN HADITS TANPA MENGGUNAKAN KITAB SYARAH ATAU PENJELASAN ULAMA YANG AHLI DI BIDANGNYA !

Terjemahan hadits "Shohih al-Bukhori" ini dikeluarkan oleh salah satu group penerbit Wahabi / Salafi, yaitu "Pustaka As-Sunnah" Jakarta dan sangat baik dibaca untuk menambah wawasan keilmuan kita, sehingga dapat menjadikan khazanah keilmuan Islam. Begitupula bisa dijadikan sebagai "studi komperatif" dengan cara memperbandingkan terjemahannya dengan teks aslinya, sesuai dengan apa yang dimaksud dengan isi kandungan hadits tersebut. Dengan demikian, kita harus hati-hati dan waspada membaca dan menyimaknya, apalagi hanya dengan mempergunakan akal atau logika semata tanpa mengikuti penjelasan atau kitab syarahnya, seperti kitab: Fathul Bari, Umdatul Qari, Kirmani, dan Irsyadus Sari.

Dalam menterjemahkan sya'ir dari Abi Thalib pada jilid 2 halaman 707 (lihat tulisan pada foto ketiga), penterjemah telah menyelewengkan artinya, yaitu kalimat:


وَ أَبْيَضُ يُسْتَسْقَى اْلعَمَامُ بِوَجْهِهِ


(WA ABYADHU YUSTASQAL GHAMAAMU BIWAJHIHI)

diterjemahkan menjadi "Semoga awan putih disiramkan dengan pertolongan-Nya." Seharusnya kalimat-kalimat tersebut terjemahannya: "Dengan wajah beliau yang putih bersinar, diturunkanlah hujan." Maksudnya: Orang-orang kalau sedang tertimpa musim kemarau yang panjang, mereka mendatangi Nabi saw agar beliau memohon kepada Allah SWT untuk diturunkan hujan. Olehkarena itu, dengan sebab (wasilah atau perantara) wajah beliau yang putih bersinar, maka Allah SWT menurunkan hujan kepada mereka. Jadi, dalam hal ini masalah "Tawassul'" diperbolehkan dalam syari'at Islam (termasuk tawassul lewat pembacaan Shalawat badar, Shalawat Nariyah / Munfarijah / Kamilah, Shalawat Fatih dan sebagainya), baik ketika Nabi masih hidup maupun setelah wafat, sebagaimana disebutkan dalam hadits (lihat tulisan yang ada di foto keempat) sebagai berikut:[2]
Komentarku ( Mahrus ali): 
Hanya  saja tawassul  dengan  pembacaan Shalawat badar, Shalawat Nariyah / Munfarijah / Kamilah, Shalawat Fatih dan sebagainya, tiada tuntunannya bahkan ada yang mengajak kepada keshyirikan yang membahayakan.

Dalam  situs cinta sunnah di jelaskan sbb:
Syubhat 17. Hadits dalam shahih Bukhari:
لما جاء الأعرابي وشكا للنبي ( القحط فدعا الله فانجابت السماء بالمطر ( : لو كان أبو طالب حياً لقرت عيناه . من ينشدنا قوله ؟ فقال علي ( : يا رسول الله : كأنك أردت قوله :
وأبيض يستسقى الغمام بوجهه
ثمال اليتامى عصمة للأرامل
فتهلل وجه الرسول ( ولم ينكر إنشاد البيت ولا قوله يستسقى الغمام بوجهه ولو كان ذلك حراماً أو شركاً لأنكره ولم يطلب إنشاده .
Ketika datang orang arab badui dan mengadukan kekeringan kepada Nabi, beliau berdo’a kepada Allah, maka langitpun menurunkan hujan, beliau bersabda: “kalaulah Abu thalib masih hidup tentu ia akan gembira, siapakah yang bisa melantunkan sya’irnya?” Ali berkata: “Wahai Rasulullah, tampaknya engkau menginginkan sya’irnya : dan si putih yang dimintai hujan melalui wajahnya
Pemberi makan anak yatim dan pelindung para janda.
Maka wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallampun berseri-seri”.
Di sini Nabi tidak mengingkari pelantunan sya’ir tersebut tidak juga mengingkari perkataannya: “Dimintai hujan melalui wajahnya”. Kalaulah itu haram atau syirik tentu beliau akan mengingkarinya dan tidak minta dilantunkan sya’irnya.
Jawab:
Pertama: yang ada dalam shahih Al bukhari adalah dengan lafadz:
حدثنا عمرو بن علي قال حدثنا أبو قتيبة قال حدثنا عبد الرحمن بن عبد الله بن دينار عن أبيه قال : سمعت ابن عمر يتمثل بشعر أبي طالب
 وأبيض يستسقى الغمام بوجهه * ثمال اليتامى عصمة للأرامل
 وقال عمر بن حمزة حدثنا سالم عن أبيه ربما ذكرت قول الشاعر وأنا أنظر إلى وجه النبي صلى الله عليه و سلم يستسقي فما ينزل حتى يجيش كل ميزاب
 وأبيض يستسقى الغمام بوجهه * ثمال اليتامى عصمة للأرامل
 وهو قول أبي طالب
Haddatsana Amru bin Ali haddatsana Abu Qutaibah haddatsana Abdurrahman bin Abdillah bin Dinar dari ayahnya berkata: Aku mendengar ibnu Umar mengkisahkan sya’ir Abu Thalib:
dan si putih yang dimintai hujan melalui wajahnya
Pemberi makan anak yatim dan pelindung para janda.
Dan Umar bin Hamzah berkata: Haddatsana Salim dari ayahnya berkata: “Barangkali aku ingat perkataan seorang penya’ir, sementara aku melihat kepada wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang istisqa (meminta hujan), tidaklah beliau turun dari mimbarnya sampai setiap selokan mengalirkan air:
dan si putih yang dimintai hujan melalui wajahnya
Pemberi makan anak yatim dan pelindung para janda.
Ia adalah perkataan Abu thalib.
Dalam kisah ini tidak disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta agar dilantunkan sya’ir Abu Thalib, namun sebatas ibnu Umar mengingat sya’ir tersebut ketika melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beristisqa, sehingga sama sekali tidak ada dalil yang menunjukkan boleh bertawassul kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah matinya.
Kedua: Adapun datangnya arab badui yang meminta agar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta hujan, diriwayatkan oleh Al Bukhari dari hadits Anas ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ الْمَوَاشِي وَانْقَطَعَتْ السُّبُلُ فَادْعُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمُطِرْنَا مِنْ الْجُمُعَةِ إِلَى الْجُمُعَةِ فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ تَهَدَّمَتْ الْبُيُوتُ وَانْقَطَعَتْ السُّبُلُ وَهَلَكَتْ الْمَوَاشِي فَقَالَ  اللهم على الآكام والظراب والأودية ومنابت الشجر  فَانْجَابَتْ عَنْ الْمَدِينَةِ انْجِيَابَ الثَّوْبِ
“Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, telah binasa binatang ternak dan jalan-jalan telah terputus, maka berdo’alah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdo’a, kamipun di beri hujan dari jum’at ke jum’at lagi. Lalu orang itu datang lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, Rumah-rumah telah roboh, jalan-jalan terputus dan binatang ternak telah mati”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdo’a: “Ya Allah, (pindahkan hujan itu) ke bukit-bukit, gunung, lembah-lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan”. Maka hujan pun sedikit-demi sedikit berhenti seperti baju yang dilepas sedikit-demi sedikit”.
Dan Al Bukhari meriwayatkan hadits Anas ini dalam shahihnya dari beberapa jalan, dan tidak ada satupun disebutkan sabda Rasulullah: “Kalaulah Abu thalib masih hidup tentu ia akan gembira, siapakah yang bisa melantunkan sya’irnya?” Ali berkata: “Wahai Rasulullah, tampaknya engkau menginginkan sya’irnya :
dan si putih yang dimintai hujan melalui wajahnya
Pemberi makan anak yatim dan pelindung para janda.
Maka wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallampun berseri-seri”.
Lafadz ini tidak diriwayatkan oleh Al Bukhari sama sekali, namun diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab Dalail Nubuwwah dari jalan Muslim Al Mulaai dari Anas, dan Muslim Al Mulaai ini adalah perawi yang sangat lemah sebagaimana telah kita jelaskan dalam bantahan syubhat yang ke 16.
Ketiga: Bila ada yang berkata: “Ibnu Umar teringat sya’ir itu dan tidak mengingkarinya, dan ini menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”.
Dijawab: “Bahwa ibnu Umar mengingat sya’ir tersebut ketika melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beristiqa’ semasa hidupnya, dan kejadian seperti ini tidak bisa dijadikan dalil untuk membolehkan tawassul kepada Rasulullah setelah matinya, karena ibnu Umar tidak pernah bertawassul kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kalaulah pemahaman seperti ini benar, tentu ibnu Umar yang pertama kali melakukannya.[3]

Dimasyqiyah berkata:
هَذَا بَيْتٌ مِنَ الشِّعْرِ كَانَ يَقُوْلُُهُ أَبُو طَالِبٍ. وَيُبَيِّنُ أَنَّ اْلاِسْتِسْقَاءَ الْمَعْرُوْفَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ هُوَ اْلاِسْتِسْقَاءُ بِوَجْهِ الشَّخْصِ وَذَاِتِهِ. وَلَكِنْ:
هَلْ يُؤْخَذُ الدِّيْنُ مِنْ أَبِي طَالِبٍ؟
وَهَلْ كَانَ الصَّحَابَةُ يَسْتَسْقُوْنَ بِوَجْهِهِ؟..
Ini adalah bait Syair yang dikatakan oleh Abu Thalib dan menjelaskan bahwa minta hujan yang pupuler di masa Jahiliyah adalah minta hujan dengan wajah seseorang dan dzatnya. Tapi apa agama ini di ambil dari  Abu Thalib.

وَابْنُ عُمَرَ يَتَذَكَّرُ مَا كَانَ يَقُوْلُهُ أَبوُ طَالِبٍ وَهُوَ يَنْظُرُ ِإِلَى وَجْهِ النَّبِي. وَمُجَرَّدُ تَذَكُّرِ قَوْلِ الْمُشْرِكِ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يُتَّخَذَ شَرْعًا وَلاَ يَعْنِي إِقْرَارَهُمْ.
Ibnu Umar hanya mengiongat apa yang dikatakan oleh Abu Thalib dan dia melihat wajah Nabi. Sekedar ingat kepada perkataan seorang musrik  tidak boleh dijadikan sebagai sariat, begitu  juga  tidak boleh di akui sebagai kebenaran
وَإِنَّماَ الْعِبْرَةُ بِمُخَالَفَةِ فِعْلِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لِقَوْلِ أَبِي طَالِبٍ عِنْدَمَا أَعْلَنَ تَرْكَ التَّوَسُّلِ بِالنَّبِي بَعْدَ مَوْتِهِ. وَهَذَا يَعْنِي عَدَمَ جَوَازِ التَّوَسُّلِ بِاْلوَجْهِ وَلاَ بِالذَّاتِ.
Yang bisa di buat penilaian adalah perbuatan Umar bin Al Khatthab terhadap perkataan Ali bin Abi Thalib ketika  menyatakan  tidak bertawassul dengan nabi setelah meninggalnya. Dan ini menunjukkan tidak diperkenankan tawassul dengan wajah dan dzat.

كُلُّ هَذَا يُؤَكِّدُ عَلَى أَنَّ عَمَلَ الصَّحَابَةِ كَانَ عَلَى خِلاَفِ مَا تَذَكَّرَهُ الصَّحَابِيُّ مِنْ قَوْلِ الشَّاعِرِ.
Seluruhnya itu mengokohkan bahwa perbuatan sahabat bertentangan dengan syair yang  di ingat oleh seorang  sahabat. [4]
Komentarku ( Mahrus ali): 
Sebetulnya  dalam riwayat Syair Abu Thalib itu juga ada perawi lemah dan tidak bisa di buta hujjah bernama  Abd Rahman bin Abdillah bin Dinar , kata Abu Hatim.
قال أبو أحمد بن عدى : و بعض ما يرويه منكر ، لا يتابع عليه ، و هو فى جملة
من يكتب حديثه من الضعفاء .

Abu Ahmad bin Ady berkata: Sebagian riwayatnya  adalah munkar, tidak didukung oleh perawi lainnya dan termasuk orang yang hadisnya ditulis di kalangan perawi lemah.



Blog ke tiga
Peringatan:Mesin pencari diblog tidak berfungsi, pergilah ke google lalu tulislah:  mantan kiyai nu    lalu teks yang kamu cari
Mau nanya hubungi kami:
088803080803( Smartfreand ). 081935056529 (XL ) atau  08819386306   ( smartfreand )
Alamat rumah: Tambak sumur 36 RT 1 RW1





[1]   1009 Bukhari
[2] http://my.opera.com/yangmulia1/blog/2013/04/20/terjemah-hadits-shohih-al-bukhori-5-jilid
[3] http://cintasunnah.com/menepis-syubhat-pembela-tawassul-yang-haram-bag-4/





Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan