Minggu, Februari 10, 2013

MENDULANG EMAS DI DESA MAGALAU





Luthfi Bashori


Senin siang 4 Pebruari 2013, penulis diajak menengok perkampungan Dayak di desa Magalau. Jarak dari Sampanahan sekitar 15 kilo meter. Sepeda motor adalah alternatif kendaraan yang paling tepat untuk sampai ke tempat tujuan.

Sampanahan sendiri sekalipun sebagai wilayah kecamatan, namun jalan rayanya masih terdiri dari tanah makadam (jalan tanah berbatu rapat). Sedangkan untuk menuju desa Magalau, harus melewati jalan tanah yang rusak, becek dan berlobang di sana-sini.

Penulis sendiri dibonceng oleh Pak H. Abdullah yang usianya 55 tahun, namun kondisi badannya masih tegap dan kuat. Bahkan pada jalanan yang tidak tepat dikatakan sebagai jalan yang enak itu, Pak Haji Abdullah cukup kencang saat mengendarai sepeda motornya.

Perjalanan yang berliku-liku, naik turun tebing yang curam sangat mendebarkan hati, apalagi sudah lama penulis tidak naik sepeda motor di daerah pedesaan. Maka rasa ngeri sempat menyelimuti hati, karena untuk sampai ke desa Magalau harus lewat hutan belantara yang sangat rimbun.

Di salah satu jalan yang lokasinya naik dan turun cukup terjal, penulis sempat berteriak kepada Pak H. Abdullah untu berhenti. Begitu motor dihentikan, karena Pak H. Abdullah merasa kaget mendengar teriakan penulis, maka secara spontan penulis melompat dari sadal tempat duduk sepeda motor dan memilih jalan kaki akibat rasa ngeri saat melintasi jalan terjal itu.

Pak H. Abdullah hanya bisa tersenyum melihat tingkah laku penulis yang sedikit ketakutan, bahkan beliau dengan sabar menghibur penulis agar dapat menghilangkan rasa takut di perjalanan itu. Demikianlah kondisi jalan yang harus ditempuh jika akan masuk desa Magalau.

Menurut penulis, betapa tidak adilnya pemerintah pusat dalam memberikan fasilitas bagi rakyat khususnya yang berada di desa terpencil.

Begitu sampai di tempat tujuan, ternyata penulis diajak menengok beberapa pekerja yang sedang mendulang emas di sungai besar dengan aliran air yang cukup deras, namun mengandung butiran pasir emas yang sangat berharga.

Ada sampan besar yang dimodifikasi dengan mesin fuso dan rangkaian selang dan pipa berukuran super jumbo, serta modifikasi saringan kayu ulin yang tahan air, juga beberapa keset karpet bertuliskan welcome, diatur berjajar sedemikian rupa untuk menahan butiran emas agar terkumpul di keset-keset itu.

Subhanallah, dari desa kecil terpencil tanpa fasilitas yang memadai ini, ternyata Magalau menjadi salah satu sumber penghasilan uang negara yang cukup besar. Karena para petambang emas ini pada akhirnya juga harus setor kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan pemerintahan negara, baik langsung maupun tak langsung.

Penulis mendengar hitungan 16 gram koma sekian, dengan harga total Rp 6 juta sekian, hari itu yang dapat dihasilkan oleh salah satu group kerja dengan 5 orang anggota yang kebetulan termasuk `anak buah` Pak H. Abdullah pemilik dua sampan pendulang emas. Hasil jumlah itu setelah ditimbang dan dihitung ternyata setiap pekerja mendapatkan uang bagian (bersih) sekitar Rp 600 ribu di hari itu.

Menurut info, sistem pembagian hasil adalah harian, yaitu sepulang dari mendulang/menyedot emas di sungai maka langsung ditimbang dan hasilnya dibagi saat itu juga sesuai perjanjian. Hampir setiap hari warga setempat mendapatkan butiran emas itu yang jika dirata-rata dengan uang, maka penghasilan perhari mereka adalah sekitar Rp 500 ribu/orang.

Tapi anehnya, karena tidak ada kepedulian dari pemerintah terhadap kemaslahatan warga desa Magalau kecamatan Sampanahan itu, maka tetap saja kondisi desa mereka masih tertinggal jauh dibandingkan situasi mayoritas daerah-daerah yang ada di pulau Jawa.

Lampu PLN saja hanya dapat menyala mulai pukul 5 sore sampai pukul 5 pagi, sedangkan untuk siang harinya PLN sengaja mematikan aliran listriknya dari pusat. Karena kondisi semacam inilah maka warga setempat, sekalipun simpanan uang mereka cukup melimpah, namun tetap saja cara berpikirnya jauh tertinggal di bawah standar pemikiran masyarakat pulau Jawa.

Sekali lagi, sistem pendidikan dan pembagian fasilitas umum di negeri ini sangat tidak merata dan tampak timpang jika ditimbang-timbang antara standar pulau Jawa dan non pulau Jawa, seperti keberadaan desa pendulang emas Magalau, kecamatan Sampanahan, kabupaten Kota Baru, propensi Kalimantan Selatan ini.

Ya Allah, kapan negeri ini dapat menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,
negeri yang baik dan makmur dalam naungan ampunan Allah? Indonesia sangat butuh presiden taat syariat yang adil dan berpihak kepada rakyat.
Komentarku ( Mahrus ali): 
Itulah rejeki halal, tapi harus – hati- hati ketika menyimpannya, bisa jadi termasuk ayat:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
 orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih." (QS. At-Taubah : 34
Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan