Senin, Maret 09, 2015

Jangan menjalankan shalat wajib di kendaraan atau kapal





تغليق التعليق (2/ 217)
وَصلى جَابر وَأَبُو سعيد فِي السَّفِينَة قَائِما وَقَالَ الْحسن تصلي قَائِما مَا لم تشق على أَصْحَابك تَدور مَعهَا وَإِلَّا فقاعدا
أما فعل جَابر وَأبي سعيد فَقَالَ أَبُو بكر بن أبي شيبَة فِي المُصَنّف حَدَّثنا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ سُئِلَ أَنَسٌ عَنِ الصَّلاةِ فِي السَّفِينَةِ فَقَالَ عَبْدُ الله ابْن أبي عتبَة مولى أنس وهومعنا جَالِسٌ سَافَرْتُ مَعَ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ وَجَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حُمَيْدٌ وَأُنَاسٍ قَدْ سَمَّاهُمْ فَكَانَ إِمَامُنَا يُصَلِّي بِنَا فِي السَّفِينَةِ قَائِمًا وَنُصَلِّي خَلْفَهُ قِيَاما وَلَوْ شِئْنَا لأَرْفَأْنَا أَيْ أَرْسَيْنَا وَخَرَجْنَا
………….., Anas di tanya tentang shalat di kapal, lalu Adullah bin Abi Utbah – maula Anas yang duduk bersama kami berkata: Aku pergi bersama Abu Sa`id al Khudri, Abud Dar`da` dan Jabir bin Abdillah……….., lantas Humaid berkata: ……… juga beberapa orang yang disebut namnya.  Imam kita  saat itu berjamaah shalat bersama kami di kapal dengan berdiri , dan kami melakukan shalat di belakangnya dengan berdiri. Seandainya kita mau, kita bisa hentikan kapal itu dan kita keluar.

Komentarku ( Mahrus ali ):
Imam Bukhari menyampaikan hadis tsb tanpa sanad, Dan hadis atau atsar yang sedemikian ini belum tentu sahih.
Syaikh Dr Mahmud Thahan sebagai berikut :
الْحدِيْثُ الْمُعَلَّقُ مَرْدُوْدٌ؛ ِلأَنَّهُ فَقَدَ شَرْطًا مِنْ شُرُوطِ اْلقَبُولِ، وَهُوَ اتِّصَالُ السَّنَدِ، وَذَلِكَ بِحَذْفِ رَاوٍ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ إِسْنَادِهِ، مَعَ عَدَمِ عِلْمِنَا بِحَالِ ذَلِكَ الرَّاوِي الْمَحْذُوْفِ
Hadits mu’allaq adalah tertolak karena tidak adanya salah satu syarat hadits maqbul (yang diterima) yaitu tersambungnya sanad. Karena dalam hadits mu’allaq ada satu rawi atau lebih yang dihilangkan, padahal kita tidak tahu keadaan rawi yang dihilangkan. ( Taisir hal 85 )
Imam Asy Suyuthi didalam Tadribur Rawi berkata :
(الرَّاِبعَةُ مِنْ مَسَائِلِ الصَّحِيْحِ (مَا رَوَيَاهُ) أي الشَّيْخَانِ (بِالإِسْنَادِ الْمُتَّصِلِ فَهُوَ الْمَحْكُوْمُ بِصِحَّتِهِ، وَأَمَّا مَا حُذِفَ مِنْ مُبْتَدَأِ إِسْنَادِهِ وَاحِدٌ أَوْ أَكْثَرُ) وَهُوَ الْمُعَلَّقُ، وَهُوَ فِي الْبُخَارِي كَثِيْرٌ جِدًّا، كَمَا تَقَدَّمَ عَدَدُهُ، وَفِي مُسْلِمٍ فِي مَوْضِعٍ وَاحِدٍ فِي التَّيَمُّمِ
Masalah keempat dari masalah masalah ash shahih : Apa yang diriwayatkan oleh Asy Syaikhan ( Bukhari dan Muslim ) dengan sanad yang bersambung maka dipastikan akan keshahihannya, adapun yang dihilangkan diawal sanad satu atau lebih dari rawi dan disebut sebagai mu'allaq maka didalam Al Bukhari terdapat banyak sekali sebagaimana jumlahnya telah disebutkan diawal, sedangkan dalam Muslim terdapat pada satu tempat didalam bab Tayamum." ( Tadribur Rawi hal 120 )
Komentarku ( Mahrus ali ):
Dari perkataan Imam Suyuthi  jelas menyatakan bahwa  hadis  muallaq sekalipun dalam sahih  Bukhari dan Muslim tetap di nyatakan tidak sahih.

Ada perawi dalam kisah Jabir menjalankan shalat d kapal bernama Humaid  termasuk yunior tabiin, dia adalah perawi terpercaya yang suka tadlis dan Zaidah mencelanya karena dia masuk ke pintu  para amir. ( senang masuk ke pintu – pintu amir ).

مرتبته عند الذهبـي : وثقوه ، يدلس عن أنس
Martabatnya menurut Dzahabi : Mereka menyatakan dia  terpercaya, tapi mentadlis dari Anas. ( menyelinapkan perawi lain dari Anas ).
و قال أبو بكر البرديجى : و أما حديث حميد ، فلا يحتج منه إلا بما قال حدثنا أنس .

Abu bakar al bardiji  berkata: Adapun hadis Humaid, maka tidak boleh dibuat pegangan kecuali  dia menyatakan  haddasana Anas. Mausuah ruwatil hadis. 1544.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Atsar yang menerangkan bahwa sahabat Jabir, Abud darda` dan Abu  Said al Khudri menjalankan shalat di kapal dengan berdri  itu tidak bisa dibuat pegangan, lepaskan saja menurut  Abu bakar al Bardiji. Bila  dipaksa berpegangan dengannya maka  menyesatkan. Dan ia tidak boleh dibuat landasan untuk memperkenankan shalat wajib di kapal. Apalagi untuk memperbolehkan shalat wajib di karpet masjid.  Jarang kitab = kitab hadis  yang menjelaskannya dengan sanadnya yang bersambung kepada Anas . Setahu saya , mushannaf Ibnu Abi Syaibah itu. Anggap saja kisah itu tidak ada agar tidak membingungkan atau dibuat pegangan lalu kita menjalankan shalat di kapal dengan dasar  atsar itu.
Bila kisah itu sahih,  sekedar perbuatan sahabat yang mungkin benar dan mungkin salah. Dan perbuatan sahabat atau perkataannya bukan pedoman mutlak, atau pedoman husus. Apalagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah menjalankan shalat berjamaah di kapal selama hidupnya  walaupun sekali, bukan dua atau tiga.
Lalu mana pegangan kita  bila kita tiap hari menjalankan shalat wajib di kapal. Dan kapan pegangan itu bisa kita temukan. Ternyata  kita tidak punya pegangan,alias kita menjalankan sesuatu tanpa dalil. Tapi bikin – bikin  sariat  sendiri bukan dari Allah atau Nabi shallallahu 'alaihi wasallam .Dan  ini jelas larangan al Quran tidak samar lagi.  Allah berfirman:
  وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

               Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui dalilnya . Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. Al isra` 36.

 Saya belum menjumpai  dalil untuk shalat wajib di kapal atau dikendaraan  mulai dulu sampai sekarang.Mulai  di Saudi sampai di Indonesia ini. Entah sampai kapan.  Bila  saya menjumpai , maka  saya akan berpegangan  kepadanya. Saya  tidak akan melepaskan dalil untuk berpegangan kepada pendapat manusia, baik  orang alim atau jahil. Pendapat – pendapat itu  saya buang  dan saya ambil dalil saja.
Dan saya ingin menjumpai  dalil  itu , tapi belum dapat. Entah bila ada teman yang mengetahuinya, saya akan senang dan itulah yang saya  cari bila diberitahukan kepada saya. Dan jangan disimpan untuk diri sendiri.
Atsar itu tafarrud pada Humaid,dan tiada  tabiin secara keseluruhan yang mengerti atsar atau bahwa Jabir pernah menjalankan shalat berjamaah di kapal kecuali  Humaid yang mudallis itu. Dan sedemikian ini bisa di nilai bahwa  kisah itu adalah kisah yang munkar, syadz sekali atau unik, nyeleneh sekali. Karena itu, buang saja dan tidak usah di ambil lagi untuk pegangan kita dalam masalah shalat.
Kita yang berada di darat  saja, jarang yang mau untuk menjalankan salat di tanah tanpa tikar atau sajadah, apalagi di kapal atau kereta api. Ada juga kisah sbb:

عَن عَاصِم الْأَحول قَالَ سَأَلت الْحسن وَابْن سِيرِين وعامرا عَن الصَّلَاة فِي السَّفِينَة فكلهم يَقُول ((إِن قدر على الْخُرُوج فَليخْرجْ غير الْحسن فَإِنَّهُ قَالَ إِن لم يؤذ أَصْحَابه))
……………….Dari Ashim al ahwal berkata: Aku bertanya kepada Al Hasan, Ibn Sirin  dan Amir  tentang  shalat di kapal. Seluruhnya mengatakan: Bila kamu mampu untuk keluar , maka keluarlah  selain al Hasan yang berkata: “Bila tidak menyakiti teman – temannya”
Taghliqut ta`liq 218/2
Komentarku ( Mahrus ali ):
Maksudnya di suruh keluar agar menjalankan shalat di tanah bukan dalam kapal. Jangan keluar lalu menjalankan shalat di sajadah atau tikar, maka akan sama saja dengan shalat didalam kapal.

Bila tidak bisa keluar dari kapal, jangan naik kapal, nanti salatmu hancur. Dan kamu tidak bisa menjalankan shalat di tanah. Tapi naiklah kapal terbang saja atau cari kapal yang lebih cepat agar masalah salatmu tidak terbengkelai.  Bila  naik kapal, cari jam pemberangkatan yang cocok hingga anda  bisa sampai di pelabuhan dan waktu shalat masih ada.  
Lebih  baik kita rugi uang  dari pada  kita tidak bisa menjalankan  shalat yang cocok dengan tuntunannya.
Jangankan begitu, saya saja kalau pergi ke Jakarta, saya tidak mau naik kereta api, sebab masalah shalat mesti akan terbengkelai dan saya tidak bisa menjalankan shalat  di tanah. Saya harus naik kapal terbang meski sama istri atau teman. Enak lebih cepat dan salatnya bisa di jalankan di tanah. Ustadz Manshur al Buraidi mengatakan:

أجمع العلماء أنه لا يجوز أن يصلي أحد فريضةً على الدابة من غير عذر ، وأنه لا يجوز له ترك القبلة إلا فى شدة الخوف8، لحديث عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، قَالَ : رَأَيْتُ النَّبِيّ وَهُوَ عَلَى الرَّاحِلَةِ يُسَبِّحُ ، يُومِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَىِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ ، وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي الصَّلاةِ الْمَكْتُوبَةِ .رواه البخاري ومسلم . وروى ابن عُمَرَ وَجَابِر مثله ، وَقَالَ جَابِر : فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّىَ الْمَكْتُوبَةَ نَزَلَ ، فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ
Ulama telah ijma` tidak diperkenankan menjalankan shalat wajib di atas binatang ( unta atau lainnya ) tanpa ada uzur. Tidak diperkenankan meninggalkan menghadap kiblat kecuali dalam keada an sangat takut karena ada  hadis Amir bin Rabi`ah  yang berkata: Aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam  menjalankan shalat  sunat di atas kendaraannya   dengan berisarat dengan kepalanya  dan menghadap kemana saja. Namun hal itu tidak di lakukan oleh beliau dalam shalat wajib. HR Bukhari dan Muslim.
Ibnu Umar dan Jabir juga meriwayatkan hadis yang sama denganya.
Jabir sendiri berkata: Bila berkehendak untuk menjalankan shalat wajib, maka beliau turun dan menghadap kiblat.

Komentarku ( Mahrus ali ):
Ternyata Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika menjalankan shalat sunat di kendaraan tapi ketika melakukan shalat wajib beliau turun untuk sujud ke tanah tanpa sajadah. Disini malah Jabir sendiri yang meriwayatkannya. Makanya beda dengan  kisah yang munkar  dan syadz itu dimana Jabir menjalankan shalat di kapal.

Kesimpulan:
Jangan lakukan shalat di kapal, tapi lakukanlah di tanah.
Saya belum menjumpai hadis yang memperkenankan menjalankan shalat wajib di kapal sampai sekarang. Karena itu, saran saya jangan lakukan shalat di kapal atau masjid yang berkarpet tapi ikutilah tuntunan shalat yang asli bukan yang yang palsu yaitu  shalat di tanah. 

Mau nanya hubungi kami:
088803080803( Smartfren). 081935056529 (XL )  https://www.facebook.com/mahrusali.ali.50
BápĄké Şąľmä



Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan