Senin, Februari 09, 2015

Jawabanku untuk Idus Ramli ke 40



Muhammad Idrus Ramli menyatakan lagi:
Pandangan Al Albani yang diikuti oleh mahrus Ali dalam menolak otoritas hadits dhaif bertentangan dengan pendapat para ulama ahli hadits, ahli ushul fiqih, dan ahli fiqih sejak generasi salaf, yang mengakui otoritas hadits dhaif dalam konteks fadhail al a’mal, dan sesamanya. Berikut ini akan kami sebutkan beberapa ulama salaf yang mengatakan bahwa hadits dhaif dapat dijadikan hujjah dalam fadhail al a’mal, yang dikutip oleh Muhammad Khalaf Salamah dalam kitab Lisan al Muhadditsin (II/ 287):
1. Sufyan Ats Tsauri

لاَ تَأْخُذُوا هَذَا اْلعِلْمَ فِي الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ إِلاَّ مِنَ الرُّؤَسَاءِ الْمَشْهُوْرِيْنَ بِالْعِلْمِ الَّذِيْنَ يَعْرِفُوْنَ الزِّيَادَةَ وَالنُّقْصَانَ وَلاَ بَأْسَ مَا سِوَى ذَلِكَ مِنَ الْمَشَايِخِ

Janganlah mengambil ilmu ini dalam urusan halal dan haram, kecuali dari para ulama yang terkemuka, yang populer kealimannya, yang dapat mengenali adanya penambahan dan pengurangan dalam suatu hadits, dan boleh menerima hadits-hadits selain dalam konteks di atas dari para ulama kebanyakan.[1]
Komentar (Mahrus Ali):
Pendapat tersebut dirasa kurang pas, seolah-olah permasalahan akidah, iman kepada Allah, malaikat, hari akhir, tata cara ibadah, syirik, dan tauhid boleh mengambil dari perawi lemah, ini sangat riskan. Masalah-masalah tersebut juga harus berlandaskan hadits sahih dan bukan hadits lemah.
كَيْفَ لَا وَالنَّوَوِيُّ رَحِمَهُ اللهَ نَقَلَ الْاِتِّفَاقَ عَلَيه فِي أَكْثَرَ مِنْ كِتَابٍ وَاحِدٍ مِنْ كُتُبِهِ ؟ وَفِيمَا نَقَلَهُ نَظَرٌ بَيِّنٌ لِأَنَّ الْخِلاَفَ فِي ذَلِكَ مَعْرُوفٌ فَإِنَّ بَعْضَ الْعُلَمَاءِ الْمُحَقِّقِينَ عَلَى أَنَّه لَا يُعْمَلُ بِهِ مُطْلَقًا لَا فِي الْأَحْكَامِ وَلَا فِي الْفَضَائِلِ
Bagaimana tidak? Imam Nawawi –rahimahullah- telah mengutip dua tau lebih dari kitab karyanya bahwa hal itu muttafaq, yakni telah disetujui secara mufakat. Namun, kutipan Nawawi ini masih perlu dikaji ulang, sebab perselisihan dalam hal ini populer sekali. Sesungguhnya sebagian ulama yang ahli telah mengkaji menyatakan bahwa hadits lemah tidak boleh diamalkan sama sekali, baik mengenai hukum atau fadhilah.
Komentar (Mahrus Ali):
Ternyata ulama ahli tahkik menyatakan tidak mengamalkan hadits dhaif secara mutlak.
قَالَ الشَّيْخُ الْقاسِمِيُّ رَحِمَهُ اللهُ فِي " قَوَاعِدُ التَّحْدِيثِ "(ص 94):
حَكَاهُ اِبْنُ سَيِّدِ النَّاسِ فِي " عُيُونِ الْأثَرِ " عَنْ يَحْيَى بْنِ مَعِينٍ وَنَسَبَهُ فِي " فَتْح الْمُغِيثِ " لِأَبِي بَكْرٍ بْنِ الْعَرَبِيِّ وَالظّاهِرُ أَنَّ مَذْهَبَ الْبُخَارِيِّ وَمُسْلِمٍ ذَلِكَ أيضا.
وَهُوَ مَذْهَبُ اِبْنِ حَزْمٍ.
Syaikh Al Qasimi –rahimahullah- dalam kitab Qawaid tahdis 94. Ibnu Sayyidinnas yang menceritakan hal tersebut dalam kitab Uyunul Atsar dari Yahya bin Ma’in yang disandarkan dalam kitab Fathul Mughits karya Abu Bakar bin Al Arabi, yang jelas madzhab Imam Bukhari dan Muslim pun demikian. Demikianlah madzhab Ibn hazm.
Komentar (Mahrus Ali):
Lihatlah, Imam Bukhari, Muslim, dan Ibnu Hazm enggan menggunakan hadits lemah untuk amalan baik.
قُلْتُ : وَهَذَا هُوَ الْحَقُّ الَّذِي لَا شَكَّ فِيه عندِي لِأُمُورٍ : الْأَوَّلُ : أَنَّ الْحَديثَ الضَّعِيفَ إِنَّمَا يُفِيدُ الظَّنَّ المرجوح وَلَا يَجُوزُ الْعَمَلُ بِهِ اِتِّفَاقَا فَمَنْ أُخْرِجَ مِنْ ذَلِكَ الْعَمَلُ بِالْحَديثِ الضَّعيْفِ فِي الْفَضَائِلِ تَمامُ الْمِنَّةِ فِي التَّعْلِيقِ عَلَى فِقْهِ السَّنَةِ –(ج 1 / ص 35)
Saya (Albani) berkata, ”Ini yang benar yang tidak diragukan lagi menurutku karena beberapa perkara.
1. Sesungguhnya hadits lemah itu memberikan faidah degaan yang rajih (dugaan yang bukan mendekati kebenaran tetapi jauh darinya). Secara mufakat tidak boleh mengerjakan sesuatu dengan menggunakan hadits lemah, lantas siapakah yang menyatakan kecuali amalan yang utama. Lihat Jamamul Minnah Fitta’liq Fiqhis Sunnah 35/1.
لاَبِدُ أَنَّ يَأْتِيَ بِدَليلِ وَهَيْهاتَ الثَّانِي : أَنَنِي أَفْهَمُ مِنْ قَوْلِهُمْ :”.
.فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ " أَيُّ الْأَعْمَالِ الَّتِي ثَبَتَتْ مَشْرُوعِيَّتُهَا بِمَا تَقُومُ الْحُجَّةُ بِهِ شَرْعًا وَيَكُونُ مَعَه حَديثٌ ضَعِيفٌ يُسَمَّى أَجْرَا خاصَّا لِمَنْ عَمِلَ بِهِ فَفِي مِثْلِ هَذَا يُعْمَلُ بِهِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ لِأَنَّه لَيْسَ فِيه تَشْرِيعُ ذَلِكَ الْعَمَلِ بِهِ وَإِنَّمَا فِيه بَيَانُ فَضْلٍ خاصٍّ يُرْجَى أَنْ يَنَالَهُ الْعَامِلُ بِهِ
Jika harus mendatangkan dalil, tidak mungkin mereka bisa melakukannya. Saya memahami perkataan mereka dalam amalan utama adalah amalan-amalan yang ada dalilnya menurut syara’, lalu ada lagi hadits lemah yang menyebutkan pahala istimewa bagi orang yang melaksanakannya. Dalam hal ini, hadits lemah bisa dijadikan dasar untuk amalan-amalan utama, sebab tidak ada unsur untuk membuat amalan tersebut, tetapi hanya sekedar menjelaskan pahala istimewa yang akan diperoleh orang yang melaksanakannya.
وَعَلَى هَذَا الْمَعْنَى حَمَلَ الْقَوْلَ الْمَذْكُورَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ كَالْشَّيْخِ عَلِي الْقَارِي رَحِمَهُ اللهُ فَقَالَ فِي " الْمِرْقَاةِ "(2 / 381):" قَوْلَهُ : إِنَّ الْحَديثَ الضَّعِيفَ يُعْمَلُ بِهِ فِي الْفَضَائِلِ وَإِنَّ لَمْ يَعْتَضِدْ إِجْمَاعَا كَمَا قَالَهُ النَّوَوِيُّ مَحَلُّهُ الْفَضَائِلُ الثَّابِتَةُ مِنْ كِتَابٍ أَوْ سُنَّةٍ
Menurut pengertian seperti itu, maka sebagian ulama mengarahkan perkataan tersebut, seperti Syaikh Ali Al Qari –rahimahullah- dalam kitab Al Mirqat 381/1, yaitu, ”Sesungguhnya hadits lemah bisa dilaksanakan untuk  amalan utama walaupun bukan ijma’ sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi. Letak pengamalan hadits lemah adalah pada amalan utama yang berdalil dari Al Quran dan hadits.
وَكَمْ هُنَاكَ مِنْ أَمُورٍ عَدِيدَةٍ شَرَعُوهَا لِلنَّاسِ وَاِسْتَحَبُّوهَا لَهُمْ إِنَّمَا شَرَعُوهَا بِأَحادِيثِ ضَعِيفَةٍ لَا أَصْلَ لِمَا تَضَمَّنَتْهُ مِنَ الْعَمَلِ فِي السُّنَّةِ الصَّحِيحَةِ
Dan masih banyak lagi perkara yang merka syariatkan untuk manusia, dan mereka sunnahkan dengan berdasarkan pada hadits-hadits lemah dan tidak didukung oleh hadits-hadits sahih.
وَلَا يَتَّسِعُ الْمَقَامُ لِضَرْبِ الْأَمْثِلَةِ عَلَى ذَلِكَ وَحَسْبُنَا مَا ذَكَرْتُهُ مِنْ هَذَا الْمِثَالِ وَفِي الْكِتَابِ أَمْثِلَةٌ كَثِيرَةٌ سَيَأْتِي التَّنْبِيهُ عَلَيهَا فِي مَوَاطِنِهَا إِنَّ شَاءَ اللهُ
Dan, tidak layak untuk membuat permisalan, hal itu karena kondisinya tidak mengizinkan dan kita cukupi saja apa yang telah saya cantumkan dari permisalan ini. Dan, dalam hal ini terdapat banyak contoh yang nanti akan kita bahas pada tempatnya –insyaallah-.
Komentar (Mahrus Ali):
Jadi, pada intinya, Syaikh Albani mengatakan bahwa hadits lemah tidak dapat dijadikan hujjah atas sebuah amalan, tetpi dibolekan jika didukung oleh hadits sahih,
Menurut saya, gunakan saja hadits yang sahih dan tinggalkan hadits yang lemah agar tidak membingungkan. Apalagi pahala yang dicantumkan oleh hadits lemah itu terlalu dibesar-besarkan, tidak wajar sehingga pelakunya ingin sekali mendapatkannya dan merasa dirinya sudah banyak mendapat pahala, tetapi malah mengabaikan hal penting lainnya yang sudah jelas diperintahkan dalam Al Quran dan hadits. Sebaiknya, kita ikuti saja perkataan Imam Bukhari, Muslim, dan Ibnu Hazm yang menolak hadits lemah secara keseluruhan. Kebanyakan hadits lemah itu bukan perkataan Rasulullah, perawinya kebanyakan adalah pendusta. Ikuti saja ayat ini:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidaka menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu. (QS. Al Hujurat: 6).


[1] Kiai NU atau Wahabi Yang Sesat Tanpa Sadar?/ hlm. 28
Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan