Minggu, Januari 20, 2013

Maulid Nabi, Wujud Penghargaan Sejarah





Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin berpendapat, peringatan hari kelahiran Rasulullah SAW atau lebih dikenal maulid Nabi termasuk kegiatan positif yang layak dilestarikan. Maulid Nabi merupakan bukti kecintaan dan penghargaan umat Islam atas sejarah rasul terakhir ini.

Kiai Ishom mempertanyakan celaan sebagian kelompok yang menuduh peringatan maulid Nabi keluar dari ajaran Nabi sendiri. Dalam pandangan kelompok pengkritik, Nabi, shahabat, dan tabi’in, tidak pernah sama sekali melakukan kegiatan semacam ini.

”Seolah-olah Nabi tidak menghargai peristiwa-peristiwa masa lalu. Padahal, tidak mungkin secara logika Nabi tidak menghargai sejarah,” ujarnya saat ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.

Menurut Kiai Ishom, Rasulullah termasuk orang yang sangat menghargai sejarah nabi-nabi terdaulu. Teladan ini seperti ditunjukkan ketika Rasulullah menjumpai umat Yahudi berpuasa untuk mensyukuri keselamatan Nabi Musa dan para pengikutinya, serta tenggelamnya fir’aun dan bala tentaranya.

”Nahnu awla bi musa minhum. Kita (umat Islam) lebih berhak atas Nabi Musa daripada mereka (kaum Yahudi),” ujarnya menirukan sabda Nabi kepada sahabatnya sebagaimana termaktub dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim.

Selain maulid Nabi, demikian Kiai Ishom, perayaan juga sah dilaksanakan untuk memperingati peristiwa isra’ dan mi’raj, tahun baru hijriyah, dan nisfu sya’ban. Umat Islam mesti menghormati sejarah baik dalam bentuk ibadah maupun ekspresi kebudayaan.


Redaktur: Mukafi Niam
Penulis   : Mahbib Khoiron

Komentarku ( Mahrus ali): 
Menghargai sejarah itu dengan mengikuti perilaku pelaku sejarah, bukan menyelisihinya. Berhubung para sahabat dan tabiin tidak mengadakan maulid, maka kita ikut mereka akan mendapat rida Allah dari pada menyelisihi mereka mendapat simpati manusia ahli bid`ah lalu dibenci Allah. Ikutilah ayat ini:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ(100)
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. Taubat 100
 Jadi maulid itu di katakan menghargai sejarah yang dibenci oleh pelaku sejarah, mana terima kasihnya kepadanya, kok malah menyakiti.
Dikatakan dalam artikel tsb sbb:
Selain maulid Nabi, demikian Kiai Ishom, perayaan juga sah dilaksanakan untuk memperingati peristiwa isra’ dan mi’raj, tahun baru hijriyah, dan nisfu sya’ban. Umat Islam mesti menghormati sejarah baik dalam bentuk ibadah maupun ekspresi kebudayaan
Komentarku ( Mahrus ali): 
 Ini tambah menyesatkan bukan mengarahkan ke jalan para rasul, tapi ke jalan ahli bid`ah yang ngawur dalam beragama, bukan ittiba`, seenaknya bukan terkendali dengan dalil, menuruti kehendak nafsunya bukan kehendak Allah tapi menyelisihi kehendak Allah.


Dan kliklah 4 shared mp3 atau di panahnya.

 

Artikel Terkait

2 komentar:

  1. TANGGAL KELAHIRAN NABI MUHAMMAD?

    Orang malahan tidak mencatat waktu kelahirannya dengan tepat. Kaum Muslim hanya mengetahui saat wafatnya, tanggal 12 Rabiul Awwal atau Senin 8 Juni tahun 632. Muhammad Pasha dengan susah payah akhirnya memastikan bahwa Muhammad lahir hari Senin, tanggal 12 Rabiul Awwal, bertepatan dengan 20 April tahun Gajah, yaitu tahun 571 M.

    Karena perbedaan pendapat di kalangan sahabat, para penulis sejarah Nabi juga menghadapi kesulitan menelusuri tanggal, bulan dan tahun yang tepat dari kelahiran Muhammad.

    Sebab lain adalah karena di Madinah sendiri, yang menggunakan juga penanggalan bulan (qumaryyah) lebih konsekuen, toh berlainan dengan penanggalan yang berlaku di Makkah. (Sirah Muhammad Rasulullah, Fuad Hashem, hal. 85, 87 dan 88)

    BalasHapus
  2. Agama islam ini kita diperintahkan untuk ittiba' bukan ibtida', bukankah sudah jelas, Qul in kuntum tukhibbunalloh fattabi'uni, jika kamu sekalian mencintai Alloh maka ikutilah aku (Rosululloh)
    Katanya "cinta" Rosululloh, sampe2 pake mulutan segala, tapi mana buktinya, malah akhirnya menyeleweng dari kecintaan kepada Rosululloh
    Kalo ada dalilnya tahlilan, sini tunjukkan, tunjukkan kalo Rosululloh itu pernah mencontohkan, ojo angger njeplak ae

    BalasHapus

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan