Selasa, Mei 08, 2012

Surat-Surat Sufi Imam Junaid al-Baghdadi



 


 
Tulisan ini merupakan surat-surat sufi besar Imam al-Junaid bin Muhammad al Bagdadi, seorang sufi besar sepanjang masa. Surat- surat ini telah menarik berbagai kalangan ulama hingga peneliti. Surat-surat ini telah tersimpan sejak abad III Hijriah. Ada alasan mengapa al Junaid membuat surat-surat ini secara rahasia. Pertama, abad tersebut belum ada buku-buku yang memberi batasan haluan dunia tasawuf dan mengulas prinsip- prinsipnya. Kedua, di zaman itu pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu lain cukup deras publikasinya. Tasawuf prinsipnya tidak populer, bahkan diidentikan sebagai penyimpangan dan zindiq. Tampaknya hal inilah yang mendorong al-Junaid dan para pengikutnya tidak memberikan lahan pemikiran dan pandangan untuk khalayak. Disamping itu lebih pada sejumlah misteri dan rahasia yang harus dijaga.

l-Junaid, bagi kalangan sufi adalah tokoh terkemuka. Ia adalah pemimpin komunitas dan kelompok tersebut. Al-Junaid adalah simbol para wali di zamannya sekaligus pahlawan kaum yang telah menggapai tahap ma'rifat -sebagaimana ditegaskan oleh as-Subky dalam kitab Thabaqat-nya (Juz I, hlm. 280)
Mengenai Al Junaid ini banyak sekali komentar dari para murid maupun kalangan peneliti dan pengamat sufisme. Diantara komentar itu datang dari salah satu murid al-Junaid, Ja'far al-Khuldy mengatakan, "Kami tak pernah melihat di antara para syekh kami, seseorang terintergrasi dalam dirinya, ilmu dan kondisi spiritual (al-haal) selain al-Junaid. Bila aku melihat ilmunya, aku terpaku pada kondisi spiritualnya, dan bila kulihat kondisi spiritualnya aku terpaku pada ilmunya."

Ja'far juga mengatakan, " Suatu hari al-Junaid berkata, 'Allah tidak akan mengeluarkan ilmu, sementara Dia memberikan jalan keluar kepada makhluk, melainkan Allah pasti menjadikan suatu bagian untukku."

Sedangkan Abul Qasim al-Ka'by, teolog Mu'tazilah berkomentar, "Dua mataku tak pernah melihat orang seperti dia (al-Junaid). Para penulis hadir untuk mencatat kata-katanya, dan para filosuf hadir untuk menyimak kedalam maknanya, sementar para teolog hadir untuk menyerap ilmunya."

Apabila al-Junaid disebut sebagai Bapak Tasawuf Islam, kita harus kembali pada surat-surat dalam buku ini yang memuat sejumlah pandangannya, agar kita mengenal keutamaannya, mengetahui pemikiran Sufistiknya, dan dan akhirnya kita bisa melihat lebih jelas, rahasia yang tidak diketahui khalayak.

Faktor pertama, mengapa rahasia itu tersembunyi, adalah disebabkan munculnya kontroversi pemikirannya yang berbeda dengan kesepakatan para pakar rasionalis, serta tidak adanya komitmen di kalangan mereka.

Faktor kedua, tidak ada kepercayaannya jika disebarluaskan dihadapan khalayak. Al-Junaid membatasi komunitasnya, merekalah yang bisa mendapatkan ilmunya, namun hal ini tidak dipopulerkan di khalayak. Sehingga ketika menjelang wafat al-Junaid pun meminta murid-muridnya agar ia dipendam dengan daun-daunnya saja.

Faktor terpenting, mengapa pandangan pemikiran sufistik ini tidak menyebar, adalah karena hakikat-hakikat sufistik sebenarnya sulit diungkapan lewat kata-kata atau ungkapan kalimat, karena ketidak muatan kata-kata itu untuk mengkomunikasikan isyarat-isyaratnya dan pengalaman ruhaninya. Bahkan kebanyakan khalayak manusia tidak dapat memahaminya, diantaranya adalah Ibnu Araby, yang menegaskan bahwa dirinya juga tidak dapat memahami ucapan-ucapan al-Junaid.

Abu an-Nashr as-Sarraj dalam kitab al-Luma' membuat bab khusus mengenai para syeikh yang telah dituduh melakukan kekufuran, zindiq, bid'ah, dan diyakini sebagai tindakan batil. Bahkan as-Sarraj sendiri dikatagorikan sebagai kelompok mereka itu, antara lain, Amr- bin Usman al-Makky, Abul Abbas Ahmad bin Atha, dan As-Sarraj mengakhiri wacananya, dengan ucapannya, "Begitu juga al-Junaid dengan segenap pengetahuannya yang begitu banyak, kedalam pemikirannya, serta ketekunannya dalam wirid dan ibadah, keutamaannya melebihi para Ulama di zamannya dalam pemahaman, pengetahuan dan agama. Sehingga beliau mendapat gelar sebagai Thawusul Ulama'. Seringkali mereka dikejar dan ditangkap, lalu dituduh sebagai pelaku kekufuran dan kezindiqan."

Ulasan ini pasti panjang. Kami sampaikan sekedar untuk mengingaatkan hal tersebut. Agar para pakar abad kita tidak kesulitan menguraikan sebenarnya peristiwa tersebut.

Lalu tragedi yang menimpa para syeikh itu benar-benar terjadi di Baghdad, yakni tragedi (Ghulam al-Khalil) dimana ia dituduh dan didepan khalifah al-Watsiq.

Juga yang menimpa al-Hallaj, murid al-Junaid, dalam eksekusi kematian dan penyaliban, karena ia telah memperkenankan publikasi rahasia-rahasia spiritual. Apalagi pandangan al-Hallaj kemudian disalahpahami oleh khalayak, seputar Wujud Rabbany dan Wujud Insany yang mendorong khalayak terjerumus pada pandangan "serba boleh", yang ini merupakan pandangan kalangan yang mewenangkan segala yang haram dan mengabaikan hukum-hukum syariat, melalui metode "ketiadaan" dan ketidakwujudan mereka, sehingga berbagai aturan hukum tidak berlaku bagi mereka. Mereka ini disebut sebagai "Ahlul Ibadah".

Fakta itulah yang menyebabkan mereka terdorong untuk menyembuyikan rahasia-rahasia spiritual dari pandangan publik.
Sementara itu pada konteks studi-studi orientalis -- dalam hal ini -- al-Junaid menempati posisi pemikiran yang senantiasa dianggap misteri yang dalam. Berbagai metode dilakukan untuk membuka tirai agar bisa mengulas perkembangan pemikiran kaum Sufi dalam lingkaran Tasawuf. Dimulai dari Gobineau sampai pada Horten (1874-1945). Lalu Goldziner (1850-1921) yang mentransformasikan Zuhud dalam Tasawuf. Namun, wawasan Tasawuf yang luas dan lengkap pada abad III Hijriah, tetapi belum bisa ditafsiri secara sempurna materi-materinya. Ketika Tholuck menulis studinya yang lengkap tentang Tasawuf, malah membuat jangkauan yang menyimpang jauh dari posisi pandangan al-Junaid. Dan ia melihat bahwa al-Junaid telah selesai pemikirannya pada pemikiran kesatuan wujud (Wahdatul Wujud). Pandangan demikian diikuti pula oleh Dozy (1820-1883). Pada tahun 1868 Von Kremer mengulas perkembangan Tasawuf, dan mengakui pentingnya pandangan al-Junaid, minimal posisinya sebagai guru al-Hallaj.

Persoalan demikian diikuti oleh Krimsky (1871-1941), dimana tahun 1895 ia memberlakukan studi-studi di barat dalam bidang Tasawuf. Ia meyajikan kesimpulan bahwa Tasawuf merupakan warisan kebudayaan Turki, Persia dan Arab. Lantasan menyajikan ulasan tentang perkembangan Tasawuf sehingga akhir abad III Hijriah. Ia juga menampilkan pemikiran tersembunyi yang telah ditegakkan oleh al-Junaid, disamping ajaran dan pendidikan Tasawuf yang menjadi salah satu thariqat keagamaannya.

Tahapan ini tidak terbuka, karena tersembunyinya dasar-dasar praktik al-Junaid. Publikasi surat-surat Sufi ini berarti telah membuka - tidak saja pada watak dan dasar pemikiran al-Junaid - perkembangan Tasawuf sampai pada Thariqatnya. Namun surat-surat ini dirasakan memang sangat dalam dan sulit untuk memahami kandungannya.

Akhirnya Harman (1851-1918) dalam bukunya, mengutip al-Qusyairy menegaskan bahwa al-Junaid tokoh yang mengislamkan Tasawuf dan telah membuat formasinya menjadi dasar-dasar orisinal. Ia mengakui bahwa al-Junaid adalah seorang pemikir orisional, namun tertutup dalam lingkaran perkembangan Sufisme, padahal ia lah yang membangkitkan Tasawuf Islam.
Realitasnya, bukan hal yang mudah untuk merelevansikan antara pandang kaum Sufi dengan doktrin Islam; antara pemikiran tentang isolasi dan penyatuan ketuhanan dengan penetapan wujud ekstra metafisik; antara pemikiran bahwa ketuhanan adalah kondisi yang meliputi segala sesuatu yang penempatan wujud hakiki yang tunggal, yang merupakan totalitas wujud itu sendiri, yaitu pemikiran yang berpangkal pada pemikiran Wahdatul Wujud (kesatuan wujud) dan Hulul. Disusul kemudian, dengan pandangan Wujud Tunggal, dimana tak ada lagi yang Disembah dan yang menyembah. Lalu adakah peluang kewajiban dan hak-hak syariat bagi yang tidak lagi berwujud, sebagaimana pandangan yang menyatakan seorang hamba manakala telah sampai kepada Allah (wushul), ia telah menjadi bebas, dan manakala ia bebas, kewajiban ibadahnya gugur, sebagaimana pendapat kalangan liberalis kebatinan (ahlul ibahah).

Bagaimana al-Junaid mampu mengintegrasikan norma yang berbeda-beda tersebut dalam relevansi Tasawuf dan doktrin Islam? Bagaimana ia melepaskan diri - yang tidak bisa dilakukan oleh al-Hallaj dan Abu Yazid al-Bisthami, ataupun Ahlul Ibahah (Liberalis kebatinan) seperti Rabah dan Kulaib?

Kenyataannya, para Ulama dan sastrawan Sufi benar-benar menerima al-Junaid dan memuji keutamaan dan konsistensi pemikiranya, sementara ada beberapa kalangan yang kontra Tasawuf dan melakukan polemik yang datang dari para teolog, seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim, yang melihat Tasawuf dari sekedar petikan-petikan yang tersemburat, baik dari ucapan-ucapan, surat-surat moralnya maupan dari otobiografinya yang bagus. Sementara dasar dan pemikiran al-Junaid tetap saja tersembunyi, sebagaimana kedalam ungkapan yang sulit dipahami, dan samar.

Pengarang surat-surat Sufi ini adalah Abul Qasim al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid al-Kharraz al-Qawariry. Beliau lahir dan tumbuh di Bagdad, namun berasal dari persia. Keluarganya pindah ke Bagdad dari Nahawand melalui bukit. Para sejarawan tidak mempunyai data kelahirannya. Namun pada usia mudanya dan dari perjumpaannya, sangat jelas ia bahwa ia sekitar tahun 210 H. Beliau dididik oleh pamanya sendiri, As-Sarry as-Saqathy semenjak ayahnya wafat. Sedangkan rumahnya as-Saqathy senantiasa dipenuhi oleh para syeikh Sufi, untuk forum mudzakarah. al-Junaid sendiri ikut aktif dalam forum-forum tersebut.

Mazhab fiqihnya mengikuti aliran Abu Tsaur, namun beliau tidak memasuki area ilmu kalam. Pada zamannya, beliau berguru kepada Ulama dan Sufi ketika itu, seperti al-Muhasiby, adz-Dzary, abu Sa'id al-Kharraz dan para Ulama besar lainnya. al-Junaid juga melahirkan muridnya terkenal seperti asy-Syibly dan al-Hallaj. Beliau wafat di Bagdad tahun 294 H.

Tema-tema utama yang ditekuni para pakar dan pemikir pada abad III H. Adalah "Tauhid dan Hubungan Manusia dengan Allah". Di sana ada kelompok Mu'tazilah, yang mengklaim sebagai pakar keadilan dan tauhid (Ahlul 'Adl -Tauhid) yang cenderung pada rasionalisme. Ada juga kalangan Sufi yang menamakan dirinya sebagai pemilik Tauhid (Arbab at-Tauhid), yang cenderung berpijak pada Mujahadah Kalbu dalam menauhidkan Allah swt. Ibnu Katib mengatakan, "kaum Mu'tazilah menyucikan Allah swt. dari segi akal dan mereka akhirnya berbuat kesalahan. Sedangkan kaum Sufi mensucikan Allah swt. dari segi ilmu, dan mereka ini mendapatkan bebenaran." Begitu pula al-Junaid masuk dengan metode fana' dalam frekuensi yang berbeda-beda, sehingga seorang hamba bisa fana' dari dirinya dan tak ada yang tetap abadi kecuali Allah swt. Dalam salah satu suratnya beliau mengatakan:
"Arah kedua, adalah tauhidnya kalangan khusus. Ia hadir di hadapan-Nya, tak ada oknum yang ketiga. Pada dirinya berlaku aturan-Nya dalam alur aturan-aturan hukum kekuasaan-Nya, dalam keluasan dan kedalam lautan tauhid-Nya, melalui kefana'an darinya, kemudian fana' dari panggilan Allah kepadanya, dan fana' dari upaya pengabulan-Nya baginya, oleh Allah,... dan mengenai hal tersebut, bahwa seorang hamba kembali pada awal mulanya, bahwa ia ada sebagaimana firman Allah swt, "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari Sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul (Engkau Tuhan kami)....." (Q.S. AL-A'raaf: 172).

Maka siapa yang ada (ketika itu) dan bagaimana sebelum ia itu ada? Itulah pangkal dari tujuan tauhid orang yang menyatu terhadap Yang Maha Satu dengan tiadanya 'Dia'. "

Manakala kefana'an wujud hamba yang manunggal menuju wujud yang haq (Allah swt.) terkadang menyeret pada istilah hulul atau ittihad, maka al-Junaid membuat paradigma kebenaran bahwa fana' tersebut adalah fana' dalam Allah melalui kembalinya hamba yang manunggal kepada al-Baqa' setelah mengalami al-fana', dan kembali kepada al-Hudhur setelah mengalami al-ghoibah. Tahap inilah yang disebut dengan tahap kesadaran (ash-shahw). Sehingga hamba yang manunggal kembali kepada wujud semula, namun disertai keabadian fana'nya didalam Allah. Maka hamba ini adalah hamba yang fana' nan abadi. Dengan artian sang hamba keluar dari kehendak dirinya dan masuk kedalam kehendak al-Haq, seperti yang diungkapan oleh al-Junaid:

"Mereka adalah hamba-hamba yang maujud, yang fana' dalam kondisi ruhani kefana'annya, dan yang baqa' dalam kondisi ruhani kebaqa'annya... dan dari hakikat wujud ia berada dalam hakikat syuhud dengan sinarnya dari wujudnya. Dengan sinarnya wujud pada dirinya, justru jernihlah wujudnya. Dengan sinarnya kejernihannya, ia ghaib dari sifat-sifatnya. Dan dengan ghaibnya, berarti ia hadir dengan totalitas universalnya. Disana ia berada dalam mawujud yang sirna; dan sirna yang mawujud. Ia berada didalam wahana ketika belum ada. Dan ia tiada ketika dalam wahana ada. Kemudian setelah ia tiada ketika ia pada wahana ada, berarti ia ada. Maka ia adalah ia setelah ia tiada. Ia adalah maujud yang maujud setelah ia menjadi maujud yang sirna. Karena ia telah keluar dari tahap ketakberdayaan dia menuju kesadaran yang jelas. Ia dikembalikan kepada penyaksiaan (musyahadah) karena penempatan segala sesuatu pada tempatnya, dan diletakan pada proporsinya, melalui penemuan sifat-sifatnya, lewab kebaqa'an efek-Nya, dan mengikuti perbuatan-Nya setelah ia sampai pada pangkal milik-Nya yang datang dari-Nya."

Dari prinsip inilah al-Junaid menjelaskan dengan wacana ash-shahw setelah hamba tersirnakan, dalam mengalami kehadiaran setelah mencapai keghaiban. Al-Junaid akhirnya menegakkan mazhab Sufi lewat penegakkan simbol-simbol Syariat, dan sekaligus melindungi dirinya dari ungkapan hulul dan ittihad, dimana kalangan liberal kebatinan yang ekstrim seperti Rabah al-Qaisy dan Kulaib yang berasumsi bahwa, "Cinta Allah telah jatuh pada hati mereka, hasrat asmara dan kehendak mereka, sehingga cinta-Nya telah mengalahkan segala yang ada pada mereka. Apabila hal itu terjadi pada mereka disertai tahap, ia telah mendapatkan keistimewaan dari Allah. Lalu ia dibolehkan mencuri, berzina, meminum khamr, melakukan tindak kejahatan, atas dasar prioritas keistimewaan antara mereka dengan Allah. Bukan didasari tindakan halal, tetapi didasari tindakan prioritas persahabatan. Sebagai mana sahabat dekat dihalalkan mengambil harta sahabatnya tanpa ijinnya." Sedangkan kaum Sufi melepaskan diri dari tindakan seperti itu, karena pandangan demikian penuh dengan kekeliruan. Itulah diantara keutamaan al-Junaid, hingga ia mendapatkan gelar "Bapak Tasawuf Islam" dan imam Thariqat Sufi.

Surat-surat dan risalah Sufi yang ada ditangan kita ini adalah satu-satunya dokumen manuskrip yang ada di Istambul (terdata pada bagian 374 No 1314). Naskah tersebut hanya ditulis melalui satu tangan, yakni lewat Ismail bin Syauykin, yang wafat pada abad VII H, atau tahun 646 H, salah seorang murid Ibnu Araby, Sufi besar yang terkenal itu. Pertama-tama saya mempublikasikan untuk kepentingan studi saya mengenai al-Junaid dalam Gibb Memorial Series. Kemudian saya menterjemahkannya dalam edisi inggris di London The Life, personallity and Writing of al-Junayd (Gibb Memorial Series, New Series 22, 1992). Tulisan tersebut kami muat selain risalah terakhirnya (KHitabu Dawa' At-tafrith) yang merupakan manuskrip di Birmingham Inggris, dan kami tidak mendapatkan manuskrip selain yang ada disana. (Mingan Arabic Collection Silly Ohk Libraly, No 905 Folios 109-119).

Kami dapatkan bagian pertamanya dari kitab Hilyatul Auliya' karya Abu Nu'aim al-Asfihany (Juz VII, Hal. 271-173). Maka pada bagian didalam buku ini kami menyertakanya. Dan naskah tersebut seperti risalah-risalah al-Junaid yang ada pada bagian pertama yang memiliki ciri pemikiran yang dalam, jika diukur dalam kriteria dan kejujuran/kebenarannya. Wa-billaahi At-taufiq. [1]

Komentar:
raden mas menulis:
 aku penggagum, syekh Junaidi Al-Baghdadi, bahkan aku selalu bertawasul tiap ba'da dzikir setalah shalat 5 waktu, semoga mendapat limpahan barokah.

Adi Sumaryono menulis:
saya minta pengembangan dalam bidang tasawuf dalam generasi muda saat ini.Agar menjadi generasi yang mempunyai semangat juang untuk memebangkitkan kecintaan kepada Allah I dan mengembalikan kejayaan umat islam



Komentarku ( Mahru ali ):
Bapak DR. Ali Hasan Abdul Qadir berkata: 

"Tasawuf prinsipnya tidak populer, bahkan diidentikan sebagai penyimpangan dan zindiq".
Komentarku ( Mahrus ali ):
Jadi saat itu tasawuf di anggap menyimpang bukan ilmu yang lurus  dan orang masih pikir – pikir mau mengutarakan  ilmu tasawuf bukan ilmu hadis dan Quran  di kalangan masarakat, karena ada anggapan miring  seperti itu. Jadi kalau di tinjau dari realita seperti itu bukan dari hayalan, layak sekali bila masa ini bertambah maju, bukan bertambah baik, tapi tambah jauh dari ajaran Islam.
Saat itu, ilmu hadis dan al Quran masih di gunakan hujjah bukan tasawwuf oleh masarakatnya sehingga  ajaran tasawuf yang bersebrangan dengan keduanya harus di sembunyikan bukan di sebar luaskan. Bila di lontarkan akan membikin kacau belau dan masarakat akan terkejut dengannya  lalu tidak bisa menerimanya. Bahkan  di katakan kafir, zindiq dll. Anehnya masarakat sekarang bila ada orang yang menyalahkan ajaran tasawuf yang jelas keliru, malah di anggap wahaby, luar line dll. Dan yang membenarkan tasawuf di anggap ahlus sunnah. Itu penilaian terbalik, bukan penilaian yang tepat.

 Jadi kekeliruan itu menurut masarakat bukan karena tidak punya dalil, tapi terserah budaya dan lingkungannya. Bila lingkungannya  kristen, maka ajaran yang berbau Islam di lontarkan di lingkungan tersebut akan di lemparkan dan tidak di terima di kelirukan.


Dalam fatwa al azhar di katakan:
 Ketika tasbih membudaya di kalangan kaum muslimin karena  banyak dari kalangan orang awam yang melakukannya, dan para  ulama nya  tidak menganggap baik.
Karena itu pada abad ke tiga Hijriyah  di tangan Junaid terdapat tasbih, lalu ada orang yang memprotesnya lalu di katakan:
أَنْتَ مَعَ شَرَفِكَ تَأْخُذُ بِيَدِكَ سُبْحَةً؟ فَقَالَ: طَرِيْقٌ وَصَلْتُ بِهِ إِلَى رَبِّى لاَ أُفَارِقُهُ
Kamu  yang mendapat kemuliaan ini juga  memegang tasbih, lalu beliau menjawab:  Tasbih ini adalah jalan yang aku bisa sampai kepada Allah, maka aku tidak akan meninggalkannya. [2]

 Komentarku ( Mahrus ali ):
:
 Ketika saya mendengar kalimat tersebut dari Junaid, saya berkata dalam hatiku, lho para nabi dan Rasul atau para sahabat tidak pernah berkata wusul  atau sampai kepada Allah, apakah Junaid lebih hebat dari mereka.
Lalu bagaimanakah sampai kepada Allah itu, maksudnya bagaimana ? Sebab para rasul sendiri tidak pernah bilang tentang hal itu.
Saya hanya mengetahui ayat sbb:
أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ  هُمْ يَحْزَنُونَ(62)الَّذِينَ ءَامَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ(63)لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلآخِرَةِ لاَ تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.[3]
Kita ini di perintahkan untuk mendekat kepada Allah  sebagaimana  hadis:
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي َلأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي َلأُعِيذَنَّهُ وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ *
,Rasulullah t bersabda: Sesungguhnya Allah I  bersabda:” Barang siapa  yg memusuhi wali-Ku, sungguh Aku memberi izin kepadanya untuk berperang,  Tiada kebaikan yg di lakukan oleh hamba-Ku yg lebih Ku-senangi dari pada menjalankan apa yg Ku-wajibkan kepadanya Tiada hentinya seorang hamba mendekat kepada-Ku dengan ibadah – ibadah sunah hingga Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, Akulah yg menjadi pendengarannya yg dibuat mendengar ( hingga dia akan senang mendengar kebaikan dan benci mendengar kejelekan ) dan penglihatannya yg dibuat melihat, tangannya yg dibuat menampar ( hingga  tidak akan dibuat menampar sesama muslim dan akan  dibuat  bergerak di jalan Allah ), menjadi kakinya yg dibuat berjalan,Bila dia minta kepadaku, akan-Ku beri. Bila minta perlindungan kepadaKu akan Ku lindungi.  
Aku selalu mondar mandir untuk mencabut rohnya karena dia tidak suka mati dan Aku tidak mau menyakitinya.[4]
Ibnu taimiyah berkata:
وَقَدْ أَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهِ ابْنُ عَرَبِيٍّ - صَاحِبُ الْفُصُوصِ - وَادَّعَى أَنَّ الجنيد وَأَمْثَالَهُ مَاتُوا وَمَا عَرَفُوا التَّوْحِيد
Ibnu Arabi sendiri – pengarang kitab fushus tidak cocok dengan Junaid dan menganggap bahwa Junaid dan sesamanya mati dan tidak mengerti tauhid. [5]

Bapak DR. Ali Hasan Abdul Qadir berkata:
Faktor terpenting, mengapa pandangan pemikiran sufistik ini tidak menyebar, adalah karena hakikat-hakikat sufistik sebenarnya sulit diungkapan lewat kata-kata atau ungkapan kalimat, karena ketidak muatan kata-kata itu untuk mengkomunikasikan isyarat-isyaratnya dan pengalaman ruhaninya. Bahkan kebanyakan khalayak manusia tidak dapat memahaminya, diantaranya adalah Ibnu Araby, yang menegaskan bahwa dirinya juga tidak dapat memahami ucapan-ucapan al-Junaid.

Komentarku ( Mahru ali ):
Jangan asal ngomong, ilmu macam apa tasawuf itu sehingga tidak bisa di tulis dalam buku atau tidak bisa di ceritakan dengan lidah agar bisa di dengar oleh masarakat, keluarga atau anak istri, lalu bagaimana tehnis pengajarnnya  bila tidak bisa di katakan  dengan lidah.
Ajaran Islam saja bisa di tulis dalam al Quran, dan bisa di sebarkan dengan lidah, juga dengan buku.  Apakah tidak malu kepada generasi mendatang atas omongan  yang menyatakan ajaran tasawuf beda dengan ajaran al Quran yang bisa di tulis atau di ceritakan. Allah berfirman:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?[6]
ِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,[7]

Bapak DR. Ali Hasan Abdul Qadir berkata:
"Begitu juga al-Junaid dengan segenap pengetahuannya yang begitu banyak, kedalam pemikirannya, serta ketekunannya dalam wirid dan ibadah, keutamaannya melebihi para Ulama di zamannya dalam pemahaman, pengetahuan dan agama. Sehingga beliau mendapat gelar sebagai Thawusul Ulama'. Seringkali mereka dikejar dan ditangkap, lalu dituduh sebagai pelaku kekufuran dan kezindiqan."

Komentarku ( Mahru ali ):
Bila generasi dulu sudah menyatakan kekufuran dan kezindiqannya, maka saya kira tidak salah penilaian ulama dulu.

Bapak DR. Ali Hasan Abdul Qadir berkata:
Juga yang menimpa al-Hallaj, murid al-Junaid, dalam eksekusi kematian dan penyaliban, karena ia telah memperkenankan publikasi rahasia-rahasia spiritual. Apalagi pandangan al-Hallaj kemudian disalahpahami oleh khalayak, seputar Wujud Rabbany dan Wujud Insany yang mendorong khalayak terjerumus pada pandangan "serba boleh", yang ini merupakan pandangan kalangan yang mewenangkan segala yang haram dan mengabaikan hukum-hukum syariat, melalui metode "ketiadaan" dan ketidakwujudan mereka, sehingga berbagai aturan hukum tidak berlaku bagi mereka. Mereka ini disebut sebagai "Ahlul Ibahah".

Komentarku ( Mahru ali ):
Rahasia sepiritual itu bila  cocok dengan sariat, silahkan pakai dan bila bertentangan dengannya, maka tinggalkan,.peganglah ayat:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ(18)
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.[8]
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ(13)
Dia telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya).[9]
Namun syariat Allah lama kelamaan tidak bisa orsinil sebagaimana  semula. Ia mengalami perobahan oleh tangan ulama sebagaimana  di kisahkan oleh Allah
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلاَ تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلاَّ  قَلِيلاً  مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ(13)
(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.[10]


Bapak DR. Ali Hasan Abdul Qadir berkata:
. Dan ia melihat bahwa al-Junaid telah selesai pemikirannya pada pemikiran kesatuan wujud (Wahdatul Wujud). Pandangan demikian diikuti pula oleh Dozy (1820-1883). Pada tahun 1868 Von Kremer mengulas perkembangan Tasawuf, dan mengakui pentingnya pandangan al-Junaid, minimal posisinya sebagai guru al-Hallaj.

Komentarku ( Mahru ali ):
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas  berkata:


Keyakinan wahdatul wujud [11] (meyakini bahwa semua yang ada ini hanya satu) dan i’tiqad bahwa Allah menjelma (hulul) pada makhluk-Nya, maka semua keyakinan ini adalah kufur dan mengeluarkan seseorang dari Islam.[12]

Keyakinan hululiyyah[13] dan ittihadiyyah[14] merupakan jenis kekufuran yang paling buruk. Sama halnya dengan bentuk yang khusus seperti orang-orang yang berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla menitis kepada ‘Isa Alaihissallam, kepada ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan sebagian anak cucunya, kepada sebagian raja-raja atau syaikh-syaikh, dan orang yang memiliki bentuk fisik yang indah, atau yang lainnya dari perkataan yang lebih parah kesesatannya dari perkataan kaum Nasrani.

Orang-orang yang berkeyakinan sesat tersebut berpendapat bahwa hulul dan ittihadnya Allah adalah dalam segala perwujudan hingga meliputi anjing, babi, atau benda-benda najis. Hal tersebut seperti keyakinan orang-orang Jahmiyah dan orang-orang yang mengikuti keyakinan tersebut, seperti Ibnu ‘Arabi, Ibnu Sab’in, Ibnul Faridh, Tilmisani, Balyani, dan selainnya. -Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan-.

Sedangkan jalan para Nabi dan orang-orang yang mengikutinya dari orang-orang Mukmin, berkeyakinan bahwa Allah adalah Yang menciptakan alam semesta, Rabb Penguasa langit dan bumi serta apa-apa yang ada di antara keduanya, Rabb Pemilik ‘Arsy yang agung, dan seluruh makhluk adalah hamba-Nya dan semuanya butuh kepada-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

"Wahai manusia, kamulah yang membutuhkan Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” [Al-Faathir: 15]

Juga firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala

"Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan.” [Al-Ikhlash: 2]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas langit, bersemayam di ‘Arsy-Nya, berpisah dari makhluk-Nya. Meskipun demikian Allah tetap bersama para makhluk-Nya di mana pun mereka berada. Sebagai-mana firman Allah dalam surat al-Hadiid di atas.[15]


[1] Di tulis oleh DR. Ali Hasan Abdul Qadir / http://www.sufinews.com/index.php?subaction=showfull&id=1103071882&archive=&start_from=&ucat=16&do=sastra
[2] Arrisalah al Qusairiyah , fatawa al azhar 11/9
[3] Yunus 62-64
[4] HR Bukhori / Roqoq/6502.
[5] Majmu` fatawa 155/1
[6]  Al Qamar 22
[7] Annakhel 44
[8]  Al Jatsiyah 18
[9]  Syura 13
[10] Al maidah 13
[11] Inilah penamaan yang lebih tepat (dengan huruf wawu difat-hah) menurut kaidah bahasa Arab, walaupun lafazh yang lebih masyhur adalah wihdatul wujud
[12] Lihat Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah (hal. 10).

[13] Hululiyyah adalah salah satu keyakinan Tashawwuf yang meyakini bahwa Allah menitis kepada makhluk-Nya.

[14] Ittihadiyyah yaitu keyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya.
[15] Lihat Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah (III/393).
Artikel Terkait

5 komentar:

  1. Bagaimana dengan pengkelasan kualitas ibadah seorang muslim dari syariat, tarikat dan makrifat apa memang ada dalilnya dan bagaimana menilai tiap kelompok/kelas tersebut, terima kasih.

    BalasHapus
  2. Untuk taniberkredit
    Ilmu hakikat tidak dikenal di kalangan sahabat dan tabiin, itu ilmu baru, bukan Islami. Ilmu tasawwuf yang menyimpang bukan yang lurus. Baca lagi disini
    Memoar Pengembaraan Imam Al Ghazali dalam Mencari Hakikat ...
    28 Mei 2011

    BalasHapus
  3. anda tau kopi..??? tau proses pembuatannya..???
    klw anda sdh tau coba anda minum..??? bagaimana rasanya..???
    pahit atau maniskah..??? coba ungkapkan bagaimana rasa manis atau pahit itu sendiri..???

    BalasHapus
  4. Untuk heri mumbo
    Sadarlah, jangan mabuk laut, darat atau udara. Tapi kembalilah kepada Al quran dan hadis. Anda ditunjukkan malah menuduh wahabi kepada yang menunjukkan. Itu bahaya sekali untuk anda bukan menyelamatkan. Tunjukkan mana yang salah.

    BalasHapus

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan