Sabtu, Mei 19, 2012

Masakan mengandung barang haram arak






Seorang juru masak yang kebetulan muslim disebuah restoran Jepang mengakui bahwa arak itu haram ‎hukumnya. Tetapi dia mengaku mendapat ilmu dari gurunya bahwa untuk masakan tertentu harus ‎menggunakan arak tertentu pula. Kalau tidak pakai arak, masakan itu akan hambar dan tidak enak. ‎
Rasa arak memang sulit didefinisikan. Bukan karena alkoholnya, tetapi justru flavour dan aroma yang ‎muncul itulah yang menghasilkan rasa tertentu. Malangnya arak telah dikembangkan berabad-abad dan ‎diyakini sebagai bahan masakan yang lezat. Arak ditemukan hampir disemua suku bangsa sebagai bagian ‎dari tradisinya. Di Cina, minum arak sudah menjadi budaya yang tak terpisahkan. Oleh karena itu kita ‎mengenal dewa mabuk dalam cerita-cerita kungfu. Di Jepang budaya minum Sake telah terjadi selama ‎berabad-abad. Di Eropa ada anggapan bahwa softdrink dan jus buah berkonotasi dengan anak-anak. Oleh ‎karena itu pesta tanpa minuman keras dikatakan sebagai pestanya anak-anak. ‎
Budaya minuman keras rupanya bukan hanya monopoli budaya asing. Di Indonesia minuman memabukan ‎itu telah dikenal dalam adat berbagi daerah di Indonesia. Orang Bali mengenal Brem, orang Jawa mengenal ‎tuak, orang Sulawesi Utara mengenal Cap Tikus, dan berbagai minuman sejenis lainnya di daerah-daerah. ‎
Kesukaan pada minuman keras itu rupanya juga berimbas pada masakan dan makanan lainnya. ‎Kegemaran akan aroma dan rasa khas yang terdapat pada arak itu ingin juga dimasukkan pada masakan. ‎Oleh karena itu mulailah berbagai masakan dicampur dengan arak guna mendapatkan sensasi khas ‎minuman keras. ‎
Budaya itu telah mengakar dan berlangsung secara turun-menurun hingga saat ini. Karena lekatnya ‎masyarakat dengan barang haram itu, maka masakan itu menjadi kurang enak jika tidak ditambah arak. ‎Sebenarnya enak dan tidak enak itu tipis sekali batasannya. Bagi orang Jawa yang sejak kecil sudah biasa ‎makan terasi, tentu saja makan terasa hambar tanpa sambal terasi. Sebaliknya orang eropa akan nyengir ‎diberi makan berterasi karena memang tidak biasa. Demikian juga dengan keju yang di fermentasikan. Bagi ‎orang Eropa, makan berbagai fermented cheese adalah hal yang menarik. Tetapi bagi anda yang tidak ‎biasa akan menganggapnya masakan busuk. Rasa sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya, ‎lingkungan sejak kecil dan faktor kebiasaan. Orang Belanda yang sudah lama hidup di Indonesia akan ‎sangat menikmati hidangan asli Indonesia, karena sudah terbiasa. Demikian juga anak Indonesia yang lahir ‎dan besar di Eropa, atau di biasakan dengan gaya Eropa akan lebih menikmati keju dan salad atau oncom. ‎Saat ini berbagai masakan banyak menggunakan arak sebagai bahan penyedap. Meskipun dalam proses ‎pemasakannya alkohol telah terbang, tetapi rasa dan aroma arak masih tetap menempel pada masakan ‎tersebut. Hal yang sama akan terjadi pada masyarakat, karena dibiasakan dengan rasa dan aroma arak ‎lama-lama masakan itulah yang dianggapnya enak. Konsumen akan lebih akrab dengan rasa dan aroma ‎arak itu dibanding masakan lain. Kalau sudah demikian, maka benarlah anggapan sang juru masak tadi, ‎bahwa masakan tanpa arak akan hambar. Hambar dan enak yang serba relatif, yang tercipta karena mitos ‎yang ditanamkan selama bertahun-tahun. Mungkin oleh arak secara langsung, mungkin dari masakan yang ‎menggunakan arak, atau mungkin juga dari flavour atau bahan perasa yang mengarah kepada arak. oleh ‎Nur Wahid ‎[1]

Komentar : Untuk terasi , memang saya dan keluarga saya telah lima tahun tidak makan makanan yang ada terasinya  , karena  trasi itu dari bahan ikan kecil yang di lembutkan bersama tahinya dan saya  tidak akan makan tahi dan tahi haram.
Bacalah lagi disini:


17 Agt 2011


Bacalah lagi diblog ke dua : www.mantankyainu2.blogspot.com


[1] by Admin - 16 Sep 03 14:42:0 halalmui.or.id, powered by KunyitCMS-Haltek.net
Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan