Minggu, Februari 26, 2012

Qiyas dasar hukum setan bukan dasar hukum Allah.


Kami ketengahkan kepada anda artikel yang di tulis oleh  Ust. Fahmi Rusydi, Lc., lalu bacalah komentarku: Artikelnya sbb:

Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)
Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.[1]
Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.[2]
Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.[3]
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)
Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui [4]
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59)
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.[5]
Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.[6]
Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan.
Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.[7]
Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.[8] Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.[9]
.
Wallahu A’lam.

Komentarku ( Mahrus ali ):
Ust. Fahmi Rusydi, Lc.menyatakan :
Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.[10]

Komentarku : Sebetulnya masalah tsb sudah terselesaikan  tanpa Qiyas yaitu cukup dengan  hadis :
حَدِيْثُ  أَبِي مُوسَى وَمُعَاذٍ بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَبَا مُوسَى وَمُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ، فَقَالَ: يَسِّرَا وَلاَ تُعَسِّرَا، وَبَشِّرَا وَلاَ تُنَفِّرَا، وَتَطَاوَعَا فَقَالَ أَبُو مُوسَى: يَا نَبِيَّ اللهِ إِنَّ أَرْضَنَا بِهَا شَرَابٌ مِنَ الشَّعِيرِ، الْمِزْرُ؛ وَشَرَابٌ مِنَ الْعَسَلِ، الْبِتْعُ فَقَالَ: كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
Abu Musa dan Mu’adz menuturkan bahwa ketika Nabi saw mengutus keduanya ke Yaman, maka beliau berpesan : “Hendaknya kalian berdua selalu memberi kemudahan, bukan kesulitan, dan sampaikan berita gembira, bukan yang menyusahkan. Dan hendaknya kalian berdua saling membantu. Kata Abu Musa : “Wahai Nabi, di negeri kami ada sejumlah jenis minuman yang terbuat dari gandum, namanya Al Nizru dan ada lagi minuman yang terbuat dari madu, namanya Al Bit’u, bagaimana hukumnya?” sabda beliau saw : “Segala  yang menyebabkan mabuk, hukumnya haram. (Bukhari, 64, Kitabul Maghazi, 60, Bab Abu Musa dan Mu’adz diutus ke Yaman sebelum haji wada’).
Al albani menyatakan : Hadis tsb Muttafaq alaih, lihat buku karyanya Misykatul mashobih 3724.
Jadi inti dari hadis tsb adalah mana barang yang memabukkan haram dan bisa di buat pegangan tanpa butuh Qiyas lagi.

Ust. Fahmi Rusydi, Lc. Menyatakan lagi :
1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabat maupun ijma ulama.

Komentarku ( Mahrus ali ):
Pendapat sahabat bukan landasan hukum  dan tiada dalil yang menyatakan begitu . Sebab  mereka adalah manusia biasa yang mungkin benar, juga mungkin keliru. Bila  benar lalu di ikuti akan membawa manfaat  > Tapi bagaimanakah bila keliru, lalu di ikuti akan semakin rancu. Bila kekeliruannya dalam masalah sirik akan berbahaya.
Di antara sahabat sendiri  ada  yang pendapatnya  bertentangan dalam satu masalah. Bisa menjadi  sepuluh sahabat saling beda pendapatnya . Karena itu, berpeganglah kepada quran   dan hadis akan lebih tepat. Lihat kasus sbb :
عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فَلاَ يُطِيقُونَهُ ( فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا *
Atho`  mendengar Ibnu Abbas ra  membaca  ayat :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ
Maksud ayat tsb :
فَلاَ يُطِيقُونَهُ
Mereka tidak mampu berpuasa  harus membayar fidyah dengan memberi makanan kepada orang miskin.
Ibnu Abbas memberikan komentar  tidak di mansukh  tapi orang lansia lelaki atau perempuan yang tidak mampu berpuasa  hendaklah memberikan makan satu miskin  untuk setiap hari yang di tinggalkan [11]
Aku ( penulis )  berkata : Sekalipun  pendapat Ibnu Abbas itu tercantum dalam kitab sahih Bukhori,ia sekedar pendapat boleh di pakai  dan boleh di buang bila tidak cocok dengan  hadis. Pendapat ibnu Abbas ini juga ditentang oleh sahabat yang lain yang tercantunm dalam sahih Bukhori juga  sbb :

بَاب ( وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ ) قَالَ ابْنُ عُمَرَ وَسَلَمَةُ بْنُ اْلأَكْوَعِ نَسَخَتْهَا ( شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ )
Bab ayat : وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ bagi orang – orang yang kuat puasa membayar fidyah   Ibnu Umar bin Al Khotthob dan Salmah bin Alakwa`  berkata : Telah di mansukh  oleh ayat :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.[12]
ابْنُ أَبِي لَيْلَى حَدَّثَنَا أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَزَلَ رَمَضَانُ فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَكَانَ مَنْ أَطْعَمَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا تَرَكَ الصَّوْمَ مِمَّنْ يُطِيقُهُ وَرُخِّصَ لَهُمْ فِي ذَلِكَ فَنَسَخَتْهَا ( وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ) فَأُمِرُوا بِالصَّوْمِ *
Ibnu Abi laila berkata : Beberapa sahabat Nabi saw bercerita,perintah puasa Ramadhan diturunkan, lalu  mereka merasa berat.Lantas orang yang mau memberikan makanan kepada orang miskin untuk setiap harinya  boleh tidak puasa  sekalipun kuat. Mereka diperkenankan menjalankan sedemikian, lalu di mansukh dengan ayat : “   Kamu  berpuasa lebih baik “.,lalu mereka  diperintah berpuasa “. [13]

Kita kembali kepada ayat :
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللهِ  ذَلِكُمُ اللهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.[14]
     Maksudnya kembalilah kepada  al Quran  bila terjadi khilaf ,  kamu akan  tidak sesat sebagaimana  hadis :
وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابُ اللهِ
 Dan sungguh  aku telah meninggalkan  sesuatu yang kamu tidak akan sesat bila kamu berpegangan kepadanya yaitu kitabullah [15]

Ust. Fahmi Rusydi, Lc.menyatakan :
3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.[16]
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59)
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.[17]
Komentarku ( Mahrus ali ):
Dalil  yang sifatnya umum lalu di hususkan dengan qiyas akan menjadi fatal  dan keliru. Biarkan kalimat dalam ayat al quran yang punya pengertian umum  dan jangan di husus kan  dengan sesuatu  sekalipun dengan Qiyas. Para  sahabat  tanpa  Qiyas juga termasuk generasi terbaik yang di ridhai oleh Allah sebagaimana dalam ayat :
لَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).[18]
Lalu tolong contohkan dalil yang pengertiannya umum di hususkan dengan Qiyas. Mengapa tidak  di balik saja yaitu dalil yang pengertiannya  husus di umumkan dengan Qiyas saja. Dan bila terjadi  begitu  termasuk perobahan makna yang hebat  nantinya  dan termasuk ayat : '
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلاَّ قَلِيلًا مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.[19]
Anda menyatakan  tentang ayat :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59)
sebagai landasan qiyas menurut saya barang baru dan belum ada ulama yang saya jumpai yang menyatakan seperti itu. Saya kebih baik tidak mendengarnya  dan kamu juga lebih baik diam, sebab pernyataannya mu keliru tanpa ilmu terkesan akal akalan yang di benci kalangan awam apalagi kalangan intelektual.
Dalil  itu jelas melarang Qiyas, karena minta di kembalikan kepada al quran dan hadis bila ada masalahn hilafiyah. Maksudnya bagaimana ayatnya dan tuntunannya . Bila  kembali kepada Qiyas, setahu  saya akan  di terangkan oleh Allah. Bila Allah tidak menyatakan seperti itu  untuk apakah banyak  orang menerangkan nya . Qiyas itu ber arti bikin sariat baru  setelah wahyu terputus dan telah di sempurnakan.
Sejak dulu para sahabat tanpa Qiyas sekalipun ayat itu telah di turunkan.
وَقَالَ قُدِّسَ سِرُّهُ أيضاً ((وَقَدْ كَانَ السَّلَفُ الصَّالِحُ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ يَقْدِرُوْنَ عَلَى الْقِيَاسِ وَلَكِنَّهُمْ تَرَكُوْا ذَلِكَ أَدَباً مََعَ رَسُوْلِ اللهِ
Imam Sya`rani semoga Allah membersihkan hatinya ……….  Sungguh  ulama salaf dahulu dari sahabat atau tabi`in bisa Qiyas tapi mereka  tidak melakukannya  karena  beradab  terhadap Rasulullah SAW. [20]

lembaga tetap untuk fatwa dan bimbingann kerajaan Saudi Arabia  menyatakan :
Qiyas dalam ibadah  tidak diperkenankan. [21]
Anda menyatakan lagi :
Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.[22]
Hadis yang anda maksudkan itu lemah  sekali  sbb :

حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي عَوْنٍ الثَّقَفِيِّ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Sesungguhnya Rasulullah  mendelegasikan Mu`adz ke Yaman, lalu bersabda : Bagaimamanakah kamu menghukumi ?
Dia menjawab : Aku menghukumi dengan apa yang terdapat di dalam kitabullah.
Rasulullah   bertanya : Bila tidak ada dalam kitabullah.
Dia menjawab : Dengan sunnah Rasulullah 
Rasulullah   bertanya : Bila tidak terdapat dalam sunnah Rasulullah 
Dia menjawab :  Aku ijtihad dengan pendapatku.
Rasulullah   bersabda : Segala puji bagi Allah yang memberikan taufik kepada utusan Rasulullah 

HR Tirmidzi, namun dalam sanadnya  terdapat Al Harits bin Amar yang lemah. 
Dan siapakah  lelaki – lelaki dari sahabat  Mu`adz.
Di tempat lain, Tirmidzi menyatakan  mereka adalah orang – orang dari penduduk Himsha. Sanadnya tidak bersambung. Dan  saya hanya mengetahuinya dari jalur ini.
Al albani menyatakan hadis tsb mungkar 
Al Uqaili berkata : Imam Bukhari menyatakan, lemah, ia mursal 
Ibnu Hazem menyatakan ; perawi bernama Al Harits bin Amar adalah tidak dikenal   Ibnul Jauzi menyatakan dalam kitab al ilal al mutanahiyah, lemah / tidak sahih  sekalipun banyak kalangan ahli fikih berpegangan kepadanya  dalam kitab – kitab  mereka
Anda menyatakan lagi :
Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan.
Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.[23]
Komentarku ( Mahrus ali ):
Baru kali ini, saya mendengar keterangan bahwa para sahabat melakukan Qiyas dalam beragama, dan sayang sekali, anda tidak menampakkan refrensinya, seolah anda  sudah memastikan kebenaran informasi tsb. Mana datanya  bahwa  para sahabat melakukan Qiyas, apakah  kita pembaca di suruh menerima begitu saja tanpa keterangan yang ilmiyah dan historis sekali. Ini kedustaan yang nyata dan penipuan.
Pengertian kalalah adalah orang yang tidak memiliki anak atau ayah dengan jalan Qiyas  tidak di katakan oleh para ahli tafsir, setahu  saya itu pendapat anda  yang tidak rasional sekali. Karena itu, tunjukkan dalil yang kuat. tanpa  Qiyas arti kalalah itu begitu.


[1]   Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53.

[2]  Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175.

[3]   Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53.

[4]  Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 592.

[5]  Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175.

[6]   Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 56.

[7]  Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 597.

[8]  Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 58.

[9] ] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 60. Lebih lanjut lihat hal 60-78.

[10]   Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53.


[11] HR Bukhori  4505
[12] Al Baqarah  185
[13] Sahih Bukhori
[14] Assyura 10
[15]  Muttafaq  alaih
[16]  Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175.

[17]  Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175.

[18] Al Fateh 18
[19] Al maidah 13
[20] Qawa`idut tahdits min fununi mustholah hadis 253/1
[21] Lembaga Tetap Pengkajian Ilmiyah dan Fatwa Saudi 2514
[22]   Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 56.

[23]  Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 597.

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan