Kamis, Maret 31, 2011

Polemik ke dua puluh sembilan tentang salat tanpa alas ( salat di tanah langsung ,bukan di keramik )

Di tulis oleh H.Mahrus ali
Dalam situs Ummati, Ahmad Syahid menulis :
o        0 Maret 2011 pukul 8:06 pm | #146
kalo muhammad ali dan ustad makhrus ali ingin tetap solat langsung diatas tanah dengan sendal jepitnya silahkan-silahkan saja bahkan kalo kalian mau sholat diatas kotoran hewan yang dagingnya halal silahkan saja itukan khilaf furu`iyyah kenapa harus dibesar-besarkan….? yang jadi masalah justru ustad makhrus ali mengatakan sesat (Bid`ah)ketika ada yang sholat tidak langsung diatas tanah , apa ustad makhrus ali ingin top dan populer…? sah-sah saja jika memang ingin mencari sensasi dan popularitas tapi tolong caranya yang baik , jangan jadikan khilaf furu`iyyah sebagai modal untuk menyesatkan orang lain.
Komentar :

Anda menyatakan :
kalo muhammad ali dan ustad makhrus ali ingin tetap solat langsung diatas tanah dengan sendal jepitnya silahkan-silahkan saja bahkan kalo kalian mau sholat diatas kotoran hewan yang dagingnya halal silahkan saja itukan khilaf furu`iyyah kenapa harus dibesar-besarkan….?
Komentarku ( Mahrus ali ) :

Masalah salat di atas tanah ini bukan masalah hilaf lagi karena dalil- dalilnya jelas sebagaimana  hadis :
وَجُعِلَتْ لِيَ اْلأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ  أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ
Bumi di jadikan  tempat sujud dan alat suci ( untuk tayammum )Setiap lelaki  yang   menjumpai waktu salat   , salat lah ( di tempat itu ) ………[1]
Muaiqib ra berkata :
قَالَ فِي الرَّجُلِ يُسَوِّي التُّرَابَ حَيْثُ يَسْجُدُ قَالَ إنْ كُنْت فَاعِلاً فَوَاحِدَةً
  Rasulullah   saw,     bersabda  tentang seorang lelaki  yang meratakan debu di tempat sujudnya . Beliau bersabda : “Bila kamu harus melakukannya  cukup sekali “.[2]
Ibnu Taimiyah berkata :
 . فَهَذَا بَيَّنَ أَنَّهُمْ كَانُوا يَسْجُدُونَ عَلَى التُّرَابِ وَالْحَصَى فَكَانَ أَحَدُهُمْ يُسَوِّي بِيَدِهِ مَوْضِعَ سُجُودِهِ فَكَرِهَ لَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ الْعَبَثَ وَرَخَّصَ فِي الْمَرَّةِ الْوَاحِدَةِ لِلْحَاجَةِ  وَإِنْ تَرَكَهَا كَانَ أَحْسَنَ
Hal ini menerangkan  bahwa mereka  bersujud di debu atau kerikil .Seorang diantara mereka meratakan tempat sujud dengan tangannya, .Nabi  saw tidak suka dan memperbolehkan sekali saja karena  kebutuhan . Namun bila di tinggalkan  akan lebih baik .[3]
Bila anda sakit di ranjang lalu waktu salat tiba , maka  berwudulah dan turunlah ke tanah untuk melakukan salat dengan berdiri atau duduk . Sebab , tanah sarat sujud sebagaimana hadis :
حَيْثُمَا أَدْرَكَتْكَ الصَّلاَةُ فَصَلِّ وَاْلأَرْضُ لَكَ مَسْجِدٌ *
 Dimana saja  kamu menjumpai waktu salat telah tiba , salatlah dan bumi adalah tempat sujudmu [4]
.Tapi manusianya  tidak mau untuk melakukan sujud ke tanah  lalu mencari argumentasi untuk menolak sunah yang terpendam itu . Biasanya orang syirik , munafik , orang – orang yang suka melakukan dosa  mau melakukan sujud di karpet yang empuk untuk salat wajib bahkan di ranjang pun . Tapi mereka  tidak mau sampai mati untuk bersujud ke tanah  . Apakah tidak persis dengan ayat :
خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ
(dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera.[5]
     Orang kafir , munafik , syirik dan orang – orang yang suka melakukan dosa waktu  di dunia mau  bersujud di karpet . Namun di suruh sujud ke tanah bukan di keramik  tidak akan mau. Pada  hal , contoh dari Rasulullah SAW dalam salat wajib adalah sujud ke tanah bukan di keramik .  Ada  hadis sbb :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عليه وَسَلَّمَ قَرَأَ سُورَةَ النَّجْمِ فَسَجَدَ بِهَا فَمَا بَقِيَ أَحَدٌ مِنَ الْقَوْمِ إِلَّا سَجَدَ فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ كَفًّا مِنْ حَصًى أَوْ تُرَابٍ فَرَفَعَهُ إِلَى وَجْهِهِ وَقَالَ يَكْفِينِي هَذَا قَالَ عَبْدُاللَّهِ فَلَقَدْ رَأَيْتُهُ بَعْدُ قُتِلَ كَافِرًا *
    Rasulullah saw pernah membaca surat Annajem  lalu bersujud.  Seluruh kaum sama sujud tiada yang ketinggalan. Sseorang lelaki  mengambil segenggam krikil atau debu , lalu diangkat ke wajahnya  seraya berkata :” Aku cukup melakukan  sedemikian “. Abdullah ra  berkata : “ Setelah itu kulihat dia terbunuh dalam  keadaan  kafir . [6]
Syaukani berkata :
         أَنَّ شَيْخًا مِنْ قُرَيْشٍ صَرَّحَ اْلبُخَارِي فِي التَّفْسِيْرِ مِنْ صَحِيْحِهِ أَنَّهُ أُمَيَّةُ بْنُ خَلَفٍ وَوَقَعَ فِي سِيْرَةِ ابْنِ إِسْحَاقٍ أَنَّهُ الْوَلِيْدُ بْنُ الْمُغِيْرَةِ قَالَ الْحَافِظُ وَفِيْهِ نَظَرٌ لِأَنَّهُ لَمْ يُقْتَلْ
Sesungguhnya tokoh Quraisy di jelaskan oleh Imam Bukhori dalam kitab tafsir  adalah Umayyah bin Kholaf. Namun dalam  siroh Ibnu Ishak , dia bernama  Al Walid bin Al Mughiroh . Ibnu hajar berkata : " Pendapat tsb masih perlu dipertimbangkan  , karena dia tidak terbunuh " .
Anda menyatakan :
bahkan kalo kalian mau sholat diatas kotoran hewan yang dagingnya halal silahkan saja itukan khilaf furu`iyyah kenapa harus dibesar-besarkan….?
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Mungkin anda bermasuk dengan hadis ini :
Anas ra  berkata  :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي قَبْلَ أَنْ يُبْنَى الْمَسْجِدُ فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ
Nabi Muhammad saw menjalankan salat di tempat istirahat kambing sebelum membangun masjid .[7]

  Hadis tsb seolah memperkenankan salat di tempat peristirahatan kambing ,. Pada  hal tempat itu tak sunyi dari kotoran kambing atau air kencing . Ia juga bertentangan dengan hadis sbb :
Abu  Hurairah  ra berkata ;’   Rasulullah  saw  bersabda :
إِذَا وَطِئَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ الْأَذَى فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُورٌ
    Bila seseorang diantaramu  menginjak kotoran dengan  sandalnya, maka debulah sebagai alat pembersihnya “.[8]  Hadis sahih
Atau  hadis ini :
650 عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ قَالُوا رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا أَوْ قَالَ أَذًى وَقَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ 1فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا
  Abu said Al Khudri bercerita bahwa Nabi SAW  pernah melakukan salat dengan mengenakan sandal lalu di lepas, makmum di belakangnya sama melepas. Ketika selesai , Rasul bersabda : “Mengapa kamu melepas ?”.
Mereka menjawab :”Kami melihatmu melepas sandal , lalu kami ikut”
Rasul bersabda : “ Sesungguhnya Jibril datang kepadaku, lalu memberi tahu kepadaku , ada kotoran di kedua sandalku . Bila seseorang diantaramu mendatangi masjid , baliklah  kedua sandalnya . Bila terdapat kotoran, usapkan ke tanah, lalu lakukan salat dengannya.[9]  Al Bani menyatakan hadis tsb sahih , lihat Irwa` 57/1

  Dalam hal ini , saya pilih hati – hati dan  memilih tanah yang suci untuk salat .
Anda menyatakan lagi :
yang jadi masalah justru ustad makhrus ali mengatakan sesat (Bid`ah)ketika ada yang sholat tidak langsung diatas tanah , apa ustad makhrus ali ingin top dan populer…? sah-sah saja jika memang ingin mencari sensasi dan popularitas tapi tolong caranya yang baik , jangan jadikan khilaf furu`iyyah sebagai modal untuk menyesatkan orang lain.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Ber arti anda ini ngerti  ilmu dalam golongan  anda saja , anda perlu belajar lagi tentang ilmu di luar firqah atau kelompok anda. Apakah kamu anggap  saya  menyatakan seperti bukan untuk kemaslahatan orang banyak ? Tujuan saya adalah agar masarakat tahu bahwa  salat di karpet , koran , sajadah adalah bid`ah yang tertolak sebagaimana hadis :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan agama yang tidak terdapat dalam agama maka dengan sendirinya tertolak  [10]  ( Bila  ingin amal perbuatan di terima lakukan amalan yang berdalil .
. وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ مَهْدِيٍّ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ بَسَطَ سَجَّادَةً فَأَمَرَ مَالِكٌ بِحَبْسِهِ فَقِيلَ لَهُ : إنَّهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ فَقَالَ : أَمَا عَلِمْت أَنَّ بَسْطَ السَّجَّادَةِ فِي مَسْجِدِنَا بِدْعَةٌ .
Sungguh telah di kisahkan bahwa Abd rahman bin Mahdi ketika datang ke Medinah menggelar sajadah , lalu Imam Malik memerintah agar di tahan ( dipenjara ) . Di katakan kepadanya  : “  Dia adalah  Abd Rahman bin mahdi 
Imam Malik  menjawab :”  Apakah kamu tidak mengerti bahwa  menggelar sajadah dimasjid kami adalah bid`ah “.
Jadi jelas bahwa menggelar sajadah itu bid`ah , para sahabat dan Rasulullah SAW tidak pernah menjalankan salat wajib dengan sajadah . terus apakah kamu  tidak ikut Rasulullah SAW dalam hal salat ini .  Bila kamu katakan ada tuntunannya , mana dalilnya . Apakah kamu ingin menyesatkan orang banyak atau berkata  jujur kepada mereka ?  Bila  saya katakan mengenakan sajadah  ketika melakukan salat wajib boleh , saya ambil dalil dari mana ? jelas  tidak akan saya jumpai .



[1] HR Bukhori /Tayammum/ 335. Muslim / Masajid dan tempat salat  /521. Nasa`I / Ghusl wattayammu 432. Masajid/Nasa`I . Ahmad bin Hambal / Baqi  musnad muktsirin /13852. 1389.

[2] Muttafaq  alaih ,1207 .
[3] Majmuk fatawa  117/21 .Lebih jelasnya  lihat buku kami “ salatlah di tanah tanpa kramik atau sajadah “.
[4] Bukhori 3172 , Sahih Ibnu Hibban  120/3 Sunan kubro 376/6  Fathul bari 409/6 Fadhoil baitil maqdis 48/1  ,  Hasyiyah sindi 32/2
[5] Al Qolam 43
[6] Bukhori 1008
[7] Muttafaq  alaih ,Bukhori  234
[8] HR Abu Dawud   385
[9] HR Darimi / Salat / 1348. Abu Dawud / Salat /650. Syekh Nashiruddin  Al albani menyatakan hadis tersebut sahih .

[10] HR Bukhori / Salat / 2499. Muslim / Aqdliah / 3242. Abu dawud/Sunnah / 3990. Ibnu Majah / Muqaddimah /14. Ahmad / 73,146,180,240,206,270/6

Rabu, Maret 30, 2011

Polemik ke dua puluh delapan tentang salat tanpa alas ( salat di tanah langsung ,bukan di keramik )


Di tulis oleh H.Mahrus ali
Abu Fariz menulis di situs ummati  :
8 Januari 2011 pukul 1:48 pm | #39
…………Malah kalau tidak ikut para pendahulu, itu namanya terputus dari mata rantai estafet ajaran Islam. Kalau hanya ikut teks Hadits, maka jadinya seperti yang dilakukan oleh mr. mahrus ali tsb, yang mana orang tersebut sekarang juga sudah jadi idolamu. Shalat tanpa alas langsung di tanah sungguh tak ada yg salah asalkan tempatnya suci dari najis, tapi saya sungguh merasa kasihan dengan orang yg menganiaya diri sendiri….

Komentarku ( Mahrus ali ) :
Guru itu ada dua , guru ahli bid`ah dan syirik, ada  guru ahli quran dan ihadis . Kalangan ahli bid`ah hampir bisa di katakan mempunyai guru – guru yang senang kebid`ahan dan menganggap kesyirikan sebagai kebaikan . Persis dengan ayat sbb :
وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا ءَابَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ(28)
Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? Al a`raf 28 .
Mereka melakukan manakiban sedang manakiban syirik , tapi mereka merasa tidak syirik bahkan di anggap baik. Lihat di blok ini bab manakiban . Anda akan tahu kesyirikannya.
Anda menyatakan lagi :
Kalau hanya ikut teks Hadits, maka jadinya seperti yang dilakukan oleh mr. mahrus ali tsb, yang mana orang tersebut sekarang juga sudah jadi idolamu.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Menurut saya , ikut pengertian leterlek hadis atau al quran lebih selamat dari pada  ikut guru yang kadang keliru , kadang benar . Bila  benar , kamu selamat . Bagaimana bila gurumu keliru , apakah kamu berani amar ma`ruf kepadanya ? Bagaimanakah nasibmu bila kamu meninggalkan tek hadis atau Quran lalu ikut taklid saja pada guru .
Itu di perbolehkan menurut kamu saja. Tapi di larang menurut ayat sbb:
  وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

               Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui dalilnya . Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [1]

Kita ikut Quran sebagaimana ayat :
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan Al Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat,[2]
       Anda menyatakan lagi :
 Shalat tanpa alas langsung di tanah sungguh tak ada yg salah asalkan tempatnya suci dari najis, tapi saya sungguh merasa kasihan dengan orang yg menganiaya diri sendiri….
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Aneh sekali , ketara sekali bahwa kamu itu bodoh . Masak orang melakukan salat di tanah menganiaya diri, pada  hal Rasulullah SAW dan para sahabatnya menjalankan salat di tanah . Apakah kamu lebih baik dari pada mereka . Apakah mereka itu menganiaya diri sendiri . Pikir dong , jangan berpikir setelah di tunjukkan kekeliruanmu  , ber arti kamu teringat, bisa sadar bukan dari dirimu sendiri tapi setelah di jewer orang.




[1] Al isra` 36 Al isra` 36
[2] Al an`am 155

Selasa, Maret 29, 2011

YANG PENTING TIDAK ADA LARANGAN ?


 Ditulis oleh : H Mahrus ali

Sebagian pihak yang gemar melakukan langkah-langkah kreatif dalam membuat ritual peribadatan biasanya mengusung jargon ini: kan, tidak ada larangannya. Prinsip yang penting tidak ada larangannya ini dipakai untuk alasan untuk tidak meninggalkan ritual ibadah yang kadung digemari. Betulkah dalam ibadah berlaku prinsip yang penting tidak ada larangannya?
Kalau coba kita buka bolak-balik dalam lembaran-lembaran mush-haf al-Quran atau al-Hadits didapati sekian banyak hal yang tidak dilarang secara tegas. Jelas, orang yang melaksanakan ibadah haji di luar bulan Dzulhijjah tidak ada larangannya. Orang yang sedang berhaji di bulan Dzulhijjah yang ingin melakukan wukuf di luar Aråfah juga tidak ditemukan larangannya. Shalat wajib dan sunah harian yang dilakukan tanpa rukuk pun tidak ada larangannya. Menjamak shalat di rumah saban hari juga tidak ada larangannya. Sekali lagi, masih banyak bentuk ibadah, baik yang modifikasi maupun baru sama sekali, yang tidak didapati larangan untuk melakukannya. Lantas, apakah seluruh bentuk ibadah tersebut boleh seenaknya kita lakukan? Jelas sangat keliru bila kita menjawab ya! Jadi alasan tidak adanya larangan dalam al-Quran dan al-Hadits untuk mengamankan dalam melakukan ibadah bid`ah adalah kekeliruan yang amat nyata. Mestinya sebelum beramal ibadah mencari dulu dasar tuntunannya, dan jangan melakukan sesuatu ibadah baru kemudian langkah kesepuluh mencari-cari dalilnya. Akibatnya bila ada orang yang mengritik dan menegur, saat kesulitan mencari dalil, akhirnya seenaknya memelintir dalil. Akhirnya tidak mau bertobat justru mengajak orang lain untuk melakukannya dengan dalil yang dipelintir tersebut. Persis apa yang dikatakan dalam al-Quran sebagai berikut:
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلاَ تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلاَّ قَلِيلاً مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan (Allåh) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allåh menyukai orang-orang yang berbuat baik.”[1]

Satu kasus adalah seperti apa yang diungkap dalam situs resmi berjuluk nu.or.id. Disebutkan dalam situs tersebut bahwa K.H. Munawwir Abdul Fattah berkata,
“Ziarah di bulan suci Råmadhån ataupun di Hari Raya sekalipun sebenarnya tidak ada perintah dan tidak ada larangan. Dan karena tidak adanya larangan, orang yang suka ziarah mengambil inisiatif alangkah indahnya jika dapat kirim doa pada hari-hari yang penuh rahmat dan ampunan (hari-hari bulan Råmadhån) dan hari yang bahagia (Idul Fithri).”
Penulis buku berkata, “Tidak membaca tasbih waktu rukuk, sujud, tidak mengenakan baju atas, begitu pula tidak bertakbir juga tidak ada larangannya. Apakah kemudian kita tidak membaca tasbih pada waktu rukuk dan sujud? Sudah tentu kita tidak akan meninggalkan bacaan dan kita lebih baik ikut saja perilaku Råsulullåh r dan para sahabat y.
Bila Anda sendiri sudah meyakini dan menyatakan bahwa ritual ibadah tersebut memang tiada larangan dan perintahnya, berarti termasuk ibadah bid`ah. Kalau bukan bid`ah terus harus dinamakan apa? Apalagi Anda menyatakan sebelum minta ampun kepada manusia pergi dulu ke kuburan. Bila saran Anda ini diikuti orang kemudian dipraktekkan, maka setelah shålat Id seluruh jamaah akan pergi ke kuburan hingga menjadi ramailah tempat itu. Kuburan akan menjadi tempat berkumpulnya muda–mudi, akibatnya akan muncul kemungkaran baru lagi.”

K.H. A. Nuril Huda, Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), menuliskan keyakinannya sebagai berikut,
“Mendoakan orang tua, kemudian orang tua di alam barzah mendoakan kepada yang berdoa agar selamat, hal ini tidak ada larangan dalam agama. Baik orang yang berdoa maupun ahli kubur seluruhnya memohon kepada Allåh. Perlu diingat bahwa bagi yang berdoa di dunia, itu tidak meminta kepada ahli kubur, karena diyakini bahwa mereka tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak bisa memberikan apa-apa. Bertawassul dengan ahli kubur artinya agar ahli kubur bersama-sama dengan pendoa memohon kepada Allåh.”

Komentarku ( Mahrus ali ),
“Masalah ahli kubur berdoa untuk orang yang hidup sekalipun tidak ada larangannya, apakah ada perintahnya? Lalu siapakah yang mengetahui bahwa ahli kubur bisa berdoa. Bila tidak ada keterangan dalam ayat maupun hadits tentang hal tersebut lebih baik diam saja dan katakan no coment. Tidak usah berpendapat dalam hal yang tidak bisa ditembus dengan pendengaran atau mata biasa agar kita tidak terjerumus hingga justru mengotori wahyu atau ajaran ilahi yang suci ini. Perlu sekali kita ini menghilangkan segala macam bid`ah dalam agama Islam agar tetap tampak indah, bijak, dan cocok dengan fitrah.
Kaidah yang penting tidak ada larangannya adalah kaidah khusus untuk urusan duniawi, bukan untuk urusan ibadah. Urusan duniawi misalnya naik mobil, naik pesawat terbang (meski untuk bepergian ke Makkah), naik sepeda motor, menggunakan teknologi komputer dan lain-lain. Dalam masalah ini, duniawi, tidak ada bid’ah yang terlarang. Berbeda dengan kaidah yang berlaku untuk ibadah: asal ibadah adalah haram sehingga ada dalil yang menunjukkan tuntunannya. Karena itu, misalnya, apabila ada orang shalat maghrib sepuluh rekaat, tentu orang yang menetapi sunnah akan menyalahkan dan mengoreksinya. Jadi, dalam hal ini bukan berkilah dengan pernyataan mana larangannya toh tidak ada larangannya, akan tetapi harus meninggalkan ritual ibadah tersebut karena tidak ada contohnya. Demikian juga ritual-ritual yang saya komentari tersebut di muka, bukan dibela dengan menanyakan mana larangan agama untuk melakukan tradisi tersebut. Karena ritual-ritual tersebut, menurut mereka sendiri, adalah ibadah. Sehingga hukumnya haram kecuali dibenarkan atau dibenarkan oleh syariat. Toh tidak ada bukti bahwa Råsulullåh r dan para sahabatnya y sedikit pun pernah mengerjakannya.
Sebagian pihak yang mati-matian membela ritual ibadah bid’ah menangkis lawannya dengan menyergah: membaca surat Yasin, membaca Tahlil, melakukan ziarah kubur atau ritual sejenis kok dilarang?! Itu, kan, sunah! Pernyataan ini sungguh menggelikan. Sebenarnya tidak membutuhkan kecerdasan yang berlebihan untuk memahami jalan pikiran Ahlussunnah sejati. Ahlussunnah tidak pernah melarang orang membaca Yasin karena itu ayat Allåh, tidak pula mengharamkan bacaan tahlil, karena itu kalimat thåyib untuk menunjukkan sikap mengesakan Allåh, demikian pula tidak melarang ziarah kubur, karena memang akan mengingatkan kita tentang mati   dan ada contoh dari Råsulullåh Tetapi, untuk ritual yang disebut dengan Yasinan atau Tahlilan yang harus dilakukan pada hari tertentu untuk merespon peristiwa tertentu dengan menekankan pengumpulan orang, jelas tidak dicontohkan oleh Råsulullåh Begitu pun ziarah kubur yang biasa dilakukan dengan berombongan, berpayah-payah dan berhari-hari, apalagi butuh waktu lama untuk menuju kuburan tertentu, yakin tidak diajarkan oleh Råsulullåh Kebiasaan-kebiasaan itu tidak pernah dicontohkan oleh sahabat y dan para tabi’in. Jika tidak ada, dan memang tidak ada, lantas mengapa diamalkan? Ada kaidah syara’ (agama) yang termasuk dalam bagian manhaj (cara beragama) yang perlu dipegang kuat-kuat: “kalau sekiranya sebuah perbuatan [ibadah, editor.] itu baik, tentulah para sahabat telah mendahului kita dalam mengamalkannya!” Kaidah ini mesti kita pegang kuat-kuat. Sebuah kaidah yang besar dan agung ini hendaknya bisa menyentuh nurani kita hingga menyadarkan diri untuk tidak mengerjakan satu ibadah pun yang tidak pernah diyakini dan diamalkan oleh para sahabat y.





[1] Al maidah 13

Polemik ke dua puluh tujuh tentang salat tanpa alas ( salat di tanah langsung ,bukan di keramik )

Di tulis oleh H.Mahrus ali
Abu Fariz dalam situs ummati menulis :
6 Januari 2011 pukul 1:43 pm | #35
Aiman,
Sunnah itu bukan sesuatu yang wajib untuk dilakukan. Yang wajib pun kita melaksanakan sesuai kadar kemampuan atau tepatnya kalau syarat-syaratnya terpenuhi. Nah, bagaimaan dengan yang Sunnah? Begini Mas Aiman, kalau kita tidak menjalankan SUNNAH, itu bukan berarti kita ahlul bid’ah sebagaimana yang didoktrinkan oleh Wahabi. Sebab sebagai muslim, kita tidak akan mampu mengikuti sunnah Nabi secara keseluruhan, tapi sebaiknya kita berusaha mengikuti sebanyak-banyaknya sunnah-sunnah Rasul SAW.
Jadi kalau saya umpamanya tidak memanjangkan jenggot, tidak mengatungkan celana, bukan berarti saya sebagai ahlul bid’ah sebagaimana antum suka menjuluki Ummat Islam sebagai ahlul Bid’ah. Sebab mereka tidak ikut sunnah berjenggot atau bercelana ngatung (Nabi Pakai Celana Ngatung ya), tapi ummat Islam mengikuti sunnah-sunnah yang lainnnya, misalnya puasa senin-kamis, bersiwak, merapikan kuku, menyingkirkan duri di jalan, berdzikir, shalat tahajjud, berdo’a, menikah, membaca Qur’an, bershalawat, mengurus anak yatim, mencintai orang miskin. Dan masih banyak sejali sunnah-sunnah Nabi, kita akan dapat pahala mengikuti sunnah-sunnah Nabi.
Tapi tidak otomatis kita jadi ahlul bid’ah kalau kita tidak mengikuti sebagian sunnah-sunnah Nabi Saw. Bahkan demi keselamatan kita boleh melanggar sunnah Nabi. Contohnya begini, kalau kita turun dari kendaraan, sunnahnya adalah mendahulukan kaki kanan, betul nggak Mas Aiman? Tapi demi keselamatan kita, boleh kita mendahulukan kaki kiri. Umpamanya antum turun dari bus umum dengan mendahulukan kaki kanan karena ikut sunnah Nabi, kira-kira apa yang akan terjadi, Mas Aiman? Antum akan terjatuh bergulingan Mas, coba deh kalau nggak percaya, apalagi kalau turunnya diburu-buru dan busnya masih berjalan pelan seperti kebiasaan bus umum. Banyak kejadian orang jatuh terguling gara-gara mendahulukan kaki kanan.
Pelajaran apa dari contoh sederhana itu? Kita boleh menyalahi sunnah pada sikon tertentu, sebab sunnah itu bukan hal wajib. Jadi jangan sembarangan menuduh orang lain sebagai ahlul bid’ah, karena bisa jadi yang antum tuduh bid’ah itu ternyata menjalankan sunnh-sunnah yang lainnya yang tidak antum ketahui.
Begitu juga shalat sujud di tanah tanpa alas, kalau mengikuti ijtihadnya Mahrus Ali, terus masjid-masjid yang sudah ada, ubinnya mau diurug pakai tanah? Sebab bukankah Wahabi memandang kalau tidak ikut sunnah Nabi disebut ahlul bid’ah? Mau nggak kira-kira syaikh-syaikh wahabi Saudi mengurug lantai masjid-masjidnya dengan tanah? Bukankah mereka harus mengikuti sunnah Nabi Saw jika tidak mau disebut ahlul bid’ah? Please, renungkan Mas Aiman.

     Komentarku ( Mahrus ali ) :
      Artikel di atas dalam rangka menjawab tulisan Aiman di situs ummati  dan disini saya yang menjawabnya .
Anda menyatakan :
Sunnah itu bukan sesuatu yang wajib untuk dilakukan. Yang wajib pun kita melaksanakan sesuai kadar kemampuan atau tepatnya kalau syarat-syaratnya terpenuhi. Nah, bagaimaan dengan yang Sunnah?
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Kita ittiba` kepada  Rasulullah SAW berdasarkan ayat :
وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا(36)
 Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.[1]
                Anda menyatakan lagi :
Begini Mas Aiman, kalau kita tidak menjalankan SUNNAH, itu bukan berarti kita ahlul bid’ah sebagaimana yang didoktrinkan oleh Wahabi. Sebab sebagai muslim, kita tidak akan mampu mengikuti sunnah Nabi secara keseluruhan, tapi sebaiknya kita berusaha mengikuti sebanyak-banyaknya sunnah-sunnah Rasul SAW.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Biasanya orang yang tidak menjalankan sunnah akan menjalankan kebid`ahan . Suatu misal , setelah kematian , tuntunannya tanpa tahlilan , lalu orang tidak menjalankan sunnah Rasulullah SAW tapi ikut budaya  Hindu . Di sinilah dia di juluki ahli bid`ah yang sesat.
Acara Rebowekasan , harus di tinggalkan . Karena tuntunannya tidak ada . lalu orang mengadakan acara rebowekasan. Disini dia  di katakan ahli  bid`ah .
Jadi kalau saya umpamanya tidak memanjangkan jenggot, tidak mengatungkan celana, bukan berarti saya sebagai ahlul bid’ah sebagaimana antum suka menjuluki Ummat Islam sebagai ahlul Bid’ah. Sebab mereka tidak ikut sunnah berjenggot atau bercelana ngatung (Nabi Pakai Celana Ngatung ya),
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Kamu meninggalkan tuntunan menggantungkan celana , lalu kamu bikin  celana selor yang menyapu jalan , kamu akan  terancam hadis  sbb :
ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قُلْنَا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَدْ خَابُوا وَخَسِرُوا فَقَالَ الْمَنَّانُ وَالْمُسْبِلُ إِزَارَهُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
  Tiga orang , Allah tidak melihat kepada mereka  di hari kiamat , dan tidak mengampun dosanya . Mereka mendapat siksaan yang amat pedih . Kami berkata :” Siapakah mereka  wahai Rasulullah ! Sungguh mereka sia – sia dan rugi . Rasulullah SAW  bersabda : “Orang yang suka mengungkit – ungkit pemberian , orang yang menurunkan kainnya  hingga di bawah mata kaki dan orang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu [2]

                         Dosamu tidak di ampun , Allah benci kepadamu , kamu tidak di beri rahmat  di akhirat , lalu kamu disitu butuh pertolonganNya . Disitu kamu berbahaya  sekali .
      Kamu  tidak memanjangkan jenggot , kamu tidak menjalankan perintah Rasulullah SAW sebagaimana hadis :
. جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ *
“Guntinglah kumis, peliharalah jenggot dan berbedalah dengan orang majusi,”[3]
  Lebih jelas , lihat dalam bab : "Haram mengenakan celana yang menyapunjalan " dlm blog ini .
Kamu menyerupai majusi dan di ancam dengan hadis ini :
بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
 Saya di utus dekat dengan kiamat dengan membawa pedang hingga  Allah yang Maha Esa di sembah , tidak ada  sekutu bagiNya,rizekiku  dijadikan di bawah naungan  panahku , kenistaan  dan kehinaan untuk orang  yang menyalahi perintahku  dan Barangsiapa  menyerupai  suatu kaum , termasuk mereka [4]
 Anda menyatakan lagi :
 tapi ummat Islam mengikuti sunnah-sunnah yang lainnnya, misalnya puasa senin-kamis, bersiwak, merapikan kuku, menyingkirkan duri di jalan, berdzikir, shalat tahajjud, berdo’a, menikah, membaca Qur’an, bershalawat, mengurus anak yatim, mencintai orang miskin. Dan masih banyak sejali sunnah-sunnah Nabi, kita akan dapat pahala mengikuti sunnah-sunnah Nabi.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
   Apa gunanya mengerjakan hal itu ,bila kamu termasuk ahli bid`ah dan syirik . lihat dlm buku saya "Mantan kiyai NU menggugat sholawat dan dzikir syirik ". Seluruh amal perbuatanmu sia – sia belaka  sebagaimana ayat :
  لئن أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. ( 65 Azzumar )
    Lihat dalam buku tersebut tentang kesyrrikan tahlil , diba` dan maulid .
Anda menyatakan :

Tapi tidak otomatis kita jadi ahlul bid’ah kalau kita tidak mengikuti sebagian sunnah-sunnah Nabi Saw. Bahkan demi keselamatan kita boleh melanggar sunnah Nabi. Contohnya begini, kalau kita turun dari kendaraan, sunnahnya adalah mendahulukan kaki kanan, betul nggak Mas Aiman? Tapi demi keselamatan kita, boleh kita mendahulukan kaki kiri. Umpamanya antum turun dari bus umum dengan mendahulukan kaki kanan karena ikut sunnah Nabi, kira-kira apa yang akan terjadi, Mas Aiman? Antum akan terjatuh bergulingan Mas, coba deh kalau nggak percaya, apalagi kalau turunnya diburu-buru dan busnya masih berjalan pelan seperti kebiasaan bus umum. Banyak kejadian orang jatuh terguling gara-gara mendahulukan kaki kanan.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Saya itu geli sekali membaca tulisanmu ini , begitu lucunya anda punya ilmu dari guru – gurumu .
Mendahulukan kaki kanan sewaktu turun dari kendaraan itu ,mana dalilnya , kamu tidak akan menjumpainya sampai lelah mencarinya.
Bagaimana kamu katakan sunnah atau bid`ah  sedang kamu ngawur dalam memberikan keterangan – maksud saya kamu tidak menggunakan dalil .
 Anda menyatakan :
Pelajaran apa dari contoh sederhana itu? Kita boleh menyalahi sunnah pada sikon tertentu, sebab sunnah itu bukan hal wajib. Jadi jangan sembarangan menuduh orang lain sebagai ahlul bid’ah, karena bisa jadi yang antum tuduh bid’ah itu ternyata menjalankan sunnh-sunnah yang lainnya yang tidak antum ketahui.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Contoh keliru di buat pelajaran sederhana  akan menyesatkan dan membawa kepada kekeliruan lagi yang lebih berbahaya. Menyalahi sunnah kok di perbolehkan , kami  hanya ikut ayat :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.  ( Al Ahzab 21 ) .
          Anda menyatakan lagi :
Begitu juga shalat sujud di tanah tanpa alas, kalau mengikuti ijtihadnya Mahrus Ali, terus masjid-masjid yang sudah ada, ubinnya mau diurug pakai tanah? Sebab bukankah Wahabi memandang kalau tidak ikut sunnah Nabi disebut ahlul bid’ah?
Komentarku ( Mahrus ali ) :
 Salat di tanah bukan ijtihad saya, saya hanya ittiba` dan saya  tidak mau ijtihad , lihat bab : Larangan ijtihad dalam blog ini . Lihat polemik – polemik sebelumnya tentang dalil salat di tanah bukan di keramik .  Dan ikutilah masjid Rasulullah SAW yang lantainya masih berupa tanah .  Dalam polemik yang lalu telah saya jelaskan bahwa sarat sujud untuk salat wajib adalah tanah  karena ada hadis :
وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ  أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَذَكَرَ الحَدِيْثَ
 Bumi di jadikan  tempat sujud dan alat suci ( untuk tayammum )Setiap lelaki  yg menjumpai waktu salat   , salat lah ( di tempat itu ) ………[5]

Anda menyatakan :
 Mau nggak kira-kira syaikh-syaikh wahabi Saudi mengurug lantai masjid-masjidnya dengan tanah? Bukankah mereka harus mengikuti sunnah Nabi Saw jika tidak mau disebut ahlul bid’ah? Please, renungkan Mas Aiman.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Perkara mereka tidak mau itu urusan mereka di hadapan Allah . Apakah bila mereka  tidak mau , lalu saya harus ikut mereka tidak ikut tuntunan . Ataukah bila mereka mau lalu ahli bid`ah dan syirik baru membenarkan salat di tanah. Ingat tuntunan kita ini bukan mereka tapi Nabi SAW.




[1] Al ahzab 36
[2] Muttafaq alaih . 
[3] HR Muslim/Thoharah/260.Ahmad / Baqi musnad muksirin /8560., Nailul author /137/1
[4] HR Ahmad / 5093/ Musnad muktsirin / Imam  Suyuthi mencantumkan dalam kitab Jamius shoghir /127/1 . Beliau berkata : Ia juga di riwayatkan oleh Thobroni  dan Abu Ya`la dalam  kitab musnadnya . Seluruh perawinya terpercaya kecuali Abdur rahman bin Tsabit  yang berobah hafalannya  ketika usia lansia dan terkadang keliru , tapi dia selalu berkata  benar .

[5] HR Bukhori /Tayammum/ 335. Muslim / Masajid dan tempat salat  /521. Nasa`I / Ghusl wattayammu 432. Masajid/Nasa`I . Ahmad bin Hambal / Baqi  musnad muktsirin /13852. 1389.

Senin, Maret 28, 2011

Polemik kedua dengan DR Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki

Di tulis oleh H Mahrus ali
 

Ahli kubur tahu orang yang berkunjung kepadanya ?



DR Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki  menyatakan dalam kitab Mafahim sbb  :
سُئِلَ الشَّيْخُ عَنِ اْلأَحْيَاءِ إِذَا زَارُوا اْلأَمْوَاتَ هَلْ يَعْلَمُوْنَ بِزِيَارَتِهِمْ ؟ وَهَلْ  يَعْلَمُوْنَ بِالْمَيِّتِ إِذَا مَاتَ مِنْ قَرَابَتِهِمْ أَوْ غَيْرِهِ
(: الْحَمْدُ ِللهِ ، نَعَمْ جَاءَتِ اْلآثَارُ بِتَلاَقِيْهِمْ وَتَسَاؤُلِهِمْ وَعَرْضِ أَعْمَالِ اْلأَحْيَاءِ عَلَى اْلأَمْوَاتِ ، كَمَا رَوَى ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ أَبِي أَيُّوْبَ اْلأَنْصَارِي قَالَ :
إِذَا قُبِضَتْ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ تَلَقَّاهَا الرَّحْمَةُ مِنْ عِبَادِ اللهِ كَمَا يَتَلَقَّوْنَ الْبَشِيْرَ فِي الدُّنْيَا فَيَقْبَلُوْنَ عَلَيْهِ وَيَسْأَلُوْنَهُ فَيَقُوْلُ بَعْضُهُمْ ِلبَعْضٍ : أُنْظُرُوا أَخَاكُمْ يَسْتَرِيْحُ فَإِنَّهُ كَانَ فِي كُرْبٍ شَدِيْدٍ ، قَالَ : فَيَقْبَلُوْنَ عَلَيْهِ وَيَسْأَلُوْنَهُ مَا فَعَلَ فُلاَنٌ وَمَا فَعَلَتْ فُلاَنَةٌ هَلْ تَزَوَّجَتْ) الْحَدِيْثَ .

Ibnu Taimiyyah menjawab, “Alhamdulillah. Betul mereka mengetahui. Dalam beberapa atsar dijelaskan bahwa mereka saling bertemu dan saling bertanya dan amal perbuatan orang-orang yang masih hidup disampaikan kepada mereka. Sebagaimana riwayat Ibnu Al Mubarak dari Abu Ayyub Al Anshari, ia berkata, “Jika nyawa seorang mu’min dicabut maka rahmat dari para hamba Allah akan menyambutnya sebagaimana mereka menyambut pemberi kabar suka cita di dunia. Mereka akan mendatanginya dan bertanya kepadanya. Sebagian berkata kepada yang lain, “Lihatlah saudara kalian sedang beristirahat karena ia sebelumnya mengalami penderitaan yang berat.” “Kemudian mereka mendatangi yang baru mati tersebut dan menanyakan apa yang dilakukan fulan dan apa yang dikerjakan fulanah dan apakah ia sudah menikah dst...” #

Komentarku ( Mahrus ali ) :

Hadis tsb sbb :
إِنَّ نَفْسَ الْمُؤْمِنِ إِذَا قُبِضَتْ تَلَقَّاهَا مِنْ أَهْلِ الرَّحْمَةِ مِنْ عَبَادِ اللَّهِ كَمَا تَلْقَوْنَ الْبَشِيرَ فِي الدُّنْيَا ، فَيَقُولُونَ : انْظُرُوا صَاحِبَكُمْ يَسْتَرِيحُ ، فَإِنَّهُ قَدْ كَانَ فِي كَرْبٍ شَدِيدٍ ، ثُمَّ يَسْأَلُونَهُ : مَاذَا فَعَلَ فُلانٌ ؟ وَمَا فَعَلَتْ فُلانَةُ ؟ هَلْ تَزَوَّجَتْ ؟
Sesungguhnya roh seorang mukmin bila telah di cabut akan di terima di kalangan hamba  - hamba Allah yang penuh kasih sayang  sebagaimana mereka bertemu dengan seorang pembawa kabar di dunia .
 Mereka berkata : " Lihatlah temanmu  telah ber istirahat . Sesungguhnya dia dalam keadaan  sangat menderita" .
Lalu mereka bertanya kepada  mukmin tsb : " Apa yang  di lakukan fulan ?  Apakah yang di lakukan fulan perempuan ?  Apakah dia telah kawin" ? [1]

Sanadnya  sbb :
3791- حَدَّثَنَا يَحْيَى بن عُثْمَانَ بن صَالِحٍ ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بن الرَّبِيعِ بن طَارِقٍ ، حَدَّثَنَا مَسْلَمَةُ بن عُلَيٍّ ، عَنْ زَيْدِ بن وَاقِدٍ ، عَنْ مَكْحُولٍ ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بن سَلامَةَ ، عَنْ أَبِي رُهْمٍ السَّمَاعِيَّ ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الأَنْصَارِيِّ ، أَن ّرَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ :
Bercerita kepada kami  Yahya bin Usman bin Saleh , lalu berkata : Bercerita kepada kami Amar bin Ar rabi` bin Thariq , lalu berkata : Bercerita kepada kami  Maslamah bin Ali  dari Zaid bin Waqid  dari Makhul  dari Abd Rahman  bin Salamah  dari Abu  Ruhm Assima`I dari Abu Ayyub al anshari  ,  sesungguhnya Rasulullah SAW  bersabda : ……………………………………..

Hadis tsb terdapat dalam  kitab Jamiul ahadis  9 / 363 al ausat  1/ 53 . Al Haitsami  berkata  : "Sanadnya terdapat Maslamah bin Ali yang lemah" . [2]

Abd rahman bin Salamah sebagai perawinya. tidak di cantumkan dalam dua kitab tahdzib Ibnu hajar dan Dzahabi . Jadi identitasnya masih kabur dan saya tidak menjumpai ulama  yang memberi tahu tentang biografinya  . Namun dalam kitab addibaj tentang tokoh – tokoh ulama  madzhab  , dia adalah qadhi al Maliki . [3]
Jadi hadis tsb lemah sekali  tidak bisa di buat hujjah dan ia tidak di cantumkan dalam kutubut tris`ah . Ini sebagai  sinyal kelemahannya  . Masak kita menerima  hadis lemah untuk hujjah . Pada  hal hadis sahihnya tidak menjelaskan seperti itu .


DR. Sayyid Muhammad bin Alwi al Maliki berkata lagi :
وَأَمَّا عِلْمُ الْمَيِّتِ بِالْحَيِّ إِذَا زَارَهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَفِي حَدِيْثِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ :قَالَ رَسُوْلُ اللهِ :
  مَا مِنْ أَحَدٍ يَمُرّ بِقَبْرِ أَخِيهِ كَانَ يَعْرِفهُ فِي الدُّنْيَا فَيُسَلِّم عَلَيْهِ إِلاَّ عَرَفَهُ وَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ
قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ : ثَبَتَ ذَلِكَ عَنِ النَّبِيِّ وَصَحَّحَهُ عَبْدُ الْحَقِّ صَاحِبُ    اْلأَحْكَامِ . اهـ . (مَجْمُوْعُ فَتَاوَى الشَّيْخِ ابْنِ تَيْمِيَّةِ ج24 ص331)
  Adapun mayat mengetahui kepada orang yang hidup bila berkunjung atau membaca salam kepadanya ,maka ada hadis Ibnu Abbas berkata : Rasulullah SAW  bersabda "
“Tidak seorang pun yang melewati kuburan saudaranya yang mu’min yang dikenalnya semasa di dunia lalu ia memberi salam kepada saudaranya itu kecuali kecuali saudaranya tahu dan menjawab salamnya  ".
Ibnu Al Mubarak mengatakan bahwa hadits ini terbukti dari Nabi dan dikategorikan shahih oleh ‘Abdul Haqq penyusun Al Ahkaam. ( Majmuu’u Al Fataawaa Al Syaikhi Ibnu Taimiiyah vol. XXIV hlm. 331 ).
Komentarku ( Mahrus ali ) :

Al Munawi berkata :
قَالَ ابْنُ الْجَوْزِي : حَدِيْثٌ لاَ يَصِحُّ وَقَدْ أَجْمَعُوا عَلَى تَضْعِيْفِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدٍ أَيْ أَحَدُ رًُوَاتِهِ وَقاَلَ ابْنُ حِبَّانَ : يُقَلِّبُ اْلأَخْبَارَ وَلاَ يُعْلَمُ حَتىَّ كَثُرَ ذَلِكَ فِي رِوَايَتِهِ وَاسْتَحَقَّ التَّرْكَ اه
Ibn Al. Jauzi berkata :"Hadis lemah , sungguh  ulama telah sepakat bahwa  Abd Rahman bin Zaid  - salah satu perawinya adalah lemah ".
Ibnu Hibban menyatakan : "Dia suka memutar balikkan hadis  dan tidak di ketahui hingga  riwayatnya banyak sekali  dan dia berhak untuk di tinggalkan ". [4]
Abu Abd Rahman – Muhammad Rafik Tahir – Dosen hadis  dalam Universitas Muhammadiyah Millatan Pakistan menyatakan:
قُلْتُ : وَهَذَا إِسْنَادٌ ضَعِيْفٌ جِدّاً ؛ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدٍ ؛ مَتْرُوْكٌ كَمَا تَقَدَّمَ مِرَاراً ، وَسَاقَ الذَّهَبِي فِي تَرْجَمَتِهِ هَذَا الْحَدِيْثَ فِي جُمْلَةِ مَا أَنْكَرَ عَلَيْهِ .وَقَدْ تُوْبِعَ عَلَيْهِ ، لَكِنْ فِي الطَّرِيْقِ مَنْ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ ،
Aku  berkata : "Sanad itu lemah sekali . Abd Rahman bin Zaid  di tinggalkan  ulama  sebagaimana  keterangan yang lalu . Imam  Dzahabi dalam biografi perawi tsb menyampaikan hadis tsb termasuk hadis mungkar . Juga ada pendukungnya tapi jalurnya  juga terdapat perawi yang tidak bisa di buat hujjah" .

وَأَفَادَ الْحَافِظُ اْلعِرَاقِي أَنَّ ابْنَ عَبْدِ اْلبَرِّ خَرَّجَهُ فِي التَّمْهِيْدِ وَاْلاِسْتِذْكَارِ بِإسْنَادٍ صَحِيْحٍ مِنْ حَدِيْثِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَمِمَّنْ صَحَّحَهُ عَبْدُ الْحَقِّ بِلَفْظِ مَا مِنْ أَحَدٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ أَخِيْهِ الْمُؤْمِنِ كَانَ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِلاَّ
عَرَفَهُ وَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ
Al Hafidh Al Iraqi memberikan keterangan yang berguna  , sesungguhnya Ibnu Abdilbar meriwayatkan hadis tsb  dalam kitab Tamhid dan Istidzkar  dengan sanad sahih  dari hadis Ibnu abbas  dan di antara orang yang menyatakan sahih adalah  Abd Hak  dengan redaksi hadis :
مَا مِنْ أَحَدٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ أَخِيْهِ الْمُؤْمِنِ كَانَ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِلاَّ عَرَفَهُ وَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ
Setiap orang yang melewati kuburan  saudaranya yang mukmin  yang di kenalnya  di dunia , lalu membaca salam kepadanya akan  diketahuinya  dan dia juga menjawab salamnya .
Abu Abd Rahman – Muhammad Rafik Tahir – Dosen hadis  dalam Universitas Muhammadiyah Millatan Pakistan menyatakan :
قُلْتُ : وَهَذَا إِسْنَادٌ غَرِيْبٌ ؛ الرَّبِيْعُ بْنُ سُلَيْمَانَ فَمَنْ فَوْقَهُ ؛ ثِقَاتٌ مَعْرُوْفُوْنَ مِنْ رِجَالِ "التَّهْذِيْبِ" ، وَأَمَّا مَنْ دُوْنَهُ فَلَمْ أَعْرِفْهُمَا ، لاَ شَيْخُ ابْنِ عَبْدِ الْبَرِّ ، وَلاَ الْمُمْلِيَّةُ فَاطِمَةُ بِنْتُ الرَّيَّانِ ، وَظَنيِّ أَنَّهَا تَفَرَّدَتْ - بَلْ شَذَّتْ - بِرِوَايَتِهَا الْحَدِيْثَ عَنِ الرَّبِيْعِ بْنِ سُلَيْمَانَ بِهَذَا اْلإِسْنَادِ الصَّحِيْحِ لَهُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ؛ فَإِنَّ الْمَحْفُوْظَ عَنْهُ إِنَّمَا هُوَ اْلإِسْنَادُ اْلأَوَّلُ .

Aku  berkata : Ini sanad yang nyeleneh . Rabi` bin Sulaiman  dan perawi seatasnya  terpercaya  menurut kitab Tahdzib . Untuk perawi sebawahnya  , aku tidak mengenal .
Baik  guru Ibnu Abdil bar atau  wanita yang menyampaikan hadis itu – bernama  Fathimah bint Rayyan . Dugaanku fathimah secara sendirian menyampaikan hadis tsb bahkan nyeleneh sekali dalam meriwayatkannya dari Al rabi` bin Sulaiman  dengan  sanad ini yang sahih dari Ibnu Abbas . sesungguhnya  yang terpelihara dari padanya  adalah sanad pertama .

Komentarku ( Mahrus ali ) :

Bila dia telah meriwayatkan hadis tsb dengan sanad yang nyeleneh    bera rti menunjukkan sanad itu lemah sekali dan hadisnya tidak bisa di buat hujjah .
Ibnu Abid dunya juga meriwayatkan hadis tsb  dalam kitab :  “ Al kubur “ , bab mayat – mayat tahu oran g – orang  yang hidup berziarah kepadanya  “.
Sanadnya  sbb : 
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِي : حَدَّثَنَا مَعْنٌ بْنُ عِيْسَى اْلقَزَّازُ : أَخْبَرَنَا هِشَامٌ بْنُ سَعْدٍ : حَدَّثَنَا زَيْدٌ بْنُ أَسْلَمَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :

Bercerita kepada kami  Muhammad bin Qudamah al Jauhari , lalu berkata : Bercerita kepada kami Ma`n bin Isa  Al Qazzaz , lalu berkata : Bercerita kepada kami Hisyam bin Sa`ad  , lalu berkata : Bercerita kepada kami Zaid bin Aslam   dari Abu  Hurairah ra  berkata : ……………………….

قُلْتُ : وَهَذَا مَعَ كَوْنِهِ مَوْقُوْفاً عَلَى أَبِي هُرَيْرَةَ ؛ فَإِنَّهُ مُنْقَطِعٌ وَضَعِيْفٌ .
أَمَّا اْلاِنْقِطَاعُ ؛ فَلأَنَّ زَيْدَ بْنَ أَسْلَمَ لَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ ؛ كَمَا قَالَ ابْنُ مَعِيْنٍ .
وَأَمَّا الضُّعْفُ ؛ فَهُوَ مِنَ الْجَوْهَرِي هَذَا ؛ قَالَ ابْنُ مَعِيْنٍ :
"
لَيْسَ بِشَيْءٍ" . وَقَالَ أَبوُ دَاوُدَ :"ضَعِيْفٌ، لَم ْأكْتُبْ عَنْهُ شَيْئاً قَطُّ" .
قُلْتُ : وَلِهَذَا أَوْرَدَهُ الذَّهَبِي فِي "الضُّعَفَاءِ" ،
Aku berkata  :"Sekalipun hadis tsb maukuf pada Abu Hurairah , sungguh dia  munqathi` dan lemah . Mungqathi` ( terputus sanadnya )  karena  zaid bin Aslam  tidak mendengar dari Abu Hurairah   sebagaimana  di katakan oleh  Ibnu Ma`in  .
Lemahnya  karena  dari  Al Jauhari  tadi .
Ibnu ma`in mengatakan  : "Dia  tidak ada apa – apanya"  .
Abu dawud berkata  : " Dia lemah  dan aku tidak pernah menulis hadis dari padanya " .
Aku berkata : Karena ini  , Dzahabi mencantumkannya  dalam  kitab : Dhu`afa`  ( koleksi perawi – perawi lemah ) . [5]
وَمِنْ هَذَا التَّحْقِيْقِ يَتَبَيَّنُ أَنَّ قَوْلَ عَبْدِ الْحَقِّ اْلإِشْبِيْلِي فِي "أَحْكَامِهِ" (80/ 1) :"إِسْنَادُهُ صَحِيْحٌ" .غَيْرُ صَحِيْحٍ ، وَإِنْ تَبِعَهُ الْعِرَاقِي فِي "تَخْرِيْجِ اْلإِحْيَاءِ" (4/ 419 - حَلَبِي) ، وَأَقَرَّهُ الْمُنَاوِي ! وَأَمَّا الْحَافِظُ ابْنُ رَجَبَ الْحَنْبَلِي ؛ فَقَدْ رَدَّهُ بِقَوْلِهِ فِي "أَهْوَالِ الَقُبُوْرِ" (ق 83/ 2) :
"
يُشِيْرُ إِلَى أَنَّ رُوَّاتَهُ كُلَّهُمْ ثِقَاتٌ ، وَهُوَ كَذَلِكَ ؛ إِلاَّ أَنَّهُ غَرِيْبٌ ، بَلْ مُنْكَرٌ" .
  Dari pengkajian seperti ini jelas sekali perkataan Abd Haq al Isybili  dalam kitab  ahkam  1/80 sanadnya sahih  tidak benar . Sekalipun  Al Iraqi  juga ikut padanya  dalam mentakhrij Ihya`  4/ 419 Halabi  . Juga di akui oleh Al Munawi .
Adapun al Hafidh  Ibnu Rajab al hanbali , maka  telah menjawabnya dengan   perkataan nya dalam kitab ahwalul kubur  yang mengisaratkan perawi – perawinya terpercaya  dan memang begitu  , namun nyeleneh sekali  bahkan mungkar .
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Jadi keliru orang yang punya anggapan bahwa mayat tahu kepada orang yang berziarah kepadanya.


[1] Mu`jam Thabrani 4/ 176
[2] Majmauz zawaid  2/ 237
[3] Ad dibaj 1/ 117
[4] Faidhul qadir 5/ 622